SUARA SETARA: Stereotip Maskulinitas Mengakibatkan Pelecehan Seksual pada Laki-laki Menjadi Bahan Guyonan
Pelecehan, pemerkosaan, ataupun kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi laki-laki juga rentan mengalami hal serupa. Kerap diremehkan.
Abu Muhamad Fauzan
Anggota Gender Research Student Center (GREAT) UPI
19 Maret 2024
BandungBergerak.id – Kehidupan manusia saat ini tidak terlepas dari sistem yang masih kental sejak zaman purba, yaitu patriarki. Sistem sosial yang berkaitan dengan gender di mana terdapat ketidaksetaraan gender karena monopoli semua peran oleh laki-laki.
Pada sistem patriarki, laki-laki digambarkan sebagai seseorang yang lebih kuat dan dominan daripada perempuan. Terdengar seperti laki-laki yang diuntungkan dan perempuan yang dirugikan dalam sistem ini, padahal laki-laki juga tetap mendapatkan dampak lainnya.
Sistem yang hampir ada di seluruh dunia ini memunculkan stereotip atau penghakiman di masyarakat tentang maskulinitas, salah satunya laki-laki tidak boleh menangis karena seharusnya laki-laki itu kuat secara fisik maupun mental untuk melindungi dirinya sendiri. Hal tersebut membuat laki-laki merasa rendah diri ketika membuka masalah mereka atau menangis ketika sedang sedih, salah satu masalah yang jarang diungkapkan oleh laki-laki adalah ketika mereka mengalami pelecehan seksual.
Baca Juga: SUARA SETARA: Pinjaman Online, Normalisasi Kekerasan Verbal
SUARA SETARA: 16 HAKTP yang selalu Kita Rayakan Sebenarnya Berawal dari Sejarah Penuh Luka
Laki-laki juga Rentan Mengalami Pelecehan Seksual
Pelecehan, pemerkosaan, ataupun kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi laki-laki juga rentan mengalami hal yang serupa. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang dipublikasikan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID pada 2020, terdapat 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.
Berdasarkan survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, yaitu terdapat 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan.
Berdasarkan data-data tersebut, jumlah korban pelecehan seksual pada laki-laki relatif lebih rendah daripada perempuan, sehingga kesadaran masyarakat akan permasalahan ini masih kurang. Kurangnya kesadaran masyarakat bukan karena rendahnya tingkat kasus yang terjadi pada laki-laki, melainkan karena rendahnya tingkat pengaduan oleh korban laki-laki. Alasan mereka (korban laki-laki) tidak mau speak up akan kejadian yang terjadi padanya adalah karena stereotip masyarakat tentang maskulinitas dan narasi gender yang menyepelekan pelecehan seksual pada laki-laki. Sehingga, pengalaman korban laki-laki sering kali mendapat ketidakpercayaan, diremehkan, tidak diakui, dan tidak dibantu ketika mencari dukungan dan melapor ke polisi ataupun atasan di tempat kerjanya.
Kerap Diremehkan
Selain itu beberapa penyintas dari hasil penelitian, laki-laki cenderung tidak mengetahui sebelumnya bahwa dirinya adalah korban pelecehan seksual karena ketidakpahaman mengenai konsep hubungan seksual yang seharusnya sesuai dengan konsen masing-masing. Sehingga, para penyintas laki-laki ini sebagian besar baru mengetahui bahwa mereka merupakan seorang korban pelecehan seksual setelah mengetahui konsep pelecehan ataupun ketika menjadi partisipan penelitian.
Kasus ketidaktahuan korban juga dapat terjadi ketika sedang dalam kondisi kurang sadar, seperti sedang mabuk lalu dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan aksinya. Kejadian tersebut pernah viral pada awal tahun 2020 dengan pelaku Reynhard Sinaga yang memakan 48 korban laki-laki dan diyakini lebih dari 200 korban laki-laki di Manchester. Para korban tersebut baru mengetahui bahwa dirinya adalah korban pelecehan seksual setelah polisi mendatangi rumah mereka, kecuali korban terakhir yang melaporkan.
Ekspektasi masyarakat tentang maskulinitas dan patriarki perlahan memudar karena nyatanya pelecehan seksual pada laki-laki dapat terjadi dan berdampak besar bagi kehidupannya. Laki-laki yang selalu dianggap kuat sehingga tidak dapat mendapatkan pelecehan seksual karena dapat melawan, nyatanya tidak semua laki-laki mampu melawan jika dalam keadaan lemah. Laki-laki yang selalu dianggap akan menikmati ketika berhubungan seksual, nyatanya tidak semua laki-laki akan merasa itu jika tidak berdasarkan konsen atau paksaan. Begitu beragam laki-laki di seluruh dunia yang merasakan penderitaan hanya karena satu sistem sosial yang menyelimutinya, yaitu patriarki.
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.