• Kolom
  • SUARA SETARA: Puan yang Merdeka, Belum Terlambat untuk Memaknai Kemerdekaan yang Sesungguhnya

SUARA SETARA: Puan yang Merdeka, Belum Terlambat untuk Memaknai Kemerdekaan yang Sesungguhnya

Indonesia baru saja merayakan kemerdekaan Agustus kemarin. Apakah kemerdekaan itu sudah kita rasakan sebagai perempuan yang punya pilihan atas hidupnya?

Andily Aprilia Rahmawati

Anggota Gender Research Student Center (GREAT) dan Ketua BEM KEMA FIP UPI, bisa dihubungi di [email protected]

Mural kritis salah satu sudut dinding Kota Bandung, Sabtu (22/1/2022). Indonesia menginjak 77 tahun pascaproklamasi kemerdekaan RI 1945. Namun kebebasan berpendapat dan berekspresi sedang diuji. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 September 2023


BandungBergerak.idBerbicara kemerdekaan, maka secara de facto dan de jure Indonesia sudah dinyatakan merdeka selama 78 tahun lamanya. Secara sederhana, merdeka diartikan sebagai lepasnya Indonesia dari cengkeraman para penjajah. Selanjutnya, perayaan kemerdekaan tersebut hanya berakhir pada seremoni pengibaran bendera merah putih, lomba balap karung, atau menempelnya bendera merah putih di setiap atap gang jalanan.

Peringatan kemerdekaan negeri ini kiranya lebih baik dimaknai dengan sebuah refleksi. Apakah betul kemerdekaannya sudah dirasakan rakyatnya? Apakah kemerdekaannya sudah dirasakan aku, kamu, dan kita semua sebagai perempuan yang punya pilihan atas hidupnya?

Merdeka bagi setiap perempuan memiliki makna yang berbeda. Merdeka dalam hal ini juga dapat diartikan sebagai merdeka berpikir, berbicara, bertindak, dan bebas dari kekerasan. Merdeka adalah ketika perempuan memiliki kepemilikan utuh atas tubuhnya dan pilihannya.

Namun buktinya saat ini, perempuan masih dianggap sebagai the second class persons kemudian menimbulkan banyak kekerasan berbasis gender yang terjadi, misalnya minimnya akses dan dukungan menjadi pemimpin, minimnya akses terlibat dalam kebijakan publik, hingga kekerasan seksual, dan ekonomi di sektor privat dan publik.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023, menyebutkan sepanjang tahun 2022 terdapat 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, menurut Jala Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) sepanjang 2017 hingga 2022 terdapat 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT dalam hal upah, fisik, dan seksual. Namun nahasnya, tahun ini juga menjadi peringatan 19 tahun belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) oleh negara ini. Dengan kondisi seperti ini, bukankah sudah waktunya berefleksi dan bergerak menciptakan kemerdekaan yang sesungguhnya?

Kemerdekaan Indonesia Begitu Maskulin

Romantisme sejarah militer di Indonesia tumbuh begitu kuat. Hal tersebut dapat dilihat pada cerita sejarah yang terus membingkai bahwa pahlawan adalah para pejuang laki-laki yang menembak musuh di garis depan. Romantisme kemenangan bangsa Indonesia dalam peperangan merupakan murni propaganda militer untuk menciptakan nasionalisme-sentris. Dalam hal ini, kecintaan terhadap negara terpusat pada satu pandangan sehingga negara tidak mengindahkan sebuah keberagaman.

Kemerdekaan yang terkesan maskulin dapat dilihat dari banyaknya pahlawan perempuan yang terlupakan oleh sejarah. Beberapa nama tersebut di antaranya adalah Setiati Surasto, tokoh buruh perempuan dan anggota badan Konstituante dari Gerwani. Setiati Surasto tercatat sebagai tokoh buruh Indonesia yang dipercaya memimpin organisasi buruh dunia.

