BANDUNG HARI INI: Peringatan September Hitam
September Hitam menjadi momentum yang memperingatkan negara untuk bertanggung jawab menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Penulis Iman Herdiana4 September 2023
BandungBergerak.id - Hari ini tahun 2022 lalu, anak-anak muda Bandung yang terkumpul dalam Aksi Kamisan Bandung menggelar peringatan September Hitam. Momen ini diperingati sebagai bentuk menolak lupa terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan aparat negara di negeri ini.
“September Hitam: Bulan Kelam dengan Rentetan Pelanggaran HAM” menjadi tajuk peringatan sepanjang bulan September 2022 itu. Pegiat Aksi Kamisan Bandung Fayadh menjelaskan penyematan sebutan September Hitam pada bulan September dilatarbelakangi karena rentetan kasus pelanggaran HAM baik yang terjadi di masa lalu, ataupun pada dua tahun ke belakang, banyak terjadi di bulan September.
Walaupun kasus-kasus pelanggaran HAM di luar bulan September juga banyak terjadi. September Hitam menjadi momentum agar negara agar menuntaskan semuanya, sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali.
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September antara lain kasus pembunuhan Munir, pembunuhan Salim Kancil, peristiwa Tanjung Priok, Tragedi Semanggi dua, peristiwa 65, hingga yang paling mutakhir aksi demonstrasi Reformasi Dikorupsi.
“Kita menamakannya September Hitam, ya, hampir di seluruh Indonesia juga mengadakan acara serupa untuk memperingati kasus-kasus pelanggaran HAM dengan sebutan September Hitam,” kata Fayadh kepada BandungBergerak.id, tahun lalu.
Peringatan September Hitam juga sebagai edukasi kepada publik untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menghormati HAM sekaligus membangun solidaritas bagi keluarga korban pelanggaran HAM.
September Hitam sebuah Peringatan
Sejumlah peristiwa kelam hak asasi manusia di bulan September dari masa ke masa menjadi peringatan bagi negara untuk memenuhi tanggung jawabnya. Mulai dari tragedi pembantaian 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, hingga brutalitas aparat dalam aksi Reformasi Dikorupsi yang terjadi 2019 lalu.
Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara menjelaskan, peristiwa yang terjadi di bulan September tersebut kemudian oleh KontraS disebut sebagai September Hitam.
“Ketika berbicara soal pelanggaran HAM yang berat, sampai saat ini Undang-Undang yang ada mengharuskan penyelesaiannya lewat yudisial. Untuk peristiwa sebelum tahun 2000, harus melalui persetujuan DPR untuk pembentukan pengadilannya. Setelah tahun 2000 bisa langsung ke Pengadilan HAM. Namun tidak menutup kemungkinan diselesaikan dengan jalur non yudisial menggunakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sepanjang ada kemauan politik dari Pesiden,” jelas Beka, dikutip dari laman Komnas HAM.
Beka menyampaikan hal tersebut dalam rangkaian diskusi online September Bulan Perjuangan seri ke-2 yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Beka menambahkan bahwa saat ini gerakan untuk pendampingan korban-korban pelanggaran HAM berat sangat dibutuhkan, karena apa yang dialami oleh korban menimbulkan trauma yang mendalam. Komnas HAM RI dalam pemenuhan dan pemulihan korban pelanggaran HAM yang berat mempunyai mekanisme penerbitan surat keterangan korban pelanggaran HAM (SKKP HAM). SKKP HAM menjadi penanda bagi korban bahwa Negara hadir mengakui keberadaan mereka.
“Korban bisa mengajukan permohonan ke Komnas HAM untuk diterbitkan SKKP HAM. Setelah dari Komnas HAM, korban bisa membawa surat tersebut ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sehingga mereka berhak mendapat layanan bantuan medis dan psikososial,” tegas Beka.
Menurut Beka, sampai saat ini belum ada upaya sungguh-sungguh dari Pemerintah dan Presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat. Komnas HAM RI pun sudah menyampaikan roadmap penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat.
“Meskipun sejak periode pertama Presiden sudah menyampaikan komitmennya akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat. Dibutuhkan tekanan dan partisipasi publik yang lebih banyak,” pungkas Beka.
Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Hoaks Pemukulan Ratna Sarumpaet, Mewaspadai Kabar Bohong di Tahun Politik
BANDUNG HARI INI: Kekerasan pada Gelombang Protes Reformasi Dikorupsi
Bandung Hari Ini: Lahirnya Oto Iskandar, Pahlawan yang Mati Dituduh Mata-mata
Suara Pemuda di September Hitam
Sampai saat ini pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia belum menemui titik terang. Salah satu kasus kejahatan HAM yang terjadi di bulan September adalah pembunuhan aktivis kemanusiaan Munir Said Thalib yang belum terpecahkan hingga kini.
“Walaupun segenap pihak terlibat, bahkan terpidana telah bernafas bebas, hingga kini tuntutan jawaban atas teka-teki seakan dibungkam seribu tangan. 18 tahun sejak kabar itu menghiasi surat kabar, nampaknya hanya akan menjadi penantian sia-sia,” demikian tulis Fatima Az Zahra, mahasiswa Departemen Teknik Kimia Industri ITS angkatan 2019, dikutip dari laman ITS.
Tulisan Fatima Az Zahra diunggah 30 September 2021, dua tahun dari sekarang. Kini kasus Munir sudah berlangsung terkatung-katung selama 20 tahun. Dalang pembunuhan belum terungkap.
“Hingga kini, masih banyak kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum terkupas tuntas. Sebenarnya permasalahan seperti ini bukan hanya bertumpu pada seberapa banyak aturan hukum yang berlaku, atau seberapa lama waktu yang diberikan. Tapi juga seberapa banyak pihak yang mampu berperan dalam menjunjung tinggi dan menegakkan prinsip keadilan bagi HAM,” tulis Fatimah.
Fatimah kemudian menyoroti peran pemuda terkait kasus-kasus HAM di negeri ini. Menurutnya,
gelora generasi 2000-an yang diharap menjadi generasi emas bangsa, nyatanya tak lebih lantang dari auman mahasiswa generasi lama. Padahal dengan menyandang julukan agent of change, seharusnya pemuda menampakkan power yang lebih besar daripada Munir dan KontraS yang dahulu berdiri tegap di garda terdepan penegakan HAM.
Ia berharap, generasi muda jangan sampai tutup mata dan mulut atas rongga yang melemahkan bangsa ini. Mungkin sebagai pemuda yang hidup di era teknologi, bentuk perjuangan kita sekarang sedikit berbeda. Namun langkah para pahlawan yang tidak ragu meneteskan darah dalam perjuangannya menegakkan HAM, tidak boleh terhenti di tangan kita.
“Meski tidak punya kaki yang kuat, tapi setidaknya anugerah suara yang lantang harus digunakan untuk menegakkan kebenaran. Terlebih lagi, pola pikir kritis dan idealisme yang menjadi kebanggaan mahasiswa, sangat dirindukan oleh bangsa ini. Jangan hanya termangu, ciptakan metode baru untuk menyerukan jeritanmu,” tulisnya.
Ia mengajak, daripada menyalahkan dan menyerah atas kebingungan pada nasib keadilan di bangsa ini, lebih baik buka mata lebar-lebar dan kawal terus nilai demokrasi negeri ini. Cukuplah bulan kesembilan ini yang menjadi kelabu bagi siapa pun yang mengenangnya.