• Berita
  • September Hitam di Bandung, Negara masih Mengabaikan Pelanggaran HAM

September Hitam di Bandung, Negara masih Mengabaikan Pelanggaran HAM

Peringatan September Hitam di Taman Cikapayang Bandung diwarnai aksi jalan kaki seniman pantomim Wanggi Hoed, panggung orasi, dan pertunjukan musik kritis.

Wanggi Hoed dalam Aksi Kamisan Bandung memperingati September Hitam di Taman Cikapayang, Bandung, Kamis (7/9/2023). (Foto: Virliya putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau8 September 2023


BandungBergerak.id - Sambil membawa poster wajah pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, seniman pantomim Wanggi Hoed memulai aksi jalan kaki dari Taman Pramuka menuju titik Aksi Kamisan Bandung di Taman Cikapayang Dago, Kamis (7/9/2023). Wanggi juga mengusung poster lain bertuliskan: “19 Tahun Pembunuhan Munir. Negara masih Abai #septemberhitam. Hidup Korban, Jangan Diam”. 

Wanggi Hoed melakukan aksi jalan kaki itu untuk memperingati pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara, bertepatan dengan momen kelam pembunuhan Munir yang terjadi 7 Septeptember 19 tahun lalu.

“Jadi longmarch ini respons atas 19 tahunnya pembunuhan Munir Said Thalib. Ini bukan hanya angka tapi ini juga ancaman buat semuanya, semua warga negara Indonesia, ketika tidak ada keberanian seperti halnya Munir,” terang Wanggi Hoed kepada Bandungbergerak.id. 

Seniman yang menggagas Aksi Kamisan Bandung seri pertama ini terpantau mulai melakukan longmars mulai pukul 15.10 WIB. Selama berjalan kaki, ia mengkampanyekan kasus pembunuhan aktivis HAM yang sampai hari ini pelakunya belum terungkap.

Menggunakan pupur wajah hitam putih dengan setelan mantel berwarna kuning, Wanggi mengajak warga agar tak takut menyampaikan kritik terhadap negara. Ia berkampanye di tiap sudut kota yang ia lalui, di perempatan atau kepada kaum muda Bandung yang sedang menongkrong.

Menurut Wanggi, momen 19 tahun Munir yang tewas dibunuh dalam perjalanan menggunakan pesawat Garuda itu merupakan ancaman bagi tahun-tahun ke depan yang penuh ketidakadilan. Kasus Munir sekaligus sebagai peringatan bahwa ketidakadilan negara bisa menimpa siapa pun. 

“Ketidakadilan itu muncul tiap hari, ketika kita bangun, ketika kita tidur. Momentum September Hitam akan dibangunkan terus dengan berbagai macam tragedy. Atau jangan jangan ini adalah sebuah tragedi kemanusian yang benar nyata yang dihadapkan oleh manusia modern hari ini,” kata Wanggi. 

Masyarakat perlu tahu bahwa segala macam kasus pelanggaran HAM tidak pernah dituntaskan oleh negara. Masyarakat perlu bergerak bersama menyebarluaskan keburukan yang dilakukan oleh negara melalui berbagai kanal media sosial. 

Pakaian kuning yang dipakai Wanggi menyimbolkan kematian demokrasi yang akan mengiringi setiap perjuangan masyarakat yang mempertahankan hak-haknya. 

“Napas keberanian harus kita suntikkan bersama apa pun bentuknya, solidaritas, informasi, komunikasi, itu adalah bentuk kekuatan untuk kita bisa menyampaikan pada masyarakat luas,” katanya. 

Butuh waktu 36 menit bagi Wanggi untuk menempuh jarak 3,4 kilometer Taman Pramuka-Taman Cikapayang. Aksi ini sengaja ia lakukan untuk merasakan kesendirian jalan kaki sampai bertemu energi besar bersama kawan-kawan Aksi Kamisan Bandung. 

Parade Melawan Kekerasan Negara

Taman Cikapayang Dago sudah penuh dengan pemuda berpakaian hitam dan payung hitam yang mengusung tema “Parade Melawan Kekerasan Negara”. Aksi Kamisan Bandung ini bertepatan dengan kekerasan aparan kepolisian terhadap warga Batam yang sedang berjuang mempertahankan tanah mereka dari Proyek Strategis Nasional. 

Heri Pramono perwakilan dari LBH Bandung menyoroti pelanggaran HAM di Bandung, yaitu penggusuran yang terjadi di kampung-kampung kota, Tamansari, Dago Elos, dan lain-lain. Warga masih terus dihadapkan pada ancaman kehilangan ruang-ruang hidupnya. 

“Hari ini 7 september kita masyarakat sipil memperingati hari kekerasan yang dilakukan oleh negara sekaligus selamat datang september hitam, bulan kekelaman, saksi pelanggaran HAM masa lalu,” ungkap Heri, dalam orasinya di hadapan massa yang terdiri dari pers mahasiswa, pelajar, kaum miskin kota, dan lain-lain. 

Menurutnya aktor-aktor pelanggaran HAM di Indonesia masih eksis hingga kini. Bahkan sampai pemilu tahun depan mereka masih memiliki peran.

