• Berita
  • Pemprov Jabar Dituntut Menyusun Pergub yang Memfasilitasi Kaum Difabel

Pemprov Jabar Dituntut Menyusun Pergub yang Memfasilitasi Kaum Difabel

Masalah yang dihadapi kaum difabel antara lain terkait tenaga kerja. Untuk mengikuti CPNS, mereka terhambat syarat kesehatan jasmani.

Penyerahan simbolik Dokumen Analisis Inklusi Disabilitas Jawa Barat oleh Ohana Indonesia kepada Bappeda Jabar, di Ruang Sidang PPM Bappeda Jabar, Bandung, Selasa, 27 Februari 2024. (Foto: BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul28 Februari 2024


BandungBergerak.idOrganisasi Harapan Nusantara (Ohana) Indonesia bersama beberapa organisasi difabel Jawa Barat melakukan audiensi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat. Audiensi ini mendorong penyusunan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat tentang Penyandang Difabel.

Koordinator Program Advokasi Ohana Indonesia Nuning Suryatiningsih menyampaikan, pihaknya beraudiensi dengan Bappeda yang diterima oleh Kepala Badan Pemerintahan dan Pembangunan Manusia (PPM). Selain beraudiensi, pihaknya juga menyerahkan Dokumen Analisis Inklusi Disabilitas untuk lampiran I dalam RADPD Provinsi Jawa Barat. Dokumen itu hasil lokakarya Ohana Indonesia dengan organisasi-organisasi difabel se-Jabar dan organisasi perangkat daerah (OPD).

“Ini sudah tiga kali workshop kami lakukan untuk menyusun analisa kesenjangan tujuh sasaran strategis ini yang kemudian dokumen inilah yang nantinya akan menjadi lampiran dari Peraturan Gubernur, amanah Perda penyandang disabilitas di Jawa Barat,” terang Nuning, usai audiensi di ruang rapat bidang PPM Bappeda Jabar, Selasa, 27 Februari 2024.

Tujuh sasaran strategis yang telah disusun dalam Dokumen Analisis Inklusi Disabilitas merupakan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum difabel yang belum terfasilitasi oleh pemerintah, meliputi data dan perencanaan, lingkungan tanpa hambatan, hukum dan politik, pemberdayaan dan kemandirian, ekonomi inklusif, pendidikan, dan akses kesehatan.

“Dokumen ini harapannya jadi dasar di semua rencana aksi, semestinya tidak disendirikan. Nanti kalau disendirikan jadi eksklusif kan. Makanya sebetulnya di semua rencana aksi daerah dokumen ini bisa dimasukkan agar Jabar ini inklusif. Kita tidak disendirikan tapi dimasukkan dalam rangka tidak ada pembeda antara satu dengan lainnya,” tegas Nuning.

Usai audiensi, Ohana Indonesia akan terus mengawal implementasi dokumen ini. Nuning menjelaskan, rangkaian lokakarya yang telah dilakukan dan audiensi merupakan permulaan. Selanjutnya pemerintah akan menyusun matriks. Tidak semua persoalan di dalam dokumen bisa langsung terfasilitasi ke dalam matriks karena perlu ada skala prioritas.

Makanya, Nuning menegaskan, organisasi difabel di Jabarlah yang perlu mendorong pemerintah Jabar, persoalan mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu. “Ohana akan mengawal dan memfasilitasi sampai terbentuknya matriks itu,” tambahnya.

Ohana Indonesia merupakan organisasi yang diinisiasi oleh perempuan yang salah satunya bergerak pada isu-isu difabel. Ohana Indonesia berkedudukan di Yogyakarta dan mengadvokasi persoalan difabel se-Indonesia.

Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jawa Barat Dinda menerangkan, salah satu persoalan yang menjadi masalah kaum difabel adalah tingkat penyerapan tenaga kerja yang masih rendah. Pihak swasta diwajibkan menyerap tenaga kerja difabel satu persen dan pemerintah dua persen. Sayangnya, penyerapan tenaga kerja difabel ini dinilai cenderung hanya pelengkap saja.

Contohnya, syarat sehat jasmani dan rohani dalam pendaftaran CPNS menjadi hambatan bagi difabel yang sering dinilai tidak sehat jasmani karena kondisi difabelnya. Persoalan lainnya adalah pelatihan dan pengembangan untuk ragam difabel yang belum sesuai dan tidak tepat sasaran. Dalam pelatihan dan pengembangan yang dilakukan, tidak ada keragaman difabel. Padahal perlu adanya keterwakilan untuk seluruh ragam difabel.

“Hanya teman-teman disabilitas fisik dan itu pun ringan sekali. Dan tindak lanjutnya sih katanya ada, dua bulan ke belakang ada yang melakukan monev, tapi itu pun hanya lewat telepon,” terang Dinda, dalam audiensi.

Direktur Eksekutif Bilic Zulhamka Julianto menegaskan, pentingnya penyelarasan data dan profiling penyandang difabel yang ada di Jawa Barat. Hal ini harus menjadi perhatian agar pemberian alat bantu bagi difabel tidak sia-sia. Sebab, setiap ragam difabel memiliki kebutuhan alat bantu yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan.

Misalnya, persoalan kursi roda yang memiliki banyak jenis dan fungsi, ada yang manual menggunakan tangan, ada yang elektrik yang harganya cenderung mahal. Makanya, agar penyaluran alat bantu tidak sia-sia bisa digunakan efektif oleh penerima manfaat, penyelarasan data dan profiling penyandang difabel penerima manfaat menjadi krusial.

Adapun organisasi penyandang difabel yang terlibat dalam pembuatan Dokumen Analisis Inklusi Disabilitas ada 15 organisasi, yaitu Rumah Kita, Jaringan Advokasi Jawa Barat (JAJ), Dilans, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Jawa Barat, Cahaya Inklusi Indonesia (CAI), Bumi Difabel Istimewa, KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) Simpul Bandung, Forpadi, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI)  Jawa Barat, Yayasan Aretha Utama, Indo Kompeten, Bilic, Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI), dan Perkumpulan Inisiatif.

Baca Juga: Niat Karla Bionics Menghapus Sebutan Difabel, Dimulai dari Pengembangan Lengan Prostesis
Ramadan di Tahun Pagebluk (12): Cerita Tiga Barista Difabel Netra
Mendekatkan Kawan Difabel dan Thalasemia dengan Alam

Akan Diinternalisasi

Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia (PPM) Bappeda Jabar Anne Carolina menerangkan, soal penyerapan tenaga kerja, pemprov diberi mandat oleh pemerintah pusat untuk memproyeksikan penyerapan tenaga kerja difabel di sektor formal pada tahun 2025 mencapai 24 persen.

“Tahun 2045 kami harus mampu 70 persen,” kata Anne, dalam audiensi.

Target itu pun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia Emas 2045. Anne menyebut, pihaknya telah meminta kepada Dinas Sosial dan Dinas Ketenagakerjaan terkait jumlah difabel dan berapa persen yang telah bekerja di Jabar. Sebab untuk mencapai target penyerapan kerja itu, pihaknya butuh data. Ia yakin Dinsos memiliki datanya, tetapi kalaupun tidak, pihaknya terbuka untuk menerima data dari organisasi difabel Jawa Barat.

Di samping itu, ia juga menegaskan, pemerintah tengah mendorong dua kelompok rentan, yaitu kelompok lansia dan difabel untuk mendapatkan pemberdayaan. Dalam konteks Jawa Barat, ia mengaku, sudah ada 11 tahapan pelatihan untuk kedua kelompok itu, mulai dari penyiapan bisnis, hingga mengekspor hasil bisnisnya.

Adapun berkaitan dengan audiensi dan penyerahan dokumen analisis inklusi, Anne mengaku akan merencanakan pertemuan rutin dengan organisasi difabel Jabar untuk membahas permasalahan yang dihadapi dan upaya untuk meningkatkan akses yang dibutuhkan, baik akses ekonomi, keuangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lainnya.

“Kemudian tadi ada penyerahan dokumen rencana untuk pembangunan disabilitas. Dokumen ini rencananya akan kami internalisasi di dalam dokumen rencana jangka panjang pemprov jabar 2025-2045. Nah artinya, kami ingin mensinergikan antara perencanaan sektoral terkait sosial untuk disabilitas dengan dokumen perencanaan pembangunan provinsi Jawa Barat,” ungkapnya, kepada BandungBergerak.id, usai audiensi.

Berkaitan dengan penyusunan Peraturan Gubernur, Anne berpendapat, dokumen analisis yang diserahkan masih berbentuk naskah akademik dan lampiran. Pihaknya perlu menyusunnya ke dalam draft peraturan, rancangan pasal per pasalnya.

“Untuk itu harus kami diskusikan dengan biro hukum dan berbagai stakeholders, baik itu dari akademisi maupun lainnya untuk menyusun draft rancangan pergub agar sesuai dengan delik hukum kemudian memang sesuai dengan maksud dari penyusunannya oleh rekan-rekan Ohana,” terang Anne.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Teman-teman Difabel

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//