PELAJAR BERSUARA: Pemilu 2024, Pesta Demokrasi Tanpa Etika Lingkungan Hidup
Maraknya alat peraga kampanye (APK) berakhir menjadi sampah yang mengancam lingkungan hidup. Pesta demokrasi 2024 minus etika lingkungan hidup.
Adli Firlian Ilmi
Siswa SMP Negeri 1 Kota Bogor
5 Maret 2024
BandungBergerak.id – Pemilihan umum tahun 2024 telah rampung dilaksanakan, pemilu damai telah kita lalui. Semua pihak, dari anak-anak hingga para lansia yang turut bersukacita dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. Walau dalam penyelenggaraannya masih banyak yang harus dibenahi kembali.
Pemilu tahun ini dilaksanakan serentak di semua daerah dan di semua tingkatan, kita bisa melihat hal ini dari banyaknya alat peraga kampanye, atau yang sering disebut masyarakat luas sebagai baliho. Alat peraga itu bertebaran dibanyak ruas jalan yang kita lewati.
Di Bandung misalnya, seperti yang ditulis oleh sebuah media online, tak kurang dari 2.813 alat peraga kampanye (APK) yang ditertibkan oleh Satpol PP. Sedangkan di daerah DKI Jakarta sebanyak 309.633 APK di lima wilayah Kota Administrasi Jakarta dan Kabupaten Kepulauan Seribu telah dilakukan penertiban oleh Satpol PP. Itu baru dari Bandung dan Jakarta, sementara Indonesia bukan hanya Bandung dan Jakarta. Bisa dibayangkan betapa banyak APK yang akhirnya menjadi sampah.
Bukan hanya menjadi sampah, sebagian alat peraga tersebut yang membahayakan pengguna jalan. Beberapa pengguna motor yang terjatuh saat tertimpa baliho yang ambruk, banyak korban di antaranya ialah perempuan dan anak-anak. Tak sampai di situ, baliho juga dapat mengancam nyawa.
Pada 10 Januari lalu misalnya, siswi SMK meninggal dunia akibat tertimpa oleh baliho seorang caleg (calon legislatif) di daerah Kebumen, Jawa Tengah. Persoalan baliho ini sudah menimbulkan korban jiwa. Harusnya ini sudah bisa kita antisipasi supaya tidak terjadi lagi dikemudian hari. Ke depan tidak boleh ada lagi nyawa melayang hanya karena tertimpa baliho caleg.
Baca Juga: Masuk Masa Kampanye Pemilu 2024, Masyarakat Jangan Kagetan dan Baperan
Belum Ada Baliho Kampanye Pemilu yang Bermutu
Alat Peraga Kampanye Pemilu 2024 di Bandung Dipaku di Pohon, Melanggar Etika, Estetika, dan Membahayakan Orang
Merusak Lingkungan
Bukan hanya membahayakan keselamatan jiwa, bila kita telusuri lebih dalam lagi ternyata banyak alat peraga kampanye tersebut juga yang merusak lingkungan kita? Bagaimana tidak, alat peraga kampanye yang digunakan hampir seluruhnya menggunakan bahan dasar plastik. Dari sinilah persoalan lingkungan hidup dimuai. Sampah APK para caleg dan capres akan berakhir di tempat sampah.
Beberapa pemangku kebijakan telah proaktif untuk mendaur ulang sampah bekas alat peraga kampanye, contohnya di Kota Bogor. Bima Arya selaku wali kota Bogor memberikan instruksi untuk mendaur ulang sampah bekas alat peraga kampanye, yang hasilnya nanti dapat dimanfaatkan menjadi sebuah bahan konstruksi yang bermanfaat bagi masyarakat di Kota Bogor.
Aktivitas di Kota Bogor harusnya menjadi contoh baik di berbagai wilayah lainya di Indonesia, namun itu saja tidak mencukupi. Lima tahun lagi APK caleg dan capres akan kembali menjadi sampah visual saat musim kampanye dan kemudian akan menjadi sampah di tempat pembuangan sampah di akhir masa kampanye.
Permasalahan lingkungan serta sosial yang ditimbulkan oleh alat peraga kampanye cukup besar, kita harus mendorong adanya regulasi yang mumpuni untuk menyudahi permasalahan yang ada. Regulasi yang diterapkan bisa saja mencontoh negara lain, seperti yang dilakukan pemerintah Jepang.
Di sana tak sembarang alat peraga kampanye boleh dipasang di sembarang tempat, ada tempat-tempat khusus untuk pemasangan APK. Di tempat itu, semua calon dapat memasang poster dirinya atau partainya di situ. Kebijakan ini apik bukan hanya mampu mengurangi sampah visual dari APK saat musim kampanye, namun juga mengurangi volume sampah plastik APK setelah musim kampanye berakhir. Sebuah kebijakan yang peduli terhadap kelestarian alam.
Minus Etika Lingkungan
Dari maraknya APK yang akhirnya menjadi sampah yang mengancam lingkungan hidup itu kita bisa mengatakan bahwa pesta demokrasi di 2024 minus etika lingkungan hidup. Para caleg dan capres berkampanye tanpa dipandu oleh etika lingkungan hidup. Mereka semua terjebak dengan paradigma antroposentrisme.
Paradigma antroposentrisme ini memandang hanya manusia yang memiliki nilai. Alam hanya sekedar alat bagi pemuasan manusia. Eksploitasi alam secara ugal-ugalan dan kerusakan lingkungan hidup menjadi keniscayaan dalam etika antroposentrisme ini. Para caleg dan capres pada pemilu 2024 sedang mempraktikkan paradigma itu melalui APK mereka.
Para caleg dan capres seakan menutup mata dengan bencana ekologi yang selama ini tengah mengepung kehidupan kita. Pada 2019, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan bencana) menyebutkan bahwa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, 98 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan bergantian mengikuti cuaca ekstrem yang terjadi. BNPB juga menyatakan bahwa Indonesia sudah berada dalam situasi darurat ekologis
Peringatan BNPB itu seperti angin lalu bagi caleg dan capres. Mereka tidak peduli dengan keselamatan manusia yang terancam oleh krisis ekologi. Mereka hanya peduli dengan kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan sebagian besar manusia yang justru pemilik kedaulatan rakyat.
Bencana ekologi yang lebih besar akan terus terjadi. Artinya, keselamatan kita semua sebagai pemilik kedaulatan rakyat terancam. Kita sebagai pemilik kedaulatan rakyat tentu tidak bisa tinggal diam. Kita harus terus bersuara. Kita harus menghentikan paradigma antroposentrisme mereka.
Demokrasi tidak berakhir di bilik suara. Demokrasi seiring dan sejalan dengan kebebasan berekspresi. Setelah pemilu usai, kita harus tetap bersuara. Kita harus terus menyuarakan pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup. Suara kita bukan tidak mungkin akan terbentur di tembok-tembok mewah ruang kerja mereka. Tapi, suara-suara kita akan terus bergema. Suara-suara kita tentang pentingnya keberlanjutan alam akan mengejar mereka seperti kutukan.