NGABANDUNGAN: Jenderal Inggris yang Mujur
Mark Twain menceritakan sebuah pesta di London untuk menghormati seorang perwira militer paling ternama di Inggris. Ini bukan pesta demokrasi.
Iman Herdiana
Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].
17 Maret 2024
BandungBergerak.id – Di antara antrean nasib sial sepanjang hidup kita, terselip takdir yang semua orang menyukainya, keberuntungan alias kemujuran. Bahkan satu kemujuran bisa mengubah barisan kesialan. Contoh, satu kali kemujuran dapat memupus penderitaan seseorang yang telah berkali-kali gagal ikut Pemilu. Semua rasa sakit akibat kegagalan pemilu di masa lalu terbayarkan sudah ketika kekuasaan sudah dalam genggaman.
Konon, orang yang semakin berada di lingkaran kekuasaan maka dia akan semakin dekat dengan nasib mujur. Berbeda dengan orang-orang kecil yang hidupnya jauh dari kuasa maka jauh pula dengan keberuntungannya. Orang-orang kecil akan tetap dibuat kecil karena kekuasaan justru menghendaki demikian. Sulit bagi mereka untuk bangkit, sebab bergerak sedikit pun kekuasaan akan memiskinkan mereka secara struktural, misalnya melalui penggusuran.
Apa yang telah terjadi di Tamansari di Bandung menjadi bukti bahwa kemiskinan terstruktur. Lalu, sejumlah warga Rempang di Batam yang mempertahankan tanah leluhur agar tak digusur juga diseret ke meja hijau. Belum lagi warga Dago Elos di Bandung yang sedang mempertahankan tanah dari penggusuran kini malah mendapatkan surat peringatan (aanmaning) dari pengadilan.
Keberuntungan berkali-kali berpaling dari orang-orang kecil. Dengan kata lain, kekuasaan berkali-kali memalingkan nasib mujur dari mereka. Dalam kasus Dago Elos, tiba-tiba saja warga digugat oleh keluarga yang mengaku-ngaku memiliki bukti surat-surat tanah warisan zaman kolonial Belanda. Pengakuan ini kemudian diperkuat pengadilan bahwa bukti-bukti yang dimiliki warga bersifat lemah, dan sebaliknya bukti-bukti yang dimiliki si penggugat lebih kuat.
Keberuntungan lebih memihak pada si penggugat yang mengaku memiliki surat-surat tanah zaman kolonial, yang mestinya tidak berlaku lagi sekarang jika Undang-undang Pokok Agraria dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Di sini, lagi-lagi, kuasa lebih memihak kepada para penggugat. Warga Dago Elos akan beruntung jika kuasa: hakim, pengadilan, bahkan negara berpihak kepada mereka. Idealnya seperti itu—tetapi itulah yang belum terlihat sampai sekarang.
Baca Juga: NGABANDUNGAN: Winter is Coming di Tahun Politik
NGABANDUNGAN: Babat Sampah Sungai Cikeruh
NGABANDUNGAN: Penggusuran Tamansari
“Luck” atawa Nasib Mujur
Hidup tak selalu mujur, memang. Keberuntungan seumur hidup hanya ada dalam cerita fiksi seperti di cerpen Luck karya Mark Twain (1835-1910), nama samaran dari Samuel Lenghorn Clemens, pengarang legendaris Amerika Serikat. Cerpen ini masuk dalam buku “Antologi Cerpen Perang: Perang, Cinta, dan Revolusi” yang disusun dan diterjemahkan Anton Kurnia dengan judul Sang Jenderal (Jalasutra, Yogyakarta, 2003) dari 50 Great American Short Stories, Batam Books, News York, 1965.
Buku “Antologi Cerpen Perang: Perang, Cinta, dan Revolusi” antiperang ini memuat 13 cerpen karya para pengarang masyhur dunia, selain Mark Twain; di antaranya, Jorge Luis Borges, Carlos Fuentes, Gabriel Garcia Marquez, John Steinbeck, dan lain-lain. Cerpen Sang Jenderal ada di nomor 13 sekaligus yang terakhir. Di cerpen ini, Mark Twain menceritakan sebuah pesta di London untuk menghormati seorang perwira militer paling ternama di Inggris, Letnan Jenderal Lord Arthur Scoresby.
Seluruh rakyat Inggris menaruh hormat dan kagum padanya sampai-sampai Scoresby tak menyadari kenyataan itu. Di tengah pesta, aku yang menjadi narator dalam cerpen Sang Jenderal, bertemu dengan kenalan lama seorang pendeta yang kebetulan pernah menjadi instruktur militer di lembaga pendidikan militer tempat Scoresby muda sekolah. Pendeta berbisik kepada aku bahwa Scoresby sebenarnya orang tolol.
Sang pendeta dikenal sebagai sosok yang jujur dan tidak suka bergosip. Penilaiannya terhadap karakter Scoresby adalah kebenaran, walaupun bertentangan dengan penilaian mayoritas yang pastinya memandang sang jenderal sebagai sosok terpuji dan ideal. “Dunia telah salah menilai pahlawan ini: ia adalah seorang yang tolol,” bisik pendeta.
