NGABANDUNGAN: Babat Sampah Sungai Cikeruh
Menyikapi masalah sampah lewat cara kekinian ala Pandawara Group tentu menginspirasi.Lebih penting lagi edukasi terus-menerus untuk mengurangi produksi sampah.
Iman Herdiana
Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].
29 Juli 2023
BandungBergerak.id - Syahdan, Pandawa lolos dari usaha pembunuhan di Bale Sigalagala. Peristiwa ini membuat mereka mengurungkan niatnya untuk meminta hak waris atas kerajaan Astina yang dikuasai saudara mereka, Kurawa. Sebagai gantinya, berkat kelicikan politik Sengkuni, Pandawa memilih meminta Hutan Wanamarta atau Alas Amer sebagai tempat mendirikan kerajaan baru: Amerta.
Alas Amer secara kasat mata hutan belantara. Namun sesungguhnya hutan ini adalah kerajaan yang dipimpin oleh lima raksasa bersaudara, sama seperti Pandawa, yang sangat angker. Jangankan manusia, hewan saja tidak berani tinggal di alas Amer. Sengkuni ingin menjebak Pandawa di alas pringgan dina cala ini.
Keangkeran Alas Amer mungkin setara dengan hutan larangan dalam film The Lord of the Rings: The Return of the King, ketika Aragorn sebagai pewaris tahta Gondor membutuhkan balabantuan dalam perang kolosal melawan Sauron—barangkali perang ini sekelas dengan perang dahsyat Bharatayudha antara Pandawa versus Kurawa di padang Kurusetra dalam epik Mahabharata.
Kerajaan Sauron bukan hanya diperkuat balatentara Orc. Mereka juga bersekutu dengan manusia dari Haradrim dengan pasukan gajahnya yang legendaris, kelompok bajak laut, para penyihir dari Angmar, dan naga-naga purba yang menyemburkan api.
Aragorn menghadapi kenyataan bahwa seandainya pasukan Rohan dan Gondor bersatu pun, jumlah mereka masih terlalu sedikit dibandingkan lawan. Di lereng hutan larangan, pasukan Aragorn mendirikan tenda. Kuda-kuda mendesis-desis gelisah, tidak berani mendekati hutan larangan yang penuh dengan hawa kejahatan. Aragorn bersama kawan setianya, Legoslas dan Gimli, terpaksa berjalan kaki untuk masuk ke hutan yang dikuasai tentara siluman itu.
Pedang yang hancur telah disambung kaum peri. Aragorn kini memegang pedang milik Isildur, raja Gondor, itu. Para tentara siluman awalnya adalah pasukan Isildur tetapi mereka kabur dari peperangan. Isildur mengutuk mereka menjadi arwah penasaran yang tak tenang. Tentara terkutuk ini kemudian mendirikan kerajaan di hutan terlarang.
Sebagai pewaris Isildur, Aragorn berhasil menaklukkan kerajaan setan itu dengan pedang milik Isildur. Tetara siluman mau membantu perang besar melawan Sauron dengan syarat mereka ingin terbebas dari kutukan.
Di Alas Maer, para Pandawa pun berhasil menaklukan para penguasanya. Kelima raksasa bersaudara kemudian menitiskan kekuatan mereka ke tubuh masing-masing Pandawa. Di sana, peradaban Amarta dibangun, hutan dibabat, kerajaan didirikan.
Aksi Heroik
Dalam kehidupan nyata, nama Pandawa hadir dan menjadi buah bibir (viral) atas aksi-aksi heroiknya. Pandawara Group, demikian lima anak muda ini menyebut diri mereka, merupakan kelompok anak muda yang sehari-hari memerangi sampah. Barangkali karena jumlah mereka berlima, nama Pandawara diambil.
Aksi heroik termutakhir para Pandawara Group terjadi di pintu air Sungai Cikeruh di Kampung Rancabango, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, 26 Juli 2023 lalu. Beberapa hari sebelum aksinya, mereka mengabarkan melalui akun media sosial tentang kondisi Sungai Cikeruh yang mengenaskan tertimbun sampah. Pandawara Group mengajak warganet untuk bekerja bakti babat alas sampah Sungai Cikeruh.
Pada hari H, Pandawara Group mengabarkan tidak kurang dari 750 orang warga dan aparatur dari berbagai instansi pemerintah daerah melakukan kerja bakti membersihkan pintu air di anak Sungai Citarum itu. Sampah yang memenuhi permukaan pintu air Sungai Cikeruh dibabat. Tapi tentu tidak ada pendirian kerajaan di sana, seperti di Amerta.
