• Narasi
  • Desaku Sedang Tidak Baik-baik Saja

Desaku Sedang Tidak Baik-baik Saja

Kisah nestapa warga Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, di Kabupaten Jombang, yang dipaksa hidup berdampingan dengan limbah B3 dari pabrik pengolahan aluminium.

Muhammad Akbar Darojat Restu Putra

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Limbah B3 pabrik aluminium yang dibuang di pinggir sungai. (Foto: Muhammad Akbar Darojat Restu Putra)

29 Februari 2024


BandungBergerak.id – Desaku adalah sebuah desa yang terletak di paling utara-timur Kota Jombang, Kecamatan Kesamben. Orang mengenalnya dengan nama Jombok. Jika kau ingin menapakkan kaki di sana, kau perlu menempuh jarak 21 kilometer dengan sepeda motor dari Alun-alun Jombang. Jauh memang. Sebab, desaku berbatasan langsung dengan Kota Mojokerto. Jika kau ingin lebih dekat, turunlah di Stasiun Curahmalang. Kau hanya perlu menempuh jarak sekitar 5 kilometer dengan jasa tukang ojek.

Ketika menginjakkan kaki di desaku, kau akan melihat hamparan sawah yang memanjang dan luas. Desiran angin yang berhembus di sana akan membawamu pada kesejukan. Dan kesejukan yang serupa akan terlihat pada wajah-wajah kami. Kami akan menyapamu dan menanyakan apa keperluanmu di sini sebelum kau ingin bertanya. Kau juga tak perlu risau karena kami pasti akan membantu selagi mampu.

Namun, selama di desaku, jangan pernah kau tanya tentang karung-karung yang teronggok di pinggir sungai, sawah, atau jalan. Mulut kami akan segera terbungkam dan senyum kami akan menyusut menjadi kecemasan bila kau tanya demikian. Kau boleh saja tanya tentang apa pun, bahkan mengenai pengeboran iodium atau pengeboran gas bumi. Namun, soal karung itu kami tak bisa jawab.

Aku bisa saja menceritakan masalah itu kepadamu. Sebab, aku sendiri sebenarnya tidak setuju dengan masalah karung itu. Namun, sebelum aku menceritakan hal itu, izinkanlah aku berpesan kepadamu: tolong rahasiakan identitasku.   

Baca Juga: Penanganan Limbah Minyak Goreng dengan Soda Api
Secercah Harapan, Mengolah Limbah Plastik untuk Membangun Halaman Bermain
Menilik Peran Komunitas E-waste Bandung dalam Mengelola Limbah Elektronik

Kami Memang Resah, tapi Takut Bicara

Kau bisa memanggilku Jimbon. Aku berusia 27 tahun dan masih melajang. Aku memang mempunyai pacar, namun aku belum berani menikahinya. Bagaimanapun, aku sadar akan statusku sebagai pemuda yang tak memiliki pekerjaan tetap. Aku bisa sewaktu-waku bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, buruh tebang pohon atau pekerjaan lain yang aku rasa halal. Sebab, aku hanya orang yang memiliki ijazah SD.

Lalu, jika kau bertanya mengapa aku tidak bekerja di pabrik aluminium saja; toh mereka menerima karyawan dari berbagai strata, entah itu SD, SMP, SMA atau bahkan tak pernah menempuh jenjang pendidikan sedikit pun? Maka, aku akan menjawabnya dengan tegas: “Aku gak gelem digobloki.”

Ya, aku memang tak mau dibodohi. Kau tahu berapa gaji yang diperoleh dengan bekerja di sana? Selama bekerja 8 jam sehari, buruh pengayaan hanya mendapatkan gaji 45 ribu dan buruh produksi hanya mendapatkan gaji sekitar 150-200 ribu. Itu tak sebanding dengan akibat yang diterima. Batuk, pilek, tak selera makan dan badan yang gering hampir selalu menjadi ciri khas mereka, sekalipun konon sudah memakai masker dan alat pengamat lainnya.

Aku pun kerap melihat orang yang sudah pensiun bekerja di sana, badannya menjadi sakit-sakitan sebelum mati menggelepar di ranjang. Tapi, aku sejujurnya tak bisa menyalahkan mereka. Mayoritas dari mereka adalah orang miskin yang tak memiliki banyak pilihan. Mereka terpaksa bekerja di sana demi mendapatkan sesuap nasi. Mereka tak peduli bila kesehatan mereka yang harus dikorbankan.

Aku juga tak mau bekerja di sana karena dampaknya yang buruk bagi penduduk Desa Jombok. Ya, lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk. Kau tahu asap yang menguar dari pabrik itu membikin mereka sesak napas dan batuk-batuk.

Dampaknya bukan hanya itu saja. Kau tahu limbah yang dihasilkan bukanlah limbah biasa. Aku pernah tanya ke mesin peramban limbah seperti apa yang dihasilkan. Aku pun terkesiap ternyata limbah itu bernama limbah B3 yang masuk dalam kategori limbah beracun dan berbahaya. Anehnya, limbah itu diwadahi dalam sebuah karung dan dibuang di sembarang tempat, entah itu di pinggir sungai, jalan, atau sawah.

Ketika hujan turun limbah itu mengeluarkan asap yang menyerbak bau karbit. Aku pernah tak sengaja menghirupnya dan sekonyong-konyong dadaku terasa nyeri. Aku pun melihat bukan hanya manusia yang merasa sakit, melainkan juga tanaman. Tanaman petani yang terkena asap limbah itu tiba-tiba menguning dan lama-kelamaan akan mati. Maka, tak heran bila banyak dari kami yang akhirnya menjadi resah. 

Meskipun begitu, tiada satu pun dari kami yang berani memprotes. Sebab, pemiliknya bukanlah orang sembarangan. Dulu pernah ada sebuah LSM yang hendak mengusutnya. LSM itu bisa tahu karena beberapa aluminium yang hendak dikirim ke pemesan dengan truk tiba-tiba jatuh di daerah Peterongan. Namun, LSM itu hanya bergeming saja ketika disogok uang tutup mulut sebesar ratusan jutaan rupiah.

Kami pun berpikir: LSM saja yang paham akan birokrasi dan administrasi bisa tertekuk, apalagi kami yang tak paham sama sekali. Kami pun menyadari perlu keberanian ekstra melawan orang yang memiliki kantong tebal: mungkin miliaran atau bahkan triliunan.

Sebab, bisa saja bukan uang sogokan yang dipakai bila kami memprotesnya. Melainkan, preman atau bahkan aparat keamanan. Maka, keselamatan raga dan jiwa kami yang dipertaruhkan. Karena itu, patut diakui bahwa kami memang resah, tapi takut untuk bicara.

Aku Tak Mau Menjadi Salim Kancil   

Ada banyak pabrik aluminium di desa kami. Salah satu pemiliknya adalah kepala desa. Seperti pemilik lainnya, ia hampir tak pernah berkumpul dan berbincang bersama kami. Selama dua periode memimpin desa kami, ia pun jarang terlihat di pelupuk mata kami. Hanya pada acara-acara penting desa saja ia tampak. Dan bila ingin bertemu dengannya, orang perlu membuat janji terlebih dahulu.

Jika kau tanya mengapa ia seperti itu, maka akan kujawab: “Mosok ono pemain seng kakean omong.” Ya, ia khawatir satu dua kata yang keluar dari mulutnya—entah sengaja atau tidak—berpotensi membahayakan bisnisnya. Maka, ia lebih banyak berdiam diri di rumah dan tak mau bergaul dengan kami. Dengan cara itulah, ia merasa bisnisnya akan aman.

Kini, masa jabatannya akan habis. Ia pun tak bisa mencalonkan diri lagi. Namun, banyak kabar beredar bahwa ia akan memasang kerabatnya untuk menjadi calon kepala desa di pemilihan nanti. Bukan rahasia umum bila ia getol mengamankan bisnisnya.

Melihat kejadian itu, mungkin kau bertanya mengapa aku tak seperti Salim Kancil saja? Toh aktornya sama-sama kepala desa. Juga bisnisnya sama-sama berbahaya bagi kesehatan penduduk dan lingkungan desa. Bedanya hanya bisnisnya saja: Salim Kancil menghadapi penambangan pasir, sementara aku menghadapi pabrik aluminium.

Maka, aku akan menjawab bahwa aku tak mau seperti Salim Kancil. Sejujurnya, aku mengagumi dia sebagai sosok yang berani melawan kelaliman tanpa peduli bila nyawa yang harus dipertaruhkan. Ia memperjuangkan sebuah kebenaran agung: nasib anak-cucunya bila lingkungan desanya rusak.

Namun, aku tak cukup nyali melakukan hal itu. Aku tak mau seperti Salim Kancil yang mati mengenaskan setelah dikeroyok puluhan orang tanpa kenal ampun. Sementara pelakunya mendapatkan hukuman yang tak setimpal atas apa yang mereka perbuat.

Karena itu, aku hanya ingin kau mengabarkan agar banyak orang dan pemerintah tahu bahwa desaku sedang tidak baik-baik saja.

* Kisah ini ditulis berdasarkan cerita yang dilisankan oleh Jimbon, bukan nama sebenarnya, seorang warga yang tinggal di Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//