• Berita
  • Menolak Lupa, Menggugat Pengabaian Sistematis Pemerintah Indonesia dalam Penuntasan Pelanggaran HAM Berat

Menolak Lupa, Menggugat Pengabaian Sistematis Pemerintah Indonesia dalam Penuntasan Pelanggaran HAM Berat

Pemerintah indonesia melakukan pengabaian secara sistematis terhadap upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Ruang-ruang perlawanan harus dirawat.

Suasana menonton bersama film Munir, Sebuah Extrajudicial Killing dalam roadshow Menolak Lupa di UTC Hotel, Jalan Dago, Bandung, Rabu, 7 Februari 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah8 Februari 2024


BandungBergerak.id - Pemerintah Indonesia tidak pernah tuntas menghadirkan keadilan bagi keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat karena ada proses pengabaian yang sistematis. Para pelaku dan terduga pelaku bisa secara leluasa menduduki jabatan-jabatan publik atau bahkan melenggang ke pencalonan presiden dalam pemilihan umum (pemilu). Politik elektoral yang sarat masalah tidak bisa diandalkan.

Mandeknya penuntasan kasus pembunuhan Munir Said Thalib adalah salah satu bukti nyata pengabaiaan pemerintah terhadap penuntasan pelanggaran HAM. Proses pengungkapan yang panjang, mulai dari pembentukan tim pencari fakta hingga pengadilan, tidak kunjung mampu mengungak dalang di balik pembunuhan aktivis HAM yang terbukti melibatkan lembaga negara pada 7 September 2004 ini.

“Tidak ada niat serius yang terlihat dalam diri mereka (pemerintah). Dalam kasus Munir, yang penting ada yang dipenjara ya, dalangnya entar dulu,” tutur Suciwati, istri almarhum Munir Said Thalibdalam diskusi “Menolak Lupa Kasus Pelanggaran HAM Berat” di Unpad Training Center (UTC) Hotel, Bandung, Rabu, 7 Februari 2024 siang. 

Bersama Suciwati, hadir sebagai pemantik diskusi peneliti Imparsial Ardi Manto, pegiat Aksi Kamisan Bandung Ressy R. Utari, musisi Herry Sutresna, serta Kepala LBH Pangayoman Unpar Valerianus Beatae Jehanu. Dimoderatori oleh Emi La Palau, diskusi yang diwarnai penampilan pantomim oleh Wanggi Hoed dan nyanyian oleh Antakara ini dimulai dengan menonton bersama film “Munir: Sebuah Extrajudicial Killing” garapan Watchdoc. Nobar dan diskusi diselenggarakan oleh Amnesty Indonesia dengan menggandeng Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung dan Aksi Kamisan Bandung.

Ketidakseriusan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, menurut Suciwati, membuat negara menjadi ruang impunitas. Yang terburuk kemudian terjadi adalah lahirnya normalisasi kejahatan. Itulah kenapa orang-orang yang terbukti bermasalah masih saja melenggang di posisi-posisi penting di partai politik, institusi bisnis, dan bahkan pemerintahan.

Suciwati toh memilih untuk tinggal diam dan tenggelam. Dia menginisiasi ruang-ruang perlawanan. Salah satunya, Aksi Kamisan yang bergulir sejak Januari 2007 lalu. Suciwati pun secara aktif mengajak generasi muda untuk terus menyuarakan perlawanan.

“Perlawanan bisa lewat apa pun. Di ruang otoriter, kita harus berbagi strategi, baik lewat jurnalistik, kampus, demo, aktivis. Kita harus bahu-membahu. Siapa pun presidennya, kita harus terus melawan dan berjuang merebut kembali demokrasi,” tutur penulis buku “Mencintai Munir” (2022) ini.

Bermula dari Jakarta, Aksi Kamisan hadir di puluhan kota di Indonesia, termasuk Bandung. Suara-suara keadilan bagi korban pelanggar HAM dilantangkan lewat aksi setiap hari Kamis, biasanya di depan Gedung Sate, kantor pemerintah Provinsi Jawa Barat. Orang-orang muda menjadi pilar utama komunitas ini.

Salah seorang pegiat Aksi Kamisan Bandung, Ressy Utari mengatakan bahwa pelanggaran HAM yang disuarakan di Aksi Kamisan tidak hanya berarti pelanggaran-pelanggaran di masa lalu, tetapi juga persoalan nyata hari ini. Aksi ini relevan dan penting bagi kaum muda karena menjadi sebuah simpul untuk menyuarakan kegelisahan bersama.

“Yang perlu kita sadari (adalah) bahwa pelanggaran HAM itu tidak hanya terjadi di masa lalu, tapi juga terjadi pada kita hari ini, seperti sulitnya akses pendidikan, kesehatan, sosial, dan lain-lainnya,” kata Ressy. 

