• Narasi
  • Menari, Perjalanan Menemukan Diri dari Sardono W. Kusumo hingga Prabowo Subianto

Menari, Perjalanan Menemukan Diri dari Sardono W. Kusumo hingga Prabowo Subianto

Betapa saling tumpang tindih pengertian menari, joget, dan goyang. Yang agak jelas bahwa ada aturan tertentu dalam tari yang membedakannya dengan joget atau goyang.

Anton Solihin

Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor

Joget gemoy capres Prabowo Subianto di stadion GBLA, Bandung, 8 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Maret 2024


BandungBergerak.id – Awal tahun 2000-an –awalnya saya tidak paham apa yang dimaksud, namun di ujung obrolan dengan mahasiswa sebuah kampus kedinasan di kota tempat saya tinggal– kita dibuat tertawa geli. Begini, secara bergurau mereka bercerita bahwa rata-rata mahasiswa sekolah tinggi itu cuma punya dua hobi: olahraga dan “menari.” Soal olahraga barangkali bisa dimaklumi, memang itulah yang tampak pada kesehariannya. Tapi menari? Rupanya yang dimaksud adalah “dugem”, dan dalam dugem mereka akan menumpahkan ekspresinya dengan “menari.”

Hurra! Rupanya semua orang suka menari!

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan tari sebagai gerakan badan (tangan dsb.) yang berirama dan biasanya diiringi bunyi-bunyian (musik, gamelan, dsb.).

Di mana-mana orang menari, berjoget dan bergoyang.

Dewi Dja primadona dunia toneel sebelum Perang Dunia II adalah pemain sandiwara, dan (terutama) penari yang hebat di zamannya. Di Jawa Barat kita mengenal ketuk-tilu, jaipongan, tayub, badaya dan serimpi, dst. Kita juga mengenal siswi SMP & SMU menjadi cheerleaders, orang-orang menari cha-cha, polonaise, tango, rumba, samba, flamenco, poco poco dsb. Di Aceh  orang menari Seudati –seni tradisional yang konon amat disukai Bung Karno. Dan Bung Karno juga yang menginisiasi pertunjukan para penari Indonesia ke berbagai negara di seluruh dunia di awal kemerdekaan untuk memperkenalkan negara baru, dan mereka tampil menari di depan Kim Il Sung & Paman Ho (Chi Minh), seperti yang bisa kita saksikan  pada film yang dibikin Jennifer Lindsay: Menggelar Indonesia: Misi Kesenian ke Mancanegara (1952-1965).

Kita juga punya banyak penari hebat: Nungki Kusumastuti, Gusmiati Suid, Bagong Kussudiardjo, Irawati Durban atau Sardono W. Kusumo. Sardono bisa dikatakan sebagai seniman tari terkemuka berkaliber dunia yang memberi pengaruh pada perkembangan kesenian tradisional dan modern.  Banyak karya dihasilkannya: Dongeng dari Dirah (yang kemudian dibuat film), Hutan Plastik, Hutan Merintih, Passage Through the Gong, Opera Diponegoro, Cak Tarian Rina, Awal Metamorfosis, atau Samgita Pancasona.

Baca Juga: Nonton di Kebun, Membicarakan Respons Gerak dan Relasi Toksik di Hari Tari Sedunia
Mencurigai Naskah Akademik Hari Lahir Persib, Menengok Skripsi Fajar Salam
(Ujung-ujungnya Tetap Saja) Majestic!

Menari

Judul tulisan ini, Menari-Perjalanan Menemukan Diri, diambil dari refleksi beliau di Majalah Tempo 16 Oktober 1993.  Untuk eksplorasi atau penemuan karya ciptanya, Sardono butuh pergi ke berbagai tempat, masuk keluar hutan, ke pedalaman Kalimantan, Papua, dll. Bahkan hingga ke banyak negeri. Dengan begitu, mengherankan bahwa hingga hari ini, di luar lingkup seniman, komunitas tari atau lingkungan IKJ tempat beliau mengajar puluhan tahun, siapa sih yang mengetahui, mengingat atau bahkan pernah menonton pertunjukannya.

Sardono W. Kusumo pernah berguru pada Martha Graham –ibu dari tari modern atau pencetus banyak sekali gagasan orisinal– koreografi tari kontemporer. Martha menjelaskan konsepnya bahwa tari merupakan “ekspresi kebebasan gerak”. Oleh sebab itu, menurutnya seorang penari mutlak memiliki kekayaan batin, supaya memiliki ledakan emosi –kelembutan, kegembiraan, gairah cinta, sedih, amarah, sampai yang paling ekstrem: perasaan berdosa –yang bakal melebur dalam gerak tarinya (keindahan tari semacam itu secara visual terekam dalam dokumenter Martha Graham Dance on Film).

Martha memahami makna gerak pertama kali dari ayahnya, orang yang melarangnya menari. Sebagai psikiater ayahnya sering kali menerima pasien dengan berbagai keluhan kelainan jiwa. "Orang yang berbohong bisa dilihat dari gerakannya,” ucap sang ayah, “Jika omongannya tak konsisten dengan gerak tubuhnya, ia pasti sedang berbohong.” Itu sebab Martha Graham berpendapat gerak merupakan ekspresi jiwa.

Apabila Sardono W. Kusumo samar kita kenal meski punya reputasi global sebagai penari, maka Prabowo Subianto belakangan ramai dalam pemberitaan media justru karena urusan “menari atau joget”.

Joget

Babak akhir kampanye Prabowo Subianto beberapa waktu yang lalu pun dipenuhi berita-berita soal menari atau berjoget.

