• Narasi
  • Yang Pekak dan Memekik di Balik Deru Pembangunan Jalur Kereta Api

Yang Pekak dan Memekik di Balik Deru Pembangunan Jalur Kereta Api

Di tengah kondisi paceklik, warga terdampak pembangunan jalur kereta api di Kiaracondong menghadapi harga sewa rumah yang meningkat.

Ryan Zulkarnaen

Alumni Sastra Inggris UIN SGD Bandung, pernah aktif di Jaringan Anak Sastra dan UKM LPIK.

Empat anak kecil tengah bermain air sisa hujan di lahan proyek pembangunan PT. KAI, pesisir selatan perlintasan Kereta Api, stasiun Kiaracondong, Kota Bandung. Oktober 2022. (Foto: Ryan Zulkarmaen/Penulis)

5 November 2022


BandungBergerak.idBertolak proyek strategis nasional (PSN) yang diusung Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur tengah bertebaran mewarnai kota-kota Indonesia, salah satunya Bandung. Hampir genap satu tahun, proyek pembangunan jalur ganda kereta api telah menyapu bidang rumah pesisir perlintasan kereta api.

Di timur stasiun Kiaracondong, di mana jalur perlintasan rel kereta api membelah tiga kelurahan Babakan Sari, Mekarsari, dan Sukapura, sebelumnya terdapat deretan rumah-rumah di sepanjang bahu jalur kereta api. Kini, tinggal menyisakan puing-puing reruntuhan seperti pascaperang, juga sederet nasib kisah manusia. Mereka adalah warga terdampak dari penertiban bangunan proyek jalur ganda trayek Kiaracondong-Cicalengka.

Berpuluh tahun warga mendiami bangunan di samping perlintasan jalur kereta api: suka dan duka di antara pekik naga besi, lengking terompet, dan ruang publik yang rawan, merupakan denyut kehidupan yang tak dapat ditawar. Namun, ketika tangan-tangan pembangunan menyisir deretan rumah warga, wajah pembangunan seolah menjelma monster yang paling menakutkan. Cepat-lambat, warga musti meninggalkan tanah dan bangunanya—dengan mencari rumah dan peruntungan baru. Kendati beradaptasi dengan lingkungan baru tidaklah mudah, apalagi keadaan materi dan mental dalam tertatih-tatih.

Di tengah kondisi paceklik, harga sewa rumah meningkat, biasanya sebesar 10 juta per tahun, kini meningkat sekitar 15-20 juta per tahun. Tak ayal, jika pada khotbah salat Jum’at, seorang khotib mengumumkan kepada warga, “dimohon kepada pemilik dan penyewa rumah, kalau bisa orang yang tengah ditimpa kesusahan, tidak dikenakan biaya sewa tinggi,” ujar Yuda Amir, warga terdampak.

Apa pun urgensi warga mempertahankan tanah, tidak bakal mampu mengurungkan urgensi Proyek Strategis Nasional. Siapa coba berani menghalangi pembangunan proyek negara? Konsekuensi logis apa akan dialamatkan kepada mereka. Tambah lagi, jauh sebelum penertiban menyapu bangunan warga, wacana pembangunan sudah didengungkan sejak Bapak Pembangunan, melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Hanya saja di era kepemimpinan presiden dua periode sekarang, wacana silam mewujud barang nyata, ujar Suroto, warga yang terbebas dari penertiban.

Sejak tahap sosialisasi, verifikasi, validasi—penilaian hingga pembongkaran bangunan, warga cenderung kooperatif dengan rencana proyek pembangunan. Tidak ada aksi protes, apalagi penolakan dan gugatan lahir secara masif. Mereka menyadari bahwa tanah yang mereka huni ini milik PT KAI. Ketidakpemilikan warga atas sertifikat tanah merupakan penanda tanah itu aset negara. Tapi, bukan berarti warga bebas pajak. Ada pun sikap pasrah warga merupakan afirmasi terhadap fenomena penertiban. “Jika negara membutuhkan tanah, sekalipun tanah milik sendiri, pemilik musti menego harga, apalagi tanah ini milik negara,” ujar Yuda Amir.

Urgensi penertiban bangunan rumah di sepanjang pesisir timur stasiun Kiaracondong, sejatinya untuk merealisasikan proyek jalur ganda dan Depo Kereta Api. Berhubung luas tanah stasiun Bandung sudah tidak memadai, tidak mungkin pula melakukan penertiban di sekitaran pusat kota, maka stasiun Kiaracondong menjadi opsi paling strategis untuk penyediaan tanah pembangunan nasional.

