• Kolom
  • SUARA SETARA: Pinjaman Online, Normalisasi Kekerasan Verbal

SUARA SETARA: Pinjaman Online, Normalisasi Kekerasan Verbal

Penagihan utang pinjaman online (pinjol) dilakukan dengan cara-cara penagihan yang tak masuk akal, misalnya dengan kekerasan verbal, cyber bullying, dan doxing.

Anggi Meilani

Mahasiswi S1 FIP UPI. Mendalami isu disabilitas, gender, kesehatan mental. Bergiat di Great UPI, bisa dihubungi di [email protected].

Ilustrasi kemudahan transaksi daring memicu budaya konsumerisme yang menjerat masyarakat. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

13 Desember 2023


BandungBergerak.id - “Bayar ya a***ng utangmu itu! Tak punya urat malu? Otak sejengkal harga diri dijual.”

“Profil lu udah gua dapet semua, tinggal gua kirim ke semua kontak lu biar malu seumur hidup karena ga bayar utang.”

“Buat surat kematian lu segera kalo ga mau bayar utang.”

“Gua pake data lu buat ajuin pinjol lain ya, gausah bego banget jadi orang.”

Begitu beberapa kalimat yang terlontar dari debt collector pinjaman online pada debitur atau peminjam yang termuat di X @pinjollaknat. Alasannya satu: telat bayar. Dampak yang dahsyat dirasakan oleh peminjam, mulai dari tidak bisa membayar, bunga yang kian hari semakin besar, biaya layanan yang tidak masuk akal, tenor pembayaran yang pendek, hingga kekerasan berbasis gender online dengan jenis kekerasan verbal, cyber bullying, dan doxing (penyebaran data pribadi tanpa persetujuan) dari penagih atau debt collector

Banyak orang yang terjerat pinjaman online atau peer to peer landing karena berbagai alasan mulai dari prosesnya relatif cepat dan mudah dibanding lembaga pinjaman konvensional seperti bank, terpepet atau tidak punya pilihan lain, rendahnya literasi keuangan digital dan masalah kemiskinan struktural yang mengakar.

Sepanjang 2023, peminjam pinjaman online meningkat. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pembiayaan fintech peer to peer lending atau pinjaman online semakin bengkak, wilayah Jawa menjadi yang paling besar sebaran penyalurannya, dengan terbanyak di dua wilayah yakni DKI Jakarta dengan total 170,59 triliun rupiah dan Jawa Barat 162,75 triliun rupiah. Temuan menarik lainnya yang didapat adalah usia pengguna pinjaman online mayoritas berkisar antara 25-35 tahun dan tingkat pendapatan 2,5 juta rupiah per bulannya (Erdi, T, W., 2023). Bersumber dari data LBH Jakarta 2021, dari 2.522 kasus pinjaman online sebagian besar korbannya perempuan. Selain itu, jumlahnya secara keseluruhan naik 25,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat setidaknya ada 14.000 oang yang menjadi penagih pinjaman online dan tak jarang intimidasi atau kekerasan verbal dilayangkan pada peminjam. Kekerasan verbal yang dinormalisasi terus terjadi, pada akun X @pinjollaknat banyak contoh kekerasan verbal yang dilakukan debt collector ketika menagih utang pada peminjam, karena telat membayar pada waktu jatuh tempo yang ditentukan. Korban pinjaman online bisa mengalami trauma, kehilangan pekerajaan karena ditagih ke tempat kerja debitur, mendapat stereotip buruk.

Baca Juga: SUARA SETARA: Mempertanyakan Identitas Gender Seseorang, Merendahkan Kemanusiaannya
SUARA SETARA: Melawan Tuntutan bahwa Perempuan Harus Elegan
SUARA SETARA: Menanamkan Nilai Sensitivitas Gender pada Laki-Laki

Pinjol Memicu Pembunuhan 

Ketika peminjam dihadapkan dengan kekerasan verbal yang terjadi terus menerus, maka akan ada dinamika psikologi seperti merasa tertekan, frustasi, cemas, depresi bahkan sampai ada kasus bunuh diri karena stres tidak bisa membayar utang. Eko Novi Ariyanti, Pelaksana Tugas Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi KemenPPPA menyebut perempuan mengalami pelecehan seksual dan penyebaran data pribadi seperti foto dan video oleh penagih utang. Bahkan ada kasus seorang ibu di Semarang, RS (34 tahun) membunuh anaknya mengaku karena stres akan jeratan pinjol yang awalnya ia meminjam 13 juta rupiah namun ketika pengembalian menjadi 38 juta rupiah (CNN Indonesia). Kasus jeratan pinjol tidak main-main dan perlu mendapat perhatian serius.

Tidak hanya pesan teks atau telpon dengan kekerasan verbal, teror pun dirasakan oleh peminjam bahkan kontak terdekat peminjam, seperti spam call yang lebih dari 10x per hari, orderan fiktif berupa makanan yang dikirim ke alamat peminjam dan peminjam harus membayar biayanya, penyebaran data pribadi di sebuah situs, menghubungi kerabat atau kontak peminjam, didatangi ke tempat kerja, dipermalukan di depan banyak orang dan lainnya.

Sayangnya belum ada mengatur terkait hal tersebut, sangat miris. Meskipun sudah ada UU ITE yang menyatakan pelarangan penyebaran informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, namun peraturan tentang pinjaman online belum ada. Seharusnya hal seperti ini menjadi perhatian lebih secara holistik, terutama dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan kepolisian serta pihak berwenang lainnya agar tidak terulang kejadian mengenaskan akibat tidak bisa bayar pinjaman online. 

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//