Suara pendeta tersebut ibarat desau angin di sela-sela nyalak anjing di malam hari, nyaris tak terdengar, dan kalaupun didengar, tetap hanyalah angin malam yang akan hilang saat fajar menyingsing.
Di kesempatan lain, aku kemudian menemui pendeta untuk menggali cerita di balik sosok Scoresby yang dipuja-puja tanpa cela. Pendeta lantas bercerita begini:
Ketololan-ketololan sang jenderal sudah sering terjadi sejak dia masih menjadi prajurit yang sedang mengikuti suatu pendidikan militer, ketika si pendeta sendiri belum menjadi pendeta dan masih bertugas sebagai instruktur militer. Dalam suatu ujian, Scoresby tak bisa menjawab satu pun pertanyaan dari penguji sampai-sampai pendeta iba padanya karena yakin karier militer Scoresby muda yang baru kuncup akan hancur jika tak diselamatkan.
Amat sedikit ilmu pengetahuan yang Scoresby kuasai, ia hanya tahu secuil sejarah tentang Julius Caesar dan akan mampus jika dikasih soal-soal matematika. Pendeta harus sekuat tenaga membantu mencairkan otak Scoresby yang membeku luar biasa. Ia setengah mati mengajarkan ilmu pengetahuan yang mungkin akan ditanyakan penguji, termasuk ilmu yang akan membunuhnya, matematika.
Ajaib. Semua yang diajarkan pendeta justru keluar menjadi soal-soal ujian yang sukses dijawab oleh prajurit paling bodoh seakademi militer itu. Scoresby lulus. Namun, bencana sesungguhnya baru akan dimulai. Scoresby diterjunkan pada perang Krimea! [Perang Rusia versus Sekutu (antara lain Inggris dan Prancis)].
Khawatir akan kebodohan muridnya yang bisa mencelakakan diri dan prajurit lain, dan tentunya mencoreng wajah Inggris sebagai kekuatan dunia, pendeta pun bergabung dengan pasukan bersama Scoresby. Kekhawatiran pendeta terbukti, selama pertempuran Scoresby terus melakukan kesalahan demi kesalahan. Anehnya, kesalahan ini tak disadari oleh rekan-rekannya. Puncaknya, ketika kolonel pasukan tewas, Scoresby ditunjuk menjadi pengganti. Dia memimpin pasukan!
Petaka pun dimulai, setidaknya ini yang paling ditakutkan pendeta. Scoresby memutuskan menyerbu kubu pertahanan musuh dengan sisa-sisa pasukan yang ada. Kebodohan ini sekaligus misi bunuh diri, di mata pendeta.
Dasar mujur, penyerbuan yang dipimpin Scoresby justru berhasil. Kubu lawan mengira penyerbuan dilakukan oleh seluruh pasukan Inggris. Musuh kalang kabut dan kocar-kacir. Scoresby pun mendapat sanjungan luar biasa sebagai “jenius militer”. Namanya disebut-sebut ribuan kali dalam satu dekade. Namun mereka yang menyanjung tak tahu kebenaran pahir di balik sosok Scoresby.
“Dia telah dikenal sebagai serdadu paling cemerlang dalam peperangan. Ya, begitulah, hal terbaik yang terjadi di seluruh dunia adalah jika seseorang dilahirkan dengan nasib mujur. Sekali lagi kukatakan, Scoresby sesungguhnya adalah seseorang yang benar-benar tolol!” kata pendeta, menutup ceritanya.
Ini Bukan Pesta Demokrasi
Kisah mujur seumur hidup yang dialami orang tolol seperti jenderal Scoresby tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Yang ada adalah orang dengan reputasi dan popularitas tinggi dan sudah tentu memiliki kecerdasan di atas rata-rata, layak dikagumi oleh semua orang mulai dari rakyat jelata hingga kawan dan lawan, sehingga layak memimpin.
Di pesta demokrasi kemarin, misalnya, kita akan sulit mencari kontestan ke-Scoresby-scoresby-an. Yang ada adalah orang-orang pintar ilmu pengetahuan maupun matematika, mengerti hukum dan konstitusi negara, dan sudah tentu mereka populer di mata rakyat yang sudah cerdas.
Sulit mencari kontestan bodoh sekaligus monster yang pandai menipu atau mengelabui suara mayoritas. Para pemilih pun kebanyakan adalah generasi muda yang melek internet, aktif di media sosial, dan rajin membaca. Tak mungkin mereka salah memilih.
Mereka pasti tahu bisikan-bisik soal rekam jejak calon pemimpin, walaupun bisikan itu hanya disampaikan orang-orang tertentu yang suaranya mungkin tak terdengar, seperti bisikan pendeta dalam sebuah pesta di cerpen Sang Jenderal-nya Mark Twain. Dan selama lima atau mungkin 10 tahun ke depan, kita dipimpin oleh orang-orang mujur.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Iman Herdiana dalam kolom Ngabandungan