• Berita
  • Orang Muda Sebagai Motor Perubahan Pengelolaan Sampah

Orang Muda Sebagai Motor Perubahan Pengelolaan Sampah

Gerakan zero waste (nol sampah) di dunia banyak digerakkan oleh orang-orang muda. Begitu juga di Indonesia. Mereka akan mengubah pola pikir pemerintah.

Suasana Toko Nol Sampah yang menjual bumbu-bumbu dapur secara isi ulang dan alat-alat pendukung gaya hidup nol sampah, Kamis (26/1/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul14 Maret 2024


BandungBergerak.idIndonesia memiliki potensi besar mengembangkan sistem zero waste (nol sampah) yang terintegrasi, pemuda menjadi kunci pemegang utamanya. Direktur Eksekutif Plastic Solution Fund (PSF) Nicky Davies menerangkan, kelompok pemuda adalah pihak yang menjalankan dan memimpin pekerjaan nol sampah di seluruh dunia. Kelompok muda memiliki keunggulan dalam melahirkan inovasi yang berbeda, menarik, dan trendi.

Lembaga donor internasional, lanjut Nicky, perlu mengingat dan memberi perhatian kepada negara yang memiliki jumlah populasi pemuda yang tinggi, seperti Indonesia. Pemuda adalah kunci yang mendorong perubahan. Makanya berinvestasi pada kepemimpinan pemuda adalah hal krusial.

“Aku pikir membangun program ekonomi untuk pemuda itu vital di negara-negara yang memiliki populasi pemuda yang tinggi. Dan kami pikir, bahwa membangun ekonomi guna ulang, zero waste ekonomi atau apa pun itu namanya, memberi peluang kerja yang terdesentralisasi, menyediakan banyak kesempatan untuk pemuda,” ungkap Nicky kepada BandungBergerak.id pada pertemuan YPBB dan PSF, Selasa, 5 Maret 2024.

Menurut Nicky, pola pikir bahwa sampah bukanlah sampah harus diubah. Sampah adalah sumber daya. Dengan memegang pola pikir itu, akan banyak peluang usaha yang muncul. Adapun pemuda, memiliki cara tersendiri dalam melahirkan ide, inovasi yang menarik, dan berbeda. Makanya pemuda memiliki pengaruh dan peluang tersendiri dalam pengembangan gerakan nol sampah. Pemuda Indonesia pun tertarik pada isu lingkungan ini.

“Seni, musik, dan budaya adalah hal penting bagi pemuda. Jadi bagaimana cara kita membangun budaya zero waste sebagai sesuatu yang menarik, baru, inovatif, trendi yang menjadi bagian dari modernisasi pemuda di Indonesia. Semua itu aku kira menarik,” tutur Nicky.

PSF dan Kerja-Kerja YPBB

Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) merupakan organisasi nonprofit dan nonpemerintah yang berdiri sejak 1993. YPBB dikenal dengan gerakan gaya hidup organis dan salah satu program utamanya adalah Zero Waste Cities, yang bergerak di level desa, kota, provinsi, hingga nasional.

PSF merupakan lembaga pendanaan kolaboratif internasional yang didirikan pada 2017. YPBB merupakan salah satu lembaga penerima investasi dari PSF. Selain YPBB, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) baru-baru ini juga menerima investasi dari PSF. YPBB merupakan salah satu anggota aliansi ini dari 10 lembaga yang mengurusi dan membawa perbincangan soal sampah secara nasional.

“Kita butuh regulasi dan kita perlu membahas regulasi untuk terjadinya perubahan di level desa, kota, provinsi, hingga nasional,” kata Nicky Davis.

Nicky menjelaskan, program Zero Waste Cities adalah salah satu program kunci yang didanai oleh PSF. Program ini dijalankan di tiga kota di Bandung Raya, contohnya di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Program Zero Waste Cities di Bandung Raya menjadi model dari proyek yang sama yang juga dilakukan di kota-kota di India dan Malaysia.

Niki membeberkan, Indonesia merupakan negara penting. Waktu pertama kali PSF hadir, banyak negara-negara yang menyalahkan Indonesia terkait krisis polusi plastik. Karena sebab itu, PSF memberi prioritas untuk menolong LSM-LSM di Indonesia untuk melawan narasi itu dan juga membantu membangun solusi dari polusi plastik di Indonesia.

“Zero waste adalah bagian penting dari solusi itu. Seperti yang sudah kita lihat, program zero waste city sudah menjadi sentral solusi untuk perubahan, untuk cara bagaimana orang-orang berpikir berbeda tentang manajemen sampah di Bandung. YPBB menjadi bagian penting dari kepemimpinan itu,” kata Nicky.

Menurut Nicky, YPBB adalah lembaga unik. YPBB mengoperasikan dana di level yang berbeda dan membawa pembelajaran dari level desa ke level nasional untuk kebijakan publik. Hal ini penting bagi PSF. Sebab, PSF percaya, orang-orang yang memiliki perhatian di isu ini hidup dengan permasalahan sampah dan menemukan solusinya.

“Dan peran besar yang kami lakukan adalah mengangkat suara-suara orang yang bekerja di level lokal ke level nasional dan meningkatkan percakapan global,” lanjut Nicky.

Negara-negara di dunia kini tengah bernegosiasi untuk perjanjian plastik secara internasional. PSF, kini tengah melihat manfaat dari investasi yang diberikan ke YPBB dan lembaga-lembaga anggota lainnya di AZWI. PSF memiliki posisi dalam hal perjanjian plastik. Ia pun yakin bahwa perubahan akan segera terlihat.