Suciwati berbicara dalam diskusi Menolak Lupa di UTC Hotel, Jalan Dago, Bandung, Rabu, 7 Februari 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Suciwati berbicara dalam diskusi Menolak Lupa di UTC Hotel, Jalan Dago, Bandung, Rabu, 7 Februari 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Negara Masih Abai

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat sebanyak 17 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, di antaranya Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Kasus Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, serta Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.

“Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014. Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM,” demikian tertulis dalam situs web Komnas HAM.

Peneliti Imparsial Ardi Manto mengatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi pengabaian penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Hak korban tidak pernah diberikan. Yang dilakukan pemerintah sebatas pada gimik-gimik yang sebagiannya malah menjijikkan. Salah satunya adalah klaim lenyapnya dokumen tim pencari fakta kasus Munir di Istana Negara.

“Pengabaian HAM dilakukan secara sistematis dan berangkat dari ketiadaan niat dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan HAM,” kata Ardi

Menurut Ardi, pengabaian sistematis oleh pemerintah berimbas pada makin banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang terjadi belakangan ini. Korban utamanya adalah para aktivis, jurnalis, dan mahasiswa. Semua ini, menurut Ardi, disebabkan oleh “berbaliknya demokrasi di Indonesia yang sedang menuju otokrasi. 

Kepala LBH Pengayoman Unpar, Valerianus Beatae Jehanu menyatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM bisa terjadi dengan rasa percaya diri dan kesadaran yang sama. Sayangnya, persoalan etika di ruang demokrasi sudah tidak dikoreksi sebagai pelanggaran sehingga semuanya dengan enaknya ditabrak. Yang lahir kemudian adalah impunitas yang berimbas ke banyak sendi kehidupan berbangsa.

“Hal paling menyakitkan dari impunitas (adalah) seperti membiarkan negara ini dikendalikan oleh kriminal. Kita membiarkan itu,” tutur pengajar Hukum Tata Negara ini.

Valeri menyebut bahwa masih ada alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang selama ini mandek. Salah satunya adalah dengan membawa kasusnya ke yuridiksi international. Yang kemudian bisa dilakukan bersama adalah mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi aturan internasional yang memungkinkan itu.

Orang-orang muda dari beragam latar belakang mengikuti nobar dan diskusi Menolak Lupa di UTC Hotel, Jalan Dago, Bandung, Rabu, 7 Februari 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Orang-orang muda dari beragam latar belakang mengikuti nobar dan diskusi Menolak Lupa di UTC Hotel, Jalan Dago, Bandung, Rabu, 7 Februari 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Dalam Diam Suara Munir semakin Lantang
Pemerintah Dinilai Abai Tuntaskan Kasus Pembunuhan Munir

Merawat Memori Kolektif

Herry “Ucok” Sutresna mengatakan, upaya merawat memori kolektif sangatlah penting karena ia dapat memengaruhi generasi hari ini. Kerja-kerja pencatatan, pendokumentasian, pengarsipan, atau juga pengklipingan merupakan kerja siginikan yang harus semakin banyak dan semakin sering dilakukan. Caranya bisa macam-macam sesuai dengan bidang yang digeluti tiap orang.

“Bagaimana kita mau menolak lupa kalau yang diingat saja tidak ada?” katanya.

Menurut Ucok, upaya menolak lupa, terlebih terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, adalah juga berarti menyayat lupa. Pedih, membuat sakit, tapi harus dilakukan agar memori tidak hilang sehingga bisa menjadi bekal bersama untuk melakukan perlawanan.

Terkait pemilu 2024 yang menghadirkan salah satu calon presiden dengan rekam jejak pelanggaran HAM, Ucok mengingatkan bahwa pertarungan sesungguhnya akan terjadi setelah pemilu. Siapa pun presiden yang terpilih, ia yakin tidak akan ada banyak perubahan signifikan dalam kondisi demokrasi yang sudah karut-marut ini. Masyarakat sipil harus bersiap.

“Sebab setelah ini (pemilu), kita tetap akan menghadapi berbagai persoalan dan momen-momen yang lebih buruk dari hari ini,” ucapnya.

Marlina, salah seorang mahasiswa peserta diskusi, mengungkapkan kekecawaannya pada upaya pemerintah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tak juga menunjukkan titik terang. Dia berharap pertemuan dan diskusi seperti hari ini semakin sering digelar.

“Miris, di awal kampanye dulu ada yang bilang mau beresin (pelanggaran) HAM di Indonesia, tapi masih saja banyak pelanggaran HAM berat terjadi dan belum terselesaikan,” ujarnya.

*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau juga artikel-artikel lain tentang Pelanggaran HAM

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//