• Kolom
  • BUNGA DI TEMBOK: Sum Kuning, Korban Pemerkosaan yang Dituduh Menyebarkan Kabar Bohong

BUNGA DI TEMBOK: Sum Kuning, Korban Pemerkosaan yang Dituduh Menyebarkan Kabar Bohong

Pengadilan membebaskan Sum Kuning dari tuduhan menyebarkan kabar bohong yang dilayangkan polisi. Kasusnya tidak pernah benderang sampai sekarang.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Sampul buku Sum Kuning: Korban Pentjulikan Perkosaan (1970). (Foto: Tri Joko Her Riadi)

21 September 2024


BandungBergerak.id - Pada 21 September 1970 sore, Sumarijem, seorang gadis desa penjual telur, diculik oleh empat pemuda ketika sedang menunggu bus di Jalan Patuk, Yogyakarta. Perempuan yang dipanggil Sum Kuning karena kulitnya yang langsat itu diseret masuk ke dalam sebuah mobil lalu diperkosa.

Petaka tersebut pertama kali dikabarkan oleh Kedaulatan Rakyat edisi 23 September 1970 dengan judul yang berlapis-lapis: “Lagi penculikan wanita di Yogyakarta. Korbannya bakul telor (17 th). Setelah diperkosa uang jualannya Rp 4.650 dirampas”. Dilantangkan oleh koran-koran ibu kota, kasus ini menyedot perhatian warga selama berbulan-bulan berikutnya.

Lewat buku Sum Kuning: Korban Pentjulikan Pemerkosaan (1970) yang disusun tim pembelanya, kita akan tahu bahwa kontribusi para wartawan dalam kasus ini bukan hanya mengabarkannya sehingga menjadi perhatian masyarakat luas. Tut Sugijarti, perempuan yang pertama kali mengusahakan bantuan untuk Sum di hari nahasnya itu, adalah seorang jurnalis di tabloid “Minggu Pagi”. Demikian juga Slamet Djabarudi, wartawan “Pelopor Jogja” yang ditangkap dan ditahan polisi karena membela Sum Kuning. Sementara Kamadjaja, yang namanya banyak disebut sebagai pengarang buku, adalah seorang wartawan senior sarat pengalaman sejak era sebelum kemerdekaan.

“Tut Sugijarti datang karena mendengar isak tangis Sum yang memilukan. Keadaan Sum amat menyedihkan, kaki dan kainnya berlumuran darah. Meskipun hari baru jam 6 pagi, Tut segera menghubungi rekannya Iman Sutrisno, wartawan “Kedaulatan Rakyat”,” tulis Kamadjaja dan kawan-kawan, dalam buku Sum Kuning: Korban Pentjulikan Pemerkosaan. 

Buku setebal 128 halaman yang diterbitkan oleh U.P. Indonesia ini menelanjangi praktik buruk para aparat penegak hukum sejak dari bilik interogasi polisi hingga ruang sidang di pengadilan. Tekanan fisik dan psikis diderita Sum secara bertubi-tubi. Dia dipaksa mengakui skenario bahwa pemerkosaan itu hanya karangannya belaka, terinspirasi dari kasus penculikan guru Stella Duce beberapa bulan sebelumnya. Dalam skenario itu, muncul nama Trimo, seorang penjual bakso, yang dikorbankan sebagai pelaku pemerkosaan.

Oleh polisi, Sum Kuning dituduh menyebarkan kabar bohong sehingga pantas diajukan ke pengadilan. Selama ditahan, dia mengalami beragam siksaan, dari fisik hingga psikis. Semua agar sang korban pemerkosaan itu mau mengamini skenario versi aparat.

“Pemeriksaan polisi amat meletihkan sekali bagi Sum yang sedang dalam penderitaan. Acapkali ia diperiksa dari jam 10 pagi sampai jam sembilan malam tanpa diberi makan. Keluhan bahwa ia menderita sakit perut tidak dihiraukan oleh polisi pemeriksa. Seringkali Sum dibentak-bentak, bahkan diancam akan di-stoom. Maksudnya akan di-stoom listrik,” begitu tertulis dalam buku.

Rangkaian sidang Sum Kuning berlangsung tertutup, termasuk bagi wartawan. Tiga pembela Sum pun hanya boleh masuk ke ruang sidang secara bergantian.

Sebuah adegan menjijikkan terjadi di dalam ruang sidang itu. Trauma Peristiwa 1965 dibawa-bawa. Cap Gerwani disebut. Sum dipaksa membuka bajunya, sementara tubuhnya diraba-raba oleh petugas sambil bertanya: “mana cap Gerwani-mu?”

Dalam penanganan kasus pemerkosaan Sum Kuning, pers dibuat tidak punya banyak pilihan. Pemberitaan yang minim tentang jalannya persidangan ditambal dengan memuat keterangan-keterangan yang diperoleh dari orang-orang bersangkutan dan penyelidikan lapangan sang wartawan. Yang menarik, disebutkan pula bahwa pada akhirnya wartawan terpaksa harus menyertakan juga “pendapatnya secara tegas”. Ini tentu langkah yang berisiko, “tetapi toh ditempuh karena bermaksud tegas membela kebenaran dan keadilan serta menegakkan rule of the law di negara hukum kita”.

Barulah di sidang keempat pada 16 Desember 1970, pintu dibuka. Ruangan Pengadilan Negeri Yogyakarta penuh sesak oleh warga yang penasaran dengan perkembangan kasus ini. Alat pengeras suara dipasang agar mereka yang meluber ke luar ruangan pun bisa mengikuti jalannya sidang.

Pada sidang kelima, 17 Desember 1970, jumlah massa lebih besar lagi. Dalam sidang inilah, hakim memutus bebas Sum Kuning dari segala tuduhan.

“Seketika bagaikan meledaklