SUARA SETARA: Melawan Tuntutan bahwa Perempuan Harus Elegan
Perempuan tidak memiliki kewajiban memenuhi standardisasi kecantikan. Kamu tetap cantik dengan seluruh yang melekat pada dirimu!
Shela Amelia
Mahasiswa, aktif di Gender Research Student Center (GREAT) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
19 September 2023
BandungBergerak.id - "Kamu tuh cantik, pinter, tapi sayang kurang elegan! Coba aja diem, anggun, pasti makin cantik dan banyak yang suka." Seperti itulah ucapan-ucapan yang dilayangkan kepada saya, perempuan yang dianggap terlalu vokal dan berani. Lagi-lagi ucapan itu membuat saya muak dengan stereotip yang diamini sampai saat ini, bahwa perempuan harus terlihat “elegan”.
Memang elegan itu yang bagaimana, sih? Kata elegan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merujuk pada pengertian elok, rapi, anggun, lemah gemulai, luwes. Penampilan tidak rapi dan perilaku tidak lemah gemulai, bahkan menjadi perempuan yang terlalu vokal atau berani, lantas dipandang sebagai kekurangan saya sebagai perempuan.
Hmmm… bukankah ekspetasi perempuan harus elegan menghasilkan definisi yang sempit tentang kecantikan? Dan apakah kalian sadar bahwa ini merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang melingkupi perempuan? Stereotip ini tidak hanya merugikan perempuan secara pribadi, tetapi juga menghambat perkembangan masyarakat untuk menuju kesetaraan gender yang lebih substansial.
Standardisasi Perempuan
"Kalau kamu cantik ya harus pinter juga, harus rapih, anggun, baik, supaya orang-orang pada suka!" Ucapan yang sampai detik ini membuat saya heran: mengapa kami “perempuan” harus memenuhi standar-standar itu? Apa tidak bisa menjadi perempuan yang pintar saja? Apa tidak bisa menjadi perempuan yang baik saja? Apa perempuan harus selalu terlihat rapi? Dan mengapa laki-laki yang berantakan dianggap wajar?
Saya perempuan sering kali dipaksa untuk memenuhi standar-standar ini semata-mata untuk memenuhi ekspektasi dari konstruksi sosial yang sangat patriarki ini. Konstruksi patriarki merujuk pada suatu sistem sosial di mana laki-laki dianggap sebagai figur utama yang memiliki otoritas sentral dalam struktur sosial. Atau secara singkat, sistem ini menempatkan sosok masculine di atas feminine, akibatnya perempuan menjadi subordinasi, termarginalkan, bahkan memperoleh ketidakadilan di dalam masyarakat (Mutiah, 2019).
Konstruksi patriarki menciptakan standardisasi dan stereotip gender yang kini berlaku umum dalam masyarakat. Seperti sosok feminine itu yang pasif, lemah lembut, submasif, emosional, dan tidak independen. Sedangkan sosok laki-laki itu yang aktif, independen, tegas, logis, dan tidak banyak bicara. Jika dilihat, sifat-sifat yang selama ini dianggap unggul oleh masyarakat semuanya melekat pada sosok maskulin, sementara sifat-sifat yang dianggap lemah itu dilekatkan pada sosok feminine (Mutiah, 2019). Jika saya sebagai perempuan memiliki sifat yang aktif, tegas, dan tidak lemah lembut atau sering disebut tidak anggun, artinya saya dianggap gagal untuk memenuhi standardisasi perempuan seharusnya.
Selain itu, adanya strereotip kecantikan menghasilkan perbandingan standar yang kuat antara perempuan dan laki-laki. Saya sebagai perempuan sering kali dipandang hanya berdasarkan penampilan. Sementara laki-laki cenderung dipandang berdasarkan kualitas, prestasi, dan kepribadian mereka, tidak peduli bagaimana laki-laki itu berpenampilan. Laki-laki berpenampilan berantakan dianggap hal yang wajar, “Ah namanya juga laki-laki”. Tentu ketidaksetaraan ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi memperkuat norma patriarki yang memposisikan penampilan sebagai hal yang tidak signifikan bagi laki-laki tetapi menjadi hal yang sangat penting bagi perempuan.
Baca Juga: SUARA SETARA: Jadi Tuli di Indonesia itu Susah!
SUARA SETARA: Sebelum Merayakan Hari Kemerdekaan, Refleksi terhadap Kasus Kekerasan Seksual di Zaman Jepang
SUARA SETARA: Puan yang Merdeka, Belum Terlambat untuk Memaknai Kemerdekaan yang Sesungguhnya
Dampak Standarisasi Perempuan
Tekanan yang saya dapatkan untuk memenuhi standar tertentu memiliki dampak yang serius untuk kesejahteraan psikologis dan emosional. Upaya untuk memenuhi ekspetasi tidak realistis ini seringkali memunculkan rasa ketidakpuasan terhadap tubuh dan citra diri, hal ini pun dapat berkontribusi pada masalah rendahnya rasa pecaya diri, gangguan makan bahkan sampai depresi.
Salah satu bentuk standardisasi perempuan yang paling jelas adalah tekanan untuk memenuhi standar dalam hal penampilan. Seperti yang masih saya rasakan dan lihat di media massa ataupun industri kecantikan, sering kali mengukuhkan pandangan bahwa hanya tampilan fisik tertentu yang dapat dianggap sebagai “cantik”. Salah satunya, seperti tekanan untuk menjadi elegan yang saya dapatkan. Akibatknya saya dan perempuan lainnya merasa perlu dan berlomba-lomba untuk memenuhi standar-standar itu demi merasa diterima dan diakui. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakpuasan terhadap diri sendiri, tetapi juga mengalihkan perhatian dari kualitas, kemampuan dan kepribadian yang seharusnya lebih dihargai.
Standardisasi perempuan juga dapat membatasi peran dan aspirasi perempuan. Pandangan yang sempit tentang perempuan juga sering menghasilkan harapan bahwa saya perempuan harus tetap di dalam batasan-batasan tradisional seperti menjadi ibu rumah tangga atau memiliki pekerjaan yang sesuai dengan stereotip gender. Ini tentu merugikan perempuan yang ingin mengejar karier di bidang yang sering kali disebut tidak “layak” untuk perempuan.
Dengan adanya standar-standar tertentu untuk menuntut perempuan menjadi sempurna akan membuat saya dan perempuan-perempuan lainnya semakin jauh dari kata “penerimaan diri”. Menurut Inni (2022) dengan adanya standarisasi kecantikan membuat kemampuan perempuan dalam penerimaan dirinya semakin rendah yang memunculkan perasaan-perasaan seperti tidak percaya diri, insecure, rendah diri, dan perasaan-perasaan negatif lainnya.
Ketidaksetaran gender semakin termanifestasikan ketika pilihan perempuan dibatasi oleh standar sosial yang meminggirkan atau mengabaikan aspirasi yang lebih luas. Ketika penilaian terhadap perempuan lebih berfokus pada penampilan dari pada potensi, pengetahuan atau kemampuan; dan ketika perempuan lebih dihargai atas penampilan fisik daripada prestasi dan kontribusi mereka dalam berbagai bidang.
Mengubah Paradigma
Pandangan masyarakat mengenai cantik yang sampai kini masih saya rasakan yaitu hanya terbatas pada penampilan fisik saja, sebagaimana yang disebutkan oleh (Worotitjan; Inni, 2022) bahwa pembentukan standar kecantikan merupakan dampak dari budaya patriarki yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Pentingnya mengubah paradigma masyarakat terhadap standar-standar yang merugikan perempuan, seperti perempuan harus anggun, rapih, cantik dan stereotip lainnya.
Kesetaraan gender tidak hanya tentang memerangi diskriminasi langsung, tetapi juga tentang menggugah kesadaran pada asumsi-asumsi tidak sadar yang telah ditanamkan dalam budaya ini. Mengubah paradigma juga berarti mendukung kebebasan ekspresi perempuan. Setiap individu memiliki hak untuk mengekspresikan diri sesuai dengan kepribadiannya tanpa takut dihadapkan pada standar-standar yang sempit. Saya sadar, bahwa seluruh standar yang diterapkan pada perempuan berasal dari hal sistematis dan harus perempuan sadari bahwa kita bersama-sama terjebak dalam lingkaran patriarki. Oleh karena itu perempuan tidak harus elegan, perempuan tidak harus selalu rapih, perempuan tidak harus menjadi “cantik”.
Ingat, kita tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi standar-standar itu! Kamu tetap cantik dengan seluruh yang melekat pada dirimu!
*Tulisan SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center (Great) UPI