Secara geografis, Kiaracondong berada di tapal tengah Bandung, setidaknya relatif mudah mengakses sekolah, industri, rumah sakit, pasar, mal, dan ruang-ruang publik lainnya. Pada waktu yang sama, muara proyek jalur ganda untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kereta api lokal Bandung Raya, dan menopang proyek babon KCIC (Kereta Api Cepat Indonesia-China) trayek Jakarta-Bandung yang berlokasi di Tegaluar.

Baca Juga: HUT Bandung sebagai Momen Menghapuskan Tradisi Penggusuran
Penggusuran Rumah di Kota Bandung Menjadi Perhatian Mahasiswa
Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran

Lanskap bangunan-bangunan rumah warga yang disulap menjadi tanah lapang pasca penertiban proyek pembangunan PT. KAI, Kelurahan Sukapura, Kiaracondong, kota Bandung. Oktober 2022. (Foto: Ryan Zulkarnaen/Penulis)
Lanskap bangunan-bangunan rumah warga yang disulap menjadi tanah lapang pasca penertiban proyek pembangunan PT. KAI, Kelurahan Sukapura, Kiaracondong, kota Bandung. Oktober 2022. (Foto: Ryan Zulkarnaen/Penulis)

Kompensasi tidak Merata

Pascaexcavator merobohkan deretan bangunan rumah, dan mobil truk lalu lalang mengangkut pasir dan bebatuan, masih ada segelintir warga mengeluhkan mengenai tidak meratanya kompensasi yang mereka terima. Memang, warga mengetahui setiap bangunan rumah itu mendapatkan uang kompensasi berdasarkan jenis material bangunan, apakah bata merah, batako, atau beton. Sebagai mahluk sosial yang dianugerahi daya pikir dan nalar kritis, wajar apabila warga membandingkan adanya selisih dalam jumlah penerimaan kompensasi. Keluhan-keluhan itu dialami Yuda Amir setelah berdialog dengan tetangga dan warga terdampak lainnya.

Menurut lelaki berdarah Minang itu, ada beberapa penyebab mengapa kompensasi tidak merata diterima warga terdampak. Pertama, struktur dan material bangunan. Di Sukapura ada dua bangunan rumah memiliki struktur bangunan dan jenis material sama, tapi jumlah kompensasi itu variatif. Salah-duanya, bangunan rumah yang tidak bertingkat mendapatkan kompensasi 65 juta rupiah, sedangkan rumah bangunan bertingkat mendapatkan kompensasi hanya 49 juta rupiah.

Sama halnya Mas Wardi, pemilik bangunan berukuran luas, jika dibandingkan 6 bangunan dengan 1 bangunan rumah orang pada umumnya, ditaksir dia akan mendapatkan 200 juta rupiah. Tetapi ia hanya mendapatkan sebesar 74 juta rupiah. Dua angka itu pun didapatkan musti adanya pengaduan kemudian pengajuan, bukan dengan sikap diam—pasrah.

Kedua, faktor geografis menentukan tinggi harga sebuah bangunan rumah dan kompensasi. Sebagaimana bangunan-bangunan rumah di sebelah utara Stasiun Kiaracondong cenderung mendapatkan kompensasi lebih besar daripada bangunan rumah berada di selatan stasiun. Terutama, mulai dari SD Negeri Babakan Sinyar hingga anak Sungai Cidurian, jumlah kompensasi relatif kecil dibanding daerah lainnya. Salah duanya, sebuah yayasan berukuran tanah luas, hanya mendapatkan kompensasi sebesar 18 juta rupiah. Lalu, rumah bangunan bertingkat, karena sebagian bangunan dijadikan kamar kost, warga tersebut hanya mendapat kompensasi sebesar 8 juta rupiah. Apalagi bangunan rumah berukuran petak-petakan, hanya mendapatkan kompensasi sekitar 2-3 juta rupiah.

Ketiga, benda-benda rumah, penentu selisih kompensasi daripada sekadar jenis material dan luas bangunan. Yuda Amir menyesali setelah merapikan barang-barang di dalam rumah bangunan seluas 3 tumbak, dia menerima kompensasi sebesar 12 juta rupiah. Pasalnya, bangunan rumah berisi penuh barang-barang cenderung mendapatkan kompensasi lebih besar daripada bangunan seisi rumah yang rapih—kosong. Terbukti, bangunan rumah kosong seluas 6 tumbak mendapatkan kompensasi hanya 18 juta rupiah. Begitu pula, bangunan yayasan tanpa ada barang-barang, mendapatkan kompensasi sebesar 18 juta rupiah.