Etalase bumbu-bumbu yang dijual dengan pola isi ulang di Toko Nol Sampah, Jalan Bima Nomor 40, Kota Bandung, Kamis (26/1/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Etalase bumbu-bumbu yang dijual dengan pola isi ulang di Toko Nol Sampah, Jalan Bima Nomor 40, Kota Bandung, Kamis (26/1/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Data Volume Sampah Plastik Harian di Kota Bandung 2008-2021: Plastik Masih Jadi Kontributor Utama Masalah Sampah
Monolog Protes Sampah Plastik dari Kampoeng Tjibarani
Banjir Sampah Plastik ke Lautan, Salah Siapa?

Persoalan Universal

Sampah plastik menjadi salah satu persolan pertama dan terbesar secara global. Hal ini ditengarai oleh “paksaan” dari perusahaan-perusahaan yang memproduksi plastik. Perjanjian plastik menjadi penting, karena tidak bisa menyelesaikan polusi plastik tanpa “menutup kerannya”. Perjanjian global plastik memiliki pembahasan serius terkait pembatasan produksi. Perjanjian ini akan berpengaruh pada pengambilan gas bumi untuk diubah menjadi bahan kimia yang berakhir menjadi plastik.

Nicky Davies menegaskan, pengelolaan sampah merupakan persoalan universal. Solusi dari persoalan pengelolaan sampah pun sebenarnya universal, walaupun terlihat berbeda-beda pelaksanaannya di setiap tempat. Solusi pengelolaan sampah singkatnya adalah 5R yang intinya menghapus sampah sebanyak mungkin, mengurangi jumlah penggunaan plastik, lalu berinvestasi pada pembangunan yang mendukung sistem guna ulang.

“Karena sumber daya itu akan lebih efisien jika digunakan terus berulang daripada kita gunakan sekali lalu dibuang. Dan mindset menggunakan sekali lalu buang, yang membuat perusahaan membuat plastik, adalah satu langkah yang harus dilawan di mana saja dengan banyak cara. Lalu kita harus memastikan untuk mendaur ulang palstik yang kita gunakan. Dan (solusi) itu universal,” jelas Nicky.

Terkait solusi pengelolaan sampah, yang menjadi penting pula bagi PSF adalah membangun sistem yang paling masuk akal di level lokal dan nasional. Dengan semangat ini, PSF bekerja dengan organisasi lokal yang membangun solusi untuk lokal. Sebab, untuk menyelesaikan persoalan pengelolaan sampah, komunitas sebagai level terkecil harus menerima perubahan.

“Dan cara terbaik untuk komunitas menerima perubahan itu, dari perspektif kami adalah dengan dipimpin oleh orang-orang di komunitas itu,” kata Nicky. “Jadi mereka melihat tetangga-tetangga mereka, pemerintah lokal mulai melihat manfaat dan mulai membuat regulasi yang mendukung perubahan. Itu menciptakan pekerjaan untuk orang lokal.”

Ekonomi guna ulang (reuse economy) adalah peluang yang bisa menciptakan lebih banyak pekerjaan dibandingkan dengan pengelolaan sampah tradisional. Karena itu, pihaknya perlu hati-hati untuk mengelola transisi dari sistem sekarang ke sistem yang baru. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang yang bergantung dengan sistem tradisional yang berjalan sekarang.

“Kami tidak boleh melupakan mereka. Kami harus memastikan, selama kami membangun perubahan ini, kami membawa mereka bersama kami. Dan kami sudah melihat, ketika melihat sampah sebagai sumber daya daripada sesuatu hal untuk disingkirkan, maka akan banyak sekali perbedaan peluang yang akan datang dengan cara melihat sampah seperti itu,” ujar Nicky.

Meski persoalan pengelolaan dan solusi sampah sama secara universal, namun dorongan perubahan berbeda-beda di setiap daerah di negara-negara secara global. Nicky menyebut, ada tempat yang terjadi perubahan karena regulasi pemerintah yang datang pertama, adapula perubahan yang didorong oleh komunitas, baru pemerintah yang mengikuti.

Terlepas dari itu, perusahaan seharusnya bertanggung jawab pada krisis saset dan plastik. Adapun perusaahaan, harus melihat kekuatan konsumen bukan berdasarkan individual, tetapi kolektif yang meminta perusahaan melakukan hal yang berbeda. Nicky melihat, gerakan zero waste berhasil membawa percakapan dan mendorong tekanan kepada perusahaan dan pemerintah.

Meragukan Infrastruktur TPA Legok Nangka

Nicky memberi tanggapan terkait rencana pemerintah Jabar yang akan membangun Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka yang berskala besar. Ia menegaskan, persoalan kunci dari infrastruktur besar manajemen sampah, apa pun itu, dia mendorong pembuatan lebih banyak sampah.

“Dan kita perlu hati-hati, jangan kita berinvestasi ke infrastruktur yang malah menciptakan sampah. Kita harus berinvestasi ke infrastruktur yang memberi insentif pada pengurangan sampah,” ucapnya.

Namun lebih dari itu, berkaitan dengan pembangunan infrastruktur besar manajemen pengelolaan sampah, pemerintah perlu mengubah pola pikirnya. Niki berpendapat, pemerintah sering kali berpikir dan berencana untuk membangun infrastruktur untuk masa depan yang melibatkan banyak sekali sampah residu.

Mindset macam itu yang perlu diubah pemerintah. Pemerintah perlu menginvestasikan ke infrastruktur yang memberi desentif ke pengurangan sampah terlebih dulu. Dan setelah itu jika masih ada kebutuhan untuk landfill atau semacamnya, maka skala yang dibutuhkan adalah sesuai yang dibutuhkan oleh sampah residu, bukan dari yang dibayangkan,” tutur Nicky.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Gaya Hiduo Nol Sampah

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//