• Berita
  • Melihat Kemunduran Kota Bandung dari Perkembangan Jalan Braga

Melihat Kemunduran Kota Bandung dari Perkembangan Jalan Braga

Sudarsono Katam dan Foggy Fauziah Ferdiana sama-sama sepakat Jalan Braga lebih indah untuk dikenang dibandingkan kondisi saat ini yang memprihatinkan.

Foggy Fauziah Ferdiana (tengah) dan Sudarsono Katam (ujung kanan) dalam Ngadu Buku Bandung, di Kedai Jante, Bandung, 15 Maret 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Fitri Amanda 18 Maret 2024


BandungBergerak.idMenjadi pusat wisata yang dikenal dengan arsitektur kolonial Belanda yang memikat, Jalan Braga menjadi perhatian dua penulis beda genre, Sudarsono Katam yang merupakan penulis buku sejarah Bandung, dan Foggy Fauziah Ferdiana seorang novelis. Kedua juga melontarkan kritik terhadap jalan ikonik di tengah Kota Bandung ini.

Menurut Sudarsono Katam, nama Braga memiliki beragam versi asal usul. Ada yang mengaitkan nama Braga dengan bahasa Portugal atau Spanyol. Namun, ada pula pendapat dari sastrawan Sunda M.A. Salamoen yang menyatakan bahwa Braga berasal dari kata "Baraga", mengacu pada kegiatan jalan-jalan sore di tepi Sungai Cikapundung.

Sudarsono Katam mengatakan, hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang versi yang benar mengenai asal usul nama Jalan Braga. Penulis buku Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950 itu mengungkapkan, dahulu Jalan Braga adalah jalanan yang sepi, menghubungkan gudang kopi dengan jalan utama.

Namun, seiring waktu dan pertumbuhan ekonomi membuat Jalan Braga mengalami perubahan signifikan. Gedung-gedung mewah dan toko-toko eksklusif mulai bermunculan, menjadikan Braga sebagai kompleks pertokoan elite yang menawarkan barang-barang mewah dan mengikuti tren mode dari Paris.

Namun, Sudarsono menyataka,n saat ini pesona yang dulu dimiliki Braga lambat laun semakin memudar. Jalan yang dulu begitu megah kini berubah menjadi jalan yang “kumuh” dan kehilangan vitalitasnya, jauh dari citra masa lalunya yang gemilang.

“Apa yang kita bisa banggakan dengan Braga sekarang juga tidak ada. Nah, ini sekarang jadi entah tanggung jawab siapa, entah kesalahan siapa yang menjadikan Braga seperti ini,” ucap Sudarsono Katam dalam diskusi Ngadu Buku di Kedai Jante, Bandung, Jumat, 15 Maret 2024.

Regenerasi yang tidak optimal dari para pemilik toko di Jalan Braga pada zaman dahulu menjadi salah satu faktor kualitas pertokoan-pertokoan elite di Braga menjadi menurun. Sudarsono mengungkapkan, banyak dari pemilik toko tidak berhasil merencanakan masa depan toko mereka dengan baik, sehingga generasi penerus memilih untuk tidak meneruskan bisnis keluarga mereka.

Seiring dengan bertambahnya usia, kemampuan berdagang para pemilik juga semakin menurun, menyebabkan banyak toko yang akhirnya tutup. Faktor pajak yang tinggi juga membuat banyak pemilik toko harus menyewakan atau menjual bangunan mereka, menyebabkan perubahan kepemilikan dan nuansa di sekitar Jalan Braga.

Perubahan tidak hanya terjadi dalam kepemilikan, tetapi juga dalam fungsi bangunan. Banyak yang dulunya toko yang menjual barang-barang mewah kini telah berubah menjadi tempat makan atau kafe, mengikuti perkembangan zaman. Dengan adanya perubahan ini, pesona dan atmosfer khas Braga mulai memudar dan digantikan oleh suasana yang berbeda.

Sudarsono juga menyampaikan keprihatinannya terhadap perubahan yang terjadi di Bandung, di mana bahkan bangunan-bangunan tua yang dilindungi sebagai cagar budaya pun tidak luput dari kerusakan akibat pembangunan. Namun, penulis yang telah menerbitkan 18 buku tentang Bandung itu mengajak peserta diskusi untuk mengubah pandangan terhadap masa kejayaan Jalan Braga dan Kota Bandung secara keseluruhan. Dia menegaskan bahwa mengingat masa kejayaan tersebut hanya akan menyebabkan kekecewaan belaka, karena hal itu tidak akan bisa terulang kembali. 

“Jadi kita sekarang harus melihat Bandung ini secara realistis, apa adanya, dan jangan berharap bagaimana mengembalikan keindahannya. Justru kita harus siap mental dan menyiapkan ini untuk melihat hancurnya Bandung,” ucap Sudarsono Katam.

Saat ditanya tentang kenangannya di Jalan Braga, penulis yang lahir di Kotabumi, Lampung Utara tersebut mengaku bahwa saat itu dia masih kecil dan ingatannya terbatas. Bagi Sudarsono, masuk ke Jalan Braga pada masa kecil merupakan suatu hal yang sulit dilakukan disebabkan oleh keterbatasan ekonomi keluarganya yang membuat segalanya terasa jauh.

Di tengah kenangan yang terbatas itu, ada satu hal yang selalu melekat di ingatannya: Het Snoephuis. Bagi Sudarsono, roti dari Het Snoephuis —yang kini sudah berganti nama menjadi Sumber Hidangan— merupakan kenangan yang paling berkesan. Roti tersebut tidak hanya enak tetapi juga dibuat tanpa pengawet dan bahan tambahan yang berlebihan. Bahkan sampai sekarang toko tersebut masih menggunakan resep yang sama seperti dulu.