Di samping itu, warga terdampak mendapatkan kompensasi sesuai dengan jenis material bangunan. Yuda Amir menilai penerimaan kompensasi variatif itu bersifat untung-untungan. Bukan saya tidak bersyukur menerima jumlah santunan tersebut yang merujuk pada tahap verifikasi, validasi, dan penilaian yang memuat indikator kerja-kerja ilmiah. Konsekuensi logisnya, bagaimana sistem dan teknis penyurveian itu beroperasi? Bagaimana kinerja tim survei saat memperoleh data-data di lapangan? Tak sedikit, warga menimpakan keluhan kompensasi terhadap kinerja tim survei. Menyitir dawuh pahlawan nasional, “kalau sistem itu tak dapat diperiksa kebenarannya, maka matilah ilmu pasti itu,” kata Tan Malaka.

Asumsi Yuda Amir mendasarkan kompensasi variatif itu disebabkan oleh kondisi-kondisi di luar objektivitas. Dalam hal ini, sifat manusiawi seperti iklim ‘jenuh’ dan ‘kecapaian’ menimpa tim survei saat memeriksa 600 bidang bangunan. Dari sekian banyak tenaga penyurvei, Yuda Amir menilai bahwa teknis kinerja penyurvei itu berbeda-beda. Pasalnya, ada penyurvei memverifikasi rumah hanya sebatas mengukur dengan cara ditembak, ada pula memeriksa rumah secara detail seisi rumah. Barang tentu, kondisi subjektivitas ini mempengaruhi kinerja tim survei, sehingga penilaian terhadap setiap bidang bangunan menghasilkan data variatif. Bukan berdasarkan jenis material bangunan ataupun luas tanah.

Pak Suroto (Kanan) tengah bercengkrama dengan Pa Roil (Kiri), sembari membagikan tanaman sayuran kepada sesama warga di lahan PT KAI, Kelurahan Sukapura, Kiaracondong, Kota Bandung. Oktober 2022. (Foto: Ryan Zulkarnaen/Penulis)
Pak Suroto (Kanan) tengah bercengkrama dengan Pa Roil (Kiri), sembari membagikan tanaman sayuran kepada sesama warga di lahan PT KAI, Kelurahan Sukapura, Kiaracondong, Kota Bandung. Oktober 2022. (Foto: Ryan Zulkarnaen/Penulis)

Berdasarkan keterangan web Kementrian Perhubungan Direktorat Jendral Perkeretaapian (KJPP), bahwa tahap verifikasi, validasi, dan penilaian itu berada dalam otoritas Kantor Jasa Penilai Publik/Appraisal. Apakah mungkin keluhan warga tepat dilemparkan kepada pihak terkait yang bersemboyan kompeten, objektif atas penilaian objek bangunan.

Syahdan, apa arti keluhan warga terdampak, sementara kompensasi telah diterima dan bangunan rumah-rumah telah rata seperti lapangan. Begitu sekejap proyek pembangunan Nasional menyulap deretan bangunan rumah menjadi tanah lapang yang sebentar lagi akan menjadi perlintasan jalur ganda KA trayek Kiaracondong-Cicalengka, sepanjang 26 KM.

Sejak pagi, awan hitam menggelayut di langit Jum’at. Para pegawai proyek rombongan Cikalong tengah membuat benteng untuk pembatas antara warga Sukapura dan lahan proyek PT KAI. Melihat pembangunan sudah di depan mata, Suroto tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengulurkan solidaritas terhadap warga terdampak. Beliau hanya memanfaatkan lahan sapetak dengan menanam sayur-sayuran, seperti bayam, sosin, bawang daun, dan buah-buahan di tanah bertuan.

Tanah yang dipakai bercocok tanam tak lama lagi akan bertansformasi, dan warga tidak bisa memanfaatkan kembali sayuran-sayuran. Pada kenyataan ini menunjukkan masih ada warga memerlukan sayuran barang sekadar untuk memenuhi tambahan kebutuhan dapur, sekali pun tanaman itu tumbuh di atas onggokan tanah bercampur berangkal.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//