Berikutnya, Fransisca Fanggidae, perempuan asal Rote yang berbicara di Kongres Kulkuta untuk memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia dan delegasi Indonesia dalam Kongres Wartawan Internasional saat peristiwa pembantaian 1965. Monia Latuliya yaitu kapitan perempuan pertama yang memimpin perjuangan rakyat Hatuhahadi Maluku. Serta, Lasminingrat yaitu penulis perempuan dari Sunda yang memajukan perempuan dan anak-anak.

Kemerdekaan Indonesia yang maskulin begitu menyorot senjata, bambu runcing, peperangan, penembakan, dan pertumpahan darah. Sejarah Kemerdekaan Indonesia akhirnya luput menyorot adanya peran diplomasi, pendidikan, dan kecerdasan lainnya sebagai bagian dari bentuk perjuangan selain kekerasan.

Baca Juga: SUARA SETARA: Wacana dan Klaim Kampus Ramah Lingkungan
SUARA SETARA: Hadirnya Teknologi, Ruang Aman Semakin Samar?
SUARA SETARA: Perempuan Naif dan Perempuan Liar

Kemerdekaan dalam Keberagaman

Sistem patriarki memvalidasi perempuan apabila perempuan mau dan berhasil melakukan sesuatu sesuai dengan standar dari laki-laki. Kemudian, dalam sistem patriarki pengalaman subjektif yang dirasakan perempuan tidak dianggap sebagai sesuatu yang valid dan logis. Padahal, pengalaman perempuan berhijab di Indonesia tentunya berbeda dengan pengalaman perempuan berhijab di Arab Saudi, pengalaman perempuan kulit putih di Eropa akan berbeda dengan pengalaman perempuan kulit putih di Afrika. Feminisme kemudian menyadari hal tersebut dan pentingnya memvalidasi subjektivitas pengalaman perempuan, bahwa Personal Is Political!

Beragamnya penindasan yang dialami perempuan menjadi sebuah landasan pentingnya memahami situasi yang terjadi sebagai sesuatu yang interseksionalitas. Untuk itu, feminis interseksionalitas menjadi mungkin di tengah beragam penduduk dan juga kebutuhan. Kemerdekaan sejatinya harus mengakui perbedaan dan keberagaman warga negaranya.

Kemerdekaan dalam keberagaman tergambarkan dalam beragamnya makna kemerdekaan itu sendiri. Barangkali, bagi buruh perempuan makna merdeka adalah mendapatkan jaminan perlindungan dan apresiasi yang layak. Bagi perempuan disabilitas, makna merdeka bisa berupa bebas dari stigma dan diskriminasi atas kebutuhan khususnya. Bagi transpuan, makna merdeka bisa berupa adanya ruang aman bersuara tanpa rasa takut. Bagi aku dan kamu pun bisa jadi memandang merdeka dengan spesifik pengalaman yang berbeda. Berdasarkan hal ini, maka mengakui sebuah keberagaman merupakan bagian dari kemerdekaan.

Mari Ciptakan Ruang Merdeka Itu!

Perjuangan itu tidak terbatas waktu, termasuk dalam merenggut utuh kemerdekaan untuk diri kita dan sekitar. Saat ini, perjuangan dapat berupa penciptaan ruang diskusi yang aman dan nyaman. Ruang ini akan menjadi wadah berbagi kekuatan, dukungan, dan bantuan untuk siapa pun yang terlibat. Selain itu, kita perlu menafsirkan ulang sejarah dan menghadirkan pihak yang sengaja di hapus perannya dalam sejarah. Tugas feminis adalah membongkar imaji maskulin terhadap perjuangan kemerdekaan.

Sekarang adalah saat yang tepat untuk rakyat sipil saling berkonsolidasi dan memperjuangkan kemerdekaannya yang beragam. Selain itu, menyebarluaskan pendidikan kritis yang menolak sistem pendidikan yang komando, kepatuhan, kuasa, dan ketakutan sebagai upaya integrasi militer oleh pemerintah. Upaya-upaya tersebut menjadi harapan terbentuknya kolektif akar rumput yang berdaya dan melawan. Percayalah, perubahan adalah karya berjuta-juta massa.

*Tulisan Suara Setara merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center (Great) UPI 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//