Pandawara Group berhasil melahirkan partisipasi ratusan orang karena toh mereka tidak mungkin membersihkan sungai hanya dengan lima orang saja. Anak-anak muda ini tidak memiliki kesaktian seperti Pandawa. Yang mereka punya, strategi media sosial yang apik dengan hasil viral. Unggahan di akun Instagram mereka dibanjiri puluhan ribu like dan ribuan komentar.
Setelah ajakan viral dan sebuah aksi heroik kekinian ini, apakah persoalan sampah di Sungai Cikeruh lantas tuntas? Sayangnya, tidak.
Pintu air Sungai Cikeruh berfungsi sebagai infrastruktur irigasi sekaligus penyaring sampah. “Sudah biasa” jutaan lembar sampah plastik dari hulu parkir di sana karena memang tertahan pintu air. Ada backhoe yang biasa parkir dekat sungai untuk melakukan pengerukan secara berkala.
Keterangan tersebut saya dapatkan dari chat-an dengan fotografer Prima Mulia yang mengikuti perkembangan persampahan di Bandung Raya dari dulu. Nasib Sungai Cikeruh lebih dari sekadar keruh. Pintu air di sungai ini sudah lama menanggung nasib sebagai semacam tempat pembuangan akhir (TPA).
Menjelajah di mesin pencarian, kita bisa menemukan berita-berita mengenai penumpukan sampah di pintu air Sungai Cikeruh ini sejak tahun 2016, 2017, 2018, dan 2019. Lengkap dengan foto-foto yang mengerikan. Namun karena masa-masa tersebut media sosial belum seramai sekarang, dan berita-berita tersebut tidak viral, maka bertahun-tahun pintu air Sungai Cikeruh menjadi langganan parkir sampah. Tak mungkin ada ikan atau habitat air hidup di sana. Ruang hidup mereka tergusur oleh sampah.
Baca Juga: NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #1
NGABANDUNGAN: Sajak Kritis Politik Pendidikan
NGABANDUNGAN: Panggung Pengkhianat dan Pahlawan
Sampah Plastik
Sampah di era modern, atau ada yang menyebut era digital, bukanlah urusan kebersihan lingkungan semata. Bukan pula soal viral lalu dibersihkan beramai-ramai. Sampah modern berupa plastik adalah buah simalakama peradaban—sama seperti bom atom atau nuklir yang menyimpan malapetaka bagi peradaban itu sendiri—yang ada hubungannya dengan otak manusia.
Otak adalah pengendali kehidupan manusia. Segala tindakan, pikiran, perasaan, semuanya dikendalikan organ di balik tempurung kepala ini. Orang merasa sakit karena otak memerintahkannya. Orang menangis karena otak menginginkannya menangis. Orang membuang sampah sembarangan karena otak memintanya demikian. Maka untuk mengubah pola pikir, tindakan, dan perasaan seseorang, pendekatan yang paling efektif adalah dengan mencuci otak.
Sampah modern yang sekarang bertebaran di mana-mana, di sungai dan laut, di darat dan udara (polusi, debu-debu mikroplastik) terjadi karena tradisi panjang yang dibangun sejak awal mula kemunculan plastik. Dahulu sebelum ada plastik, kita terbiasa membungkus makanan dengan daun yang bisa dibuang di mana saja dan esok lusa daun itu akan membusuk kemudian hilang ditelan bumi.
Sebaliknya, plastik merupakan benda hasil proses kimia yang dihasilkan dari perut bumi, dari eksploitasi alam dengan pertambangan. Achfas Zacoeb, dosen Teknik Sipil Universitas Brawijaya menyebutkan pertama kali plastik ditemukan oleh Schonbein pada tahun 1856, Waktu itu plastik disebut cellulose. Pada tahun 1890, penemuan Schonbein disempurnakan oleh John Wesley Hyatt yang menghasilkan plastik celluloid [Universitas Brawijaya, diakses Sabtu (29/7/2023)].
Lantas plastik modern, masih dalam catatan Achfas, ditemukan oleh Dr. Bakeland, seorang ilmuwan Belgia pada tahun 1909. Pada tahun 1924 seorang ilmuwan Austria bernama Pollak berhasil menemukan sebuah campuran antara urea dan formaldehyde dengan bentuk seperti kaca, transparan. “Sejak saat itu plastik kemudian berkembang dengan pesat, dan ada kecenderungan untuk menggantikan pemakaian kayu dan logam,” jelas Achfas Zacoeb.
Sejak plastik menggantikan posisi daun sebagai bungkus makanan [ingat, lemper atau lontong saja sekarang sudah dibungkus dan direbus dengan plastik!], rupanya otak kita masih terbiasa menganggap plastik sebagai daun yang bisa dibuang di mana saja. Asumsi ini dapat dibuktikan dengan banyaknya sampah plastik yang mudah sekali ditemukan di setiap lini kehidupan kita.