Baca Juga: Ngabaraga, Melihat Kontrasnya Kehidupan di Braga
Ramadan di Tahun Pagebluk (19): Layu (Penjual) Bunga di Jalan Braga
BUKU BANDUNG #46: Braga Jantung Parijs van Java

Acara Ngadu Buku Bandung membahas tentang Braga dalam buku sejarah Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930 - 1950 oleh Sudarsono Katam dan Braga At Paris Van Java oleh Foggy Fauziah Ferdiana, di Kedai Jante, Bandung, 15 Maret 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Acara Ngadu Buku Bandung membahas tentang Braga dalam buku sejarah Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930 - 1950 oleh Sudarsono Katam dan Braga At Paris Van Java oleh Foggy Fauziah Ferdiana, di Kedai Jante, Bandung, 15 Maret 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Mengkritik Melalui Fiksi

Foggy Fauziah Ferdiana turut mengkritik kondisi Bandung dan Jalan Braga melalui karyanya yang berjudul “Braga at Paris Van Java”. Dia menganggap Jalan Braga terlalu dipuja-puja. Baginya, Braga adalah miniatur dari kota Bandung, dan melalui Braga, kita dapat melihat gambaran keseluruhan tentang warga Kota Bandung.

Menurut Foggy, hal yang paling mengganggu di Braga adalah masalah sampah, kemacetan, premanisme, dan parkir yang semerawut. Baginya, kedewasaan suatu sosialitas dapat dilihat dari bagaimana manusia memperlakukan hal-hal kecil, seperti bagaimana mereka memperlakukan sampah.

Novelis yang meniti karier sebagai penulis buku anak itu percaya bahwa ketika seseorang menghargai dirinya sendiri, dia juga akan menghargai lingkungan sekitarnya. Dengan penekanan pada masalah-masalah tersebut, Foggy menyampaikan kritiknya terhadap kondisi sosial dan lingkungan di Kota Bandung melalui novel yang ditulisnya. Ia telah penggambaran realistis kehidupan sehari-hari di Bandung dan berharap dapat memberikan inspirasi untuk perubahan yang lebih baik.

Foggy menegaskan, novel yang ia tulis bukanlah novel sejarah melainkan novel fiksi. Meskipun dalam novelnya terdapat latar belakang tentang gedung-gedung heritage dan kuliner Bandung, hal itu hanya digunakan sebagai alat untuk menarik perhatian pembaca khususnya anak muda yang menjadi targetnya.

Dalam novelnya, Foggy memperkenalkan tokoh atau inohong Kota Bandung yang merupakan mantan wartawan dan memiliki tiga orang putri. Ketika inohong ini meninggal, ia mewariskan banyak cita-cita kepada anak-anaknya, terutama kepada anak keduanya yang merupakan tokoh utama dalam novel yang ditulis Foggy.

Tokoh utama tersebut kerap kali mendengar cerita-cerita romantis tentang Bandung dari abahnya, khususnya tentang Braga. Namun, ia menemukan bahwa ternyata Bandung dan Braga tidak lagi seperti yang digambarkan oleh abahnya.

Melalui perjalanan tokoh utama dan pertemuannya dengan berbagai tokoh lainnya, termasuk komunitas-komunitas yang peduli terhadap lingkungan dan masalah-masalah Kota Bandung, Foggy menghadirkan berbagai isu dan konflik dalam novelnya. Salah satunya adalah konflik antara kebanggaan orang Bandung terhadap Bandung dan ketidakpercayaan mereka terhadap pendatang dari luar kota.

Melalui dialog-dialog dan sedikit bumbu kisah romantis antara tokoh-tokoh yang ada, Foggy mencoba menggambarkan cita-cita dan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat Kota Bandung saat ini.

Novelis yang juga menaruh perhatian pada isu perempuan tersebut menyadari bahwa masalah kemacetan di Bandung bukanlah satu-satunya permasalahan yang dihadapi, tetapi juga tingkat kejahatan yang semakin meningkat dan masalah ketidakamanan transportasi publik, terutama bagi perempuan. Namun, isu kemacetan menjadi fokus utamanya kali ini karena ia merasa bahwa hal itu merupakan tantangan yang dapat dijadikan perhatian bersama saat ini, terutama bagi anak muda.

Menurut Foggy—yang lahir dari generasi pengguna angkot— daya tampung transportasi umum jauh lebih besar dan efisien daripada kendaraan pribadi. Transportasi publik yang mampu mengangkut banyak orang sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih ekonomis. Penggunaan transportasi umum bisa menjadi solusi yang lebih baik dalam mengurangi kemacetan dan memaksimalkan kapasitas transportasi kota.

Foggy ingin mengajak pembaca untuk menggunakan transportasi umum sebagai alternatif. Namun, ia sadar bahwa hal tersebut memerlukan evaluasi lebih lanjut terkait keamanan, kelayakan, dan kualitas transportasi umum yang ada.

Foggy berharap, isu-isu yang diangkat di novelnya dapat mengajak masyarakat untuk bersama-sama menyuarakan perlunya perbaikan sistem transportasi umum. “Ini kan jadi PR gitu, sama-sama PR kita semua gitu. Untuk pemerintah daerahnya, untuk masyarakatnya. Bagaimana menciptakan formula untuk mengatasi kemacetan, mungkin salah satunya ya transportasi publik itu tadi,” ungkap Foggy.

*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//