Pada hari kampanye terakhir di Stadion GBK, dalam pidato tanpa teks, Prabowo berujar:

“Bagaimana kalau kita joget saja? Saudara-saudara ... saya ingat, saya tahu kalian ke sini semua, kalian mau lihat saya joget. Benar tidak? Kalian mau lihat pak gemoy joget. Bagaimana? Cukup? Pidato saya masih ada lima halaman lagi.  Mau dengar pidato atau joget?”

Bahkan ramai judul-judul pemberitaan media massa pun (antara November 2023-Februari 2024) isinya begini:

Enerjik! Prabowo Menari Sajojo; Bikin Ngakak! Prabowo Joget Hingga Gaya Silat...; Kisah Dibalik Kebiasaan Joget Prabowo - Tarian Gembira yang Diturunkan Kakek dan Ayahnya; Kerap Berjoget - Prabowo Ungkap Sejarah TariannyaPrabowo Ajak Pendukung Joget Gemoy di Pesta Rakyat; atau, Jogetan Prabowo Subianto di Moment Politik ternyata Punya Makna Dalam.

Rupanya soal menari ini bukan cerita baru. Cover Majalah Tempo 24-30 Desember 2018 bahkan sudah menunjukkan gambar Prabowo dalam posisi menari atau berjoget, judulnya: Balenggang Pebe Pebe.

Jadi, Prabowo itu menari atau joget?

Kembali ke KBBI: Joget berarti tari (sebarang tarian), atau tarian... Berjoget berarti menari. Menjoget berarti berjoget.

Bila definisi di atas yang dipakai, apakah Prabowo disebut menari atau joget tidaklah menjadi masalah di sini. Istilah joget rupanya sudah lama jarang dipakai. Bila ditelusuri –akan kita temukan bahwa kata “joget” umum dipakai sebagai lirik pada album Orkes Melayu (OM)  di era 1970-an seperti misalnya pada lantunan Mus Mulyadi, Diana Yusuf & OM Awara (Joget Hitam Manis), Latif M. (Joget Serampang 12), OM Soneta-nya Rhoma Irama & Ellya Khadam, Reynold & Camelia Malik (Menang Lomba Joget), hingga kugiran pop Mercy’s, dan belakangan Iyeth Bustami mengembalikan lagi muruah joget pada nafas Dunia Melayu, yang jauh sebelumnya telah diperkenalkan di tahun 1950 lewat OM Irama Seni, melalui Said Effendi (Joget Lama Tak Jumpa), hingga yang lebih kontemporer –Ibu Maimunah Mochtar & Group (Joged Laksmana Mati Raden Ditembak).

“Goyang”

Sepertinya “joget” di sini lebih dekat dengan istilah “goyang” yang lebih terasa dangdut (bila dibandingkan dengan menari). Memang istilah joget sempat meredup seiring menurunnya pamor dangdut, dan di era 1980-an hingga kini  istilah yang umum digunakan adalah “goyang”.

Sekali lagi KBBI menjelaskan “goyang” sebagai berikut: bergerak berayun-ayun; bergoyang: berjoget, menari.

Kita lihat di sini betapa saling tumpang tindih pengertian menari, joget, dan goyang. Yang agak jelas barangkali ialah bahwa ada aturan tertentu dalam tari, itu sebabnya ada istilah koreografi tari atau sendratari, tetapi tidak ada sendrajoget atau sendragoyang! Dengan begitu meski Martha Graham menjelaskan menari adalah ekspresi kebebasan gerak, tetaplah ada aturan main yang harus diikuti dan ditaati, yang jelas membedakannya dengan joget atau goyang.

Setelah era joget, pemberitaan dangdut selalu dikaitkan dengan goyang, seperti bisa kita baca pada ulasan media berikut: Goyang Dangdut (Majalah Tempo, 25 Mei 1991), Dangdut Sekaten, Serba Goyang dalam Kecamuk Mitos Ratu Kidul (Kompas, 16 Agustus 1992), Goyang (Dangdut) dari Masa ke Masa (Kompas, 9 Februari 2003),  Goyang Dangdut Terakhir Goyangnya Tak Akan Kendor... (Kompas, 23 November 2003), Menimbang Dangdut Yang Menggoyang (Kompas, 18 Juni 2005). (Dangdut) Goyang Bokong Pasti Lewat (Koran Tempo, 1 Februari 2009).

Namun istilah “goyang” ternyata juga dipakai di mana-mana, tidak serta-merta khas dangdut. Memang ada OM Ken Dedes, atau Ade Putra & Ember Group (Goyang Dangdut), Ine Sithya (Goyang Karawang), hingga Inul Daratista dengan goyang ngebor; tetapi juga lagu Ambon: Goyang Sage pada Jopie Latul, Martin & His Group serta Ais Lawalata, juga Koes Plus, Waldjinah, Chrisye, hingga lagu Leo Kristi yang unik (Di Atas Bukit Utara Selaksa Bunga Rumput Goyang Bersama).

Sampai Jeremy Wallach (2008:  194-195) menyambungkan perbedaan joget & goyang. Dikatakan: “Asal mula joget dangdut tidaklah jelas…,” lalu, “… penampil ... diharapkan untuk bergoyang. Gerakan tersebut membutuhkan keahlian yang lebih ketimbang joget.”

Harus ditekankan di sini bahwa meskipun Sardono W. Kusumo dan Prabowo Subianto, katakanlah pandai menari (atau berjoget atau bergoyang), pastinya kedua tokoh besar ini  tidak akan menjadi pragmatis untuk berkolaborasi mencipta tari baru, atau ikut pasanggiri, atau apalagi mendaftar ikut bimbingan teknis persiapan sertifikasi profesi penari, seperti yang baru-baru ini diselenggarakan Disbudpar Kabupaten Bandung, sekalipun siapa tahu nantinya program ini meluas menjadi proyek nasional, misalnya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//