Jika kebiasaan membuang sampah plastik ini dilakukan hanya oleh satu dua orang, tentu tidak akan terjadi banjir sampah plastik. Namun karena kebiasaan ini terjadi secara massal, terjadilah fenomena sungai-sungai yang menjadi TPA seperti yang terjadi pada Sungai Cikeruh atau anak-anak Sungai Citarum lain. Saya yakin sampah plastik yang dihasilkan tahun 1856 bentuknya akan tetap utuh sekarang, tak hancur seperti daun pisang.
Jadi bicara perang melawan sampah tak “semudah” membuat konten di media sosial. Butuh gerakan terstruktur, sistematis, masif untuk mencuci otak-otak manusia agar memahami cara pengelolaan sampah modern ini. Membersihkan sampah di sungai adalah persoalan hilir alias permukaan. Penanganan sampah plastik memerlukan organisasi apik yang menyentuh persoalan dari hulu sampai hilir. Organisasi ini disiapkan untuk menghadapi masalah sampah dan pemahaman terhadap sampah itu yang sudah menumpuk selama ratusan tahun.
Kita perlu belajar dari Pandawara, khususnya strategi memviralkan lingkungan yang tergusur sampah, tetapi lebih penting lagi kita juga harus mau mendengarkan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah lebih dulu terjun memerangi sampah dalam kesunyian, tanpa viral di media sosial. Sebut saja Perkumpulan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) Bandung yang sejak berdiri tahun 1993 hingga hari ini tetap mengkampanyekan gaya hidup nol sampah (zero waste), atau organisasi lingkungan hidup yang lebih tua lagi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang sejak pembentukannya pada tahun 1980-an konsisten menolak pertambangan tidak ramah lingkungan.
Sampah modern perlu dikelola dengan pendekatan ilmu pengetahuan agar membentuk kesadaran dan tindakan mengelola sampah secara baik dan benar. Organisasi-organisasi lingkungan yang tercerahkan mengajarkan sampah modern harus dipilah sejak dari sumber utama, yaitu kantor, pabrik, perusahaan, dan rumah tangga. Perlakuan pada sampah organik dan nonorganik (plastik dan kawan-kawannya) berbeda. Sampah organik bisa diproses secara alami, sedangkan sampah nonorganik dipisahkan untuk didaur ulang.
Bahkan program edukasi tentang sampah sudah sampai pada pencegahan atau pengurangan sampah. Jika dalam ilmu intelijen ada kontraintelijen, di ranah persampahan ada kontrasampah yang disebut gaya hidup nol sampah.
Bentuk-bentuk pencegahan nyampah dari gaya hidup nol sampah ini sangat banyak. Kita sebut saja beberapa contoh: membawa wadah minum sendiri, dengan begitu ia tidak perlu membeli air minum kemasan plastik; membawa kantong belanja sendiri untuk menghindari kantong keresek; membeli makanan kiloan dengan wadah makanan sendiri untuk menghindari makanan kemasan kecil yang dibungkus plastik; menggunakan angkutan umum untuk menghindari kendaraan pribadi yang boros BBM; membatasi diri belanja online [karena nyampah di era digital ini semudah menggerakkan jempol kita di layar sentuh HP]; dan mengerem praktik-praktik yang berpotensi menghasilkan sampah lainnya yang semua itu hanya akan bisa dicegah melalui program edukasi yang terus-menerus tak kenal lelah.
Konsep tersebut mudah dituliskan, namun akan sulit dipraktikkan jika pemahaman tentang sampah ini tak diterima otak kita dan otak pemerintah sebagai pembuat regulasi. Pemerintah sebagai yang berwenang membuat kebijakan harus merancang aturan yang mewadahi konsep gaya hidup nol sampah tadi. Pemerintah bisa memulainya dengan mengenalkan ilmu pengetahuan nol sampah kepada anak-anak sekolah-sekolah, meski bentuknya tidak harus kurikulum [karena kasihan anak-anak sekolah sekarang sudah terlalu banyak dibebani mata pelajaran].
Perang melawan sampah mungkin tak sebesar perang Bharatayudha dalam lakon Mahabharata, atau perang melawan Sauron yang dikemas dengan sinematografi memukau seperti dapat dilihat di film The Lord of the Rings. Perang melawan sampah lebih dari sekadar visual yang viral di media sosial. Perang ini berlangsung seumur hidup, dengan generasi mendatang menjadi taruhannya. Ironis jika generasi masa depan hanya mendapatkan sampah peradaban berupa malapetaka plastik.