• Foto
  • Yang Terempas di Tegalluar

Yang Terempas di Tegalluar

Tegalluar merupakan resapan air bagi Cekungan Bandung. Alih fungsi besar-besaran dipastikan terjadi karena pembangunan infrastruktur Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Fotografer Prima Mulia6 Desember 2022

BandungBergerak.id - Gempita uji dinamis Kereta Cepat Jakarta Bandung yang disiarkan secara video streaming di perhelatan KTT G20 di Bali November 2022 lalu, kembali membangkitkan asa yang digaungkan sejak tahun 2019, yaitu Tegalluar jadi salah satu opsi pusat pemerintahan baru Provinsi Jawa Barat selain Kertajati.

Bermodal angan-angan Stasiun Kereta Cepat Jakarta Bandung di Tegalluar bisa memicu dan mengakselerasi roda perekonomian serta pembangunan infrastruktur lainnya di kawasan basah yang didominasi sawah, kolam, dan ladang pertanian.

Tegalluar berada di dasar cekungan Bandung. Kawasan ini dulunya merupakan daerah rawa yang perlahan berubah jadi perkampungan dengan sawah, ladang, dan kolam-kolam ikan mahaluas. Pendeknya, Tegalluar jadi kawasan resapan dan parkir air di musim hujan sejak masa lalu dari generasi ke generasi. Beberapa wilayah sawah di desa ini memiliki karakter banjir saat musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sawah puso akibat banjir atau kekeringan jadi cerita berulang.

Mematikan fungsi Tegalluar dari kawasan resapan air dan pertanian subur jadi hutan properti agaknya bukan keputusan yang tepat. Jika kawasan ini hilang, dampaknya akan sangat berasa pada daya dukung lingkungan di Kota dan Kabupaten Bandung.

Tegalluar hanya sebagian dari sekitar 800 hektare lahan hutan, kebun, sawah, kolam, dan permukiman, yang beralih fungsi. Kereta cepat memiliki empat stasiun utama, yaitu Halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar. Tujuan akhir kereta cepat sebenarnya berakhir di Stasiun Padalarang bagi penumpang kereta dengan tujuan Kota Bandung. Tegalluar tak siap dengan moda transportasi pendukung untuk menuju kota, sedangkan di Padalarang, PT KAI sudah menyiapkan kereta feeder khusus yang akan berhenti di Stasiun Bandung.

Hadirnya Stasiun Tegalluar dan stasiun depo di kawasan Cileunyi Kulon tak berdampak signifikan pada kultur masyarakat agraris di sana. Warga tetap mengandalkan sektor pertanian dan hasil kebun yang faktanya semakin susut karena area sawahnya berkurang. Untuk area stasiun saja sekitar 100 hektare yang hilang, belum termasuk emplasmen stasiun depo dan area batas jalur rel ke sisi kanan dan kiri yang juga membutuhkan lahan.

"Sekarang luasan sawah jelas semakin berkurang, kan dipakai untuk pembangunan stasiun kereta cepat. Nggak ada pengaurhnya buat kehidupan kami yang petani penggarap ini. Malah kami harus berbagi lahan pekerjaan dengan petani penggarap lain di kotak-kotak sawah yang masih ada, itu juga kalau sawah ini tidak dibangun jadi komplek perumahan ya kami masih bisa bekerja jadi buruh tani," kata Hartati, 65 tahun.

Saat ditemui BandungBergerak.id, Hartati tengah melepas lelah sambil menyesap segelas teh hangat dari termos minum yang dibawanya. Sebagian kakinya sampai betis terendam di air yang mengairi sawah, ia duduk di pematang becek yang sudah dialasi terpal plastik bekas spanduk kampanye sebuah partai politik. Embun menguap saat matahari pagi mulai menghangatkan area sawah di Tegalluar, persis di sisi rel kereta cepat.

 

Hartati dan buruh tani lainnya yang berasal dari Cileunyi Wetan tengah menanam bibit-bibit padi di Tegalluar pada musim tanam rendeng di akhir tahun 2022 ini. Ia juga mengaku jika salah seorang anaknya ada yang jadi pekerja di proyek kereta cepat.

Suasana keseharian warga juga terlihat sama seperti proyek ini baru dimulai beberapa tahun lalu. Keseharian mereka bisa ditengok mulai dari wilayah Tegalluar di sisi utara rel kereta cepat sampai ke Rancaekek Kulon dan Cileunyi Wetan, lalu kembali memutar ke sisi selatan, diteruskan dengan menyusuri sisi sungai di DAS Citarum. Yang berubah cukup drastis adalah lingkungan sekitar sungai di perbatasan Tegalluar, Rancaekek Kulon, dan Cileunyi.

Di Kampung Cipanileuman, aktivitas keseharian warga tetap sama. Pergi ke sawah dan ladang, mengurus ternak bebek dan ayam, atau menjaring ikan di sungai. Di sebarang proyek Stasiun Tegalluar, ada kampung mati yang rumah-rumahnya sudah jadi puing karena masuk area proyek pembebasan lahan.

Di batas Rancaekek Kulon, Cileunyi Wetan, dan Tegalluar, lebar Sungai Cikeruh menyempit dengan konstruksi beton di sana sini, mengingat kawasan ini jadi area Stasiun Depo Kereta Cepat dengan area pembangunan jauh lebih luas dibanding Stasiun Tegalluar. Kawasan ini juga kerap banjir akibat sistem sungai yang terganggu.

Selain berdampak negatif pada lingkungan, ada juga manfaat lain yang cukup menguntungkan bagi sebagian warga, anak-anak muda di kampung-kampung sekitar banyak yang bekerja sebagai pekerja di proyek. "Mending di proyek, nggak-lah kalau harus jadi buruh tani atau kerja di sawah mah," kata Harun, lulusan SMA berusia 20 tahun.

Menurut laman tegalluar.desa.id, desa seluas 756 hektare ini dihuni 23.790 jiwa, terdiri dari 11.584 perempuan, 12.206 laki-laki. Warga Tegalluar yang berprofesi petani menempati urutan kelompok nomor 4 tertinggi, sekitar 0,60 persen; sedangkan yang paling tinggi sebanyak 30,33 persen masuk kelompok tidak bekerja; mengurus rumah tangga sekitar 22,22,persen; pelajar/mahasiswa sekitar 15,35 persen.

Tegalluar di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung yang berbatasan dengan Gedebage di Kota Bandung dan ke wilayah timur di Ranceekek, Kabupaten Bandung, sejak berabad lalu mungkin sudah menjalankan fungsinya sebagai kawasan basah dan daerah resapan air. Banyak kampung di tiga kecamatan tersebut yang diawali dengan kata ranca atau rawa.

Di era Hindia Belanda kawasan-kawasan basah ini jadi favorit untuk berburu jenis burung-burung air di area persawahan mahaluas waktu itu. Alangkah idealnya jika fungsi lahan basah yang semakin menyusut ini tetap dipertahankan, alih-alih terbuai utopia akselerasi roda ekonomi stasiun kereta cepat yang belum jelas untuk siapa.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//