“Hingga kini negara masih aktif melakukan pelanggaran terhadap warga negaranya,” kata Heri.

Keresahan lainnya disampaikan oleh Sabit dari Suara Mahasiswa Unisba. Menurutnya, dunia pendidikan tidak lepas dari pelanggaran HAM. Pemerintah tidak memberikan kebebasan berpikir. Masih banyak kampus yang menerapkan sensor para pers mahasiswa. 

“Sudah banyak kasus-kasus pengekangn itu di beberapa kampus yang berakhir dibekukannya pers mahasiswa. Terus di beberapa pers pada akhirnya dapat banyak ancaman akademis dikurangi nilai,” ungkap Sabit.

Baca Juga: Surat Terbuka Komite Aksi Solidaritas untuk Kasus Munir kepada Komnas HAM
Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat
Mengingat Perjuangan Munir, Menggugat Penyempitan Ruang Publik di Kota Bandung

Aksi Kamisan Bandung memperingati September Hitam di Taman Cikapayang, Bandung, Kamis (7/9/2023). (Foto: Virliya putricantika/BandungBergerak.id)
Aksi Kamisan Bandung memperingati September Hitam di Taman Cikapayang, Bandung, Kamis (7/9/2023). (Foto: Virliya putricantika/BandungBergerak.id)

Rentetan Pelanggaran HAM

Menurut Fay, pegiat Aksi Kamisan Bandung lainnya, bulan September didaulat sebagai bulan peringatan pelanggaran HAM, mulai dari tragedi 1965/1966 hingga kasus yang terjadi pada 2020 lalu.

Fay memaparkan, dalam peristiwa 1965/1966 banyak orang-orang yang dicap sebagai PKI harus mengalami pembuhanan. Selain itu, ada tragedi Tanjung Priok, Tragedi Semanggi, pembunuhan Munir, pembunuhan petani Salim Kancil yang menolak tambang di wilayahnya, aksi Reformasi Dikorupsi 2019 yang menewaskan dua orang pelajar dan mahssiwa, Randi dan Yusuf, dan termutakhir di 2020 terjadi penembakan pendeta Yeremia di Papua.

Di antara rentetan kasus pelanggaran HAM, negara masih terus mempertontonkan kekerasan. Kasus terbaru menimpa warga Batam yang mendapat brutalitas aparat.

“Seolah-olah mereka mengatakan sebagai pengamanan. Yang terjadi adalah brutalitas dan represifitas yang juga memang watak-watak mereka sejak awal masuk kepolisian atau sekolah TNI mereka sudah diajarkan senioritas itu terjadi. Dan itu dilakukan terhadap masyarakatnya sendiri. Kita melihat hari ini tepat pada hari ini dilakukan terhadap kawan kita di Batam,” ungkap Fay. 

Fay menegaskan, kasus pelanggaran HAM akan terus terjadi selama negara masih belum mengakui sebagai pelaku pelanggaran HAM di masa lalu. Hari ini pun mereka akan terus berdalih bahwa pelanggaran HAM masa lalu tidak ada.

Perempuan-Perempuan yang Mengkritik 

Pegiat hukum dari PBHI Jawa Barat Deti Sopandi menyoroti kekerasan yang masih banyak dilakukan oleh aparat negara baik TNI mapun Polri. Kewenangan mereka seolah semakin bertambah untuk melakukan tindakan kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung. 

“Di setiap bentuk tindakan protes kita mengalami banyak tindak kekerasan,” ungkap Deti. 

Selain orasi, Aksi Kamisan Bandung menjadi panggung musik dan pembacaan puisi. Ici Caroline, misalnya, melontarkan kritik melalui lagu. Datang dari Garut seorang diri, Ici membawakan lagu berjudul Musisi Cabul, Pria Subversif, dan Ici Caroline. 

Lagu-lagu tersebut mengkritik fenomena kekerasan seksual, kebebasan berpikir, pelarangan buku, lingkungan, dan lain-lain. Ici juga menyampaikan keresahannya mengenai keberadaan aparat kepolisian di setiap aksi massa yang dilakukan oleh masyarakat.  

“Seharusnya saya menginginkan di mana kalau aparat ini memiliki kewenangan tersendiri, ketika kita melakukan aksi, mereka berdiri di samping rakyat untuk melindungi agar tidak terjadi oknum-oknum yang menghasut rakyat untuk melakukan gerakan-gerakan yang akan melukai dirinya ataupun melukai orang lain,” kata Ici. 

Eva Eryani dari Tamansari menyatakan, sampai detik ini penggusuran di Indonesia masih marak. Maraknya kebakaran hutan, habisnya lahan petani, dan penggusuran kampung-kampung kota menandakan bahwa negeri ini belum merdeka. Baginya, kemakmuran hanya milik penindas dan koruptor. 

“Katanya negara ini makmur tapi gusur sana gusur sini,” ungkap Eva yang hingga saat ini masih mempertahankan rumahnya dari ancaman penggusuran rumah Deret Tamansari.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//