• Cerita
  • Mendengarkan Suara Anak-anak Palestina dalam Gaza Monolog Bandung

Mendengarkan Suara Anak-anak Palestina dalam Gaza Monolog Bandung

Gaza Monolog bergulir sejak 29 November 2023 sebagai aksi solidaritas untuk menuntut keadilan, kesetaraan, dan kebebasan bagi warga Palestina lewat suara anak-anak.

Sinta Getol dari Teater Lima Wajah membawakan naskah Al Saftawi Street karya Reem Afana dalam Gaza Monolog Bandung di kampus Unisba, Jumat, 8 Maret 2024. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya11 Maret 2024


BandungBergerak.id - “Saat aku kecil, aku seringkali merasa bahwa aku adalah anak yang paling bahagia di dunia. Namun, seiring bertambahnya usia dan pikiranku yang semakin berkembang, kekhawatiranku pun tumbuh.”

Seorang gadis kecil dengan gaun tidur putih kotor berjalan dengan langkah gontai. Tangan kirinya menggenggam boneka beruang kecil, tangan kanannya menyeret kursi berwarna merah. Beberapa bagian wajahnya terlihat biru lebam. Tatapannya kosong.

Gadis kecil itu menyimpan kursinya di tengah pentas. Cahaya lampu berwarna merah darah menyorot anak itu, menambah kesan dramatis. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan sekitar. Dia lalu duduk.

“Hal yang paling membuatku gundah dan menangis adalah air mata anak-anak,” ucapnya lirih masih dengan tatapan kosong. “Ketika aku dewasa nanti, aku ingin menjadi seorang dokter anak, dan itulah harapan yang memberikan dorongan terbesar dalam hidupku.”

Gadis kecil itu kemudian mulai bercerita tentang sekolah yang selalu membuatnya ketakutan, tentang rumah yang tidak menyediakan rasa aman. Sekali waktu, telepon rumahnya berdering. Betapa senangnya dirinya mendengar suara tersebut karena biasanya telepon tidak berfungsi ketika perang terjadi.

“Halo,” gadis itu menirukan seolah mengangkat telepon. “Ini dengan Tentara Pertahanan Israel. Anda memiliki waktu lima menit untuk mengosongkan rumah. Ini untuk kebaikan Anda sendiri. Kami sudah memperingatkan Anda.”

Betapa kaget seluruh anggota keluarganya mendengar kabar tersebut! Neneknya berlari. Tidak pernah sebelumnya dia berlari sekencang itu. Si gadis kecil itu kemudian memeragakan seolah sedang dipeluk oleh ayahnya. Namun dia kemudian berusaha melepaskan diri dari ayahnya.

“Ayahku menarikku untuk pergi, tetapi aku rasanya akan mati jika sampai tak membawa beruang Teddy bersamaku. Aku merasa berkhianat jika aku meninggalkannya dalam ledakan. Aku menyelinap dari tangan ayahku kemudian berlari mengambil beruangku, membawanya, dan pergi,” katanya dengan ekspresi takut yang tergambar jelas dari raut wajah.

Cerita sang gadis kecil Gaza, yang dibawakan secara apik oleh Sinta Getol dalam iringan suara ketukan cajon dan petikan gitar yang mencekam, merupakan bagian dari gelaran “Gaza Monolog Bandung” di Ruangan Aquarium Unisba (Universitas Islam Bandung), Jumat, 8 Maret 2024. Dijuduli Al Saftawi Street, naskah karya Reem Afana, sang penulis yang ketika itu masih berusia 15 tahun, membagikan kecemasan tentang impiannya menjadi seorang dokter yang terasa kian jauh karena terenggut konflik.

Selain Al Saftawi Street yang dibawakan oleh Sinta dan disutradarai Melodi Tantan dari Teater Lima Wajah, “Gaza Monolog Bandung”menampilkan empat naskah lain, yakni The Harbor karya Heba Daoud (diperankan oleh Azkia Luthfiyana dari Teater Lakon), Jalan Al Jalaa’ karya Fateema Abu Hashem (diperankan oleh Selawati dari Temma 23), Al Saftawi Street karya Ali Al Hassany (diperankan oleh Popon dari Wasenda), dan Ash Shati' Camp karya Mahmud Bala'wi (diperankan oleh Debora Violin dari Gelanggang Olah Rasa).

“Aku ingin kembali menjadi anak-anak, dan tetap menjadi anak-anak. Aku tak ingin tumbuh dewasa,” kata Sinta pilu. “Namun, satu-satunya hal yang mampu menenangkan hatiku adalah cinta dari orang-orang yang tak pernah sejenak pun meninggalkan kami. Gaza penuh dengan kasih sayang.”

Azkia Luthfiyana dari Teater Lakon membawakan naskah The Harbor karya Heba Daoud dalam Gaza Monolog Bandung di kampus Unisba, Jumat, 8 Maret 2024. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Azkia Luthfiyana dari Teater Lakon membawakan naskah The Harbor karya Heba Daoud dalam Gaza Monolog Bandung di kampus Unisba, Jumat, 8 Maret 2024. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Palestina dalam Dekapan Bandung
Seruan Kemerdekaan untuk Perempuan Palestina Melalui Aksi Jalan Kaki Seniman Bandung
SUBALTERN #25: Bagaimana Levinas Menanggapi Konflik Israel – Palestina?

Naskah Dokumenter dari Palestina untuk Dunia

Gaza Monolog merupakan bagian dari program ASHTAR Theatre, sebuah lembaga nonprofit dengan perspektif global yang progresif. Inisiatif ini digulirkan pada 29 November 2023 sebagai aksi solidaritas untuk menuntut keadilan, kesetaraan, dan kebebasan bagi warga Palestina lewat suara anak-anak. Terdapat 33 naskah yang ditulis pada tahun 2010. Meski sudah 14 tahun berlalu, isi dari tiap naskah tersebut masih relevan.

Di Indonesia, Bandung menjadi kota pertama yang menggelar Monolog Gaza. Teater Samana dan Forum Teater Kampus Bandung dan Sekitarnya (FTKBS) adalah penggeraknya. Ke-33 naskah bahasa Inggris hasil terjemahan Fida Jiryis kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia oleh Deandra Syarizka, Gladhys Elliona, Iben Nurriska, Lasmi Achie Raspati, dan Meyda Bestari. Eko Sutrisno, Ferial Ariff, dan Rifa Annisa dipilih sebagai dramaturg.

“Mereka mencoba menawarkan fakta kejadian di Palestina dengan begitu gamblang,” kata Eko Sutrisno ketika dihubungi pada Minggu, 10 Maret 20. “Semua (naskah) punya penggambaran dari luar rumah mereka sampai hal yang paling intim.”

Eko melihat bahwa naskah-naskah tersebut serupa dokumentasi sejarah, ditulis secara jujur oleh mereka yang paling rentan: anak-anak. Dalam menggambarkan suatu kejadian, para penulis naskah memilih hal-hal yang amat berkaitan dengan keseharian, jauh dari metafor-metafor yang membingungkan.

Naskah yang sederhana membuat Eko, selaku dramaturg, enggan mengubah atau mengurangi isi dari naskah. Baginya, apa yang para penulis utarakan harus ditampilkan apa adanya. Oleh karenanya, dramatic reading dipilih untuk menyiasati hal tersebut, di samping minimnya waktu untuk persiapan.

“Lewat penampilan ini, kami ingin mengajak orang-orang untuk bersolidaritas atas sesama manusia,” lanjut Eko. “Mendiskusikan hal yang besar seperti perang, sampai hal-hal yang sentimentil bagi kita (tentang Palestina).”

Eko juga melihat bagaimana Bandung sudah sejak lama memiliki semangat untuk melawan penjajahan yang dilakukan oleh Israel. Dalam gelaran Konferensi Asia Afrika 1955, 18- 24 April 1955, pada delegasi yang hadir mewakili lima negara sponsor dan 24 negara peserta sepakat mencantumkan sikap atas apa yang terjadi di Palestina sebagai bagian dari komunike final.

“(Sekarang) Gimana caranya kita bisa bersepakat dengan itu (Konferensi Asia-Afrika) dan melihat Bandung dalam konteks anti-kolonialisme,” seru Eko.

Dari 33 naskah, baru lima yang sudah dibacakan. Sebagian dari naskah tersebut akan ditampilkan dalam gelaran selanjutnya “Gaza Monolog Bandung” pada 14 Maret 2024 di Gelanggang Olah Rasa dan 19 Maret 2024 di Abraham & Smith HQ.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tofan Aditya, atau artikel-artikel lain tentang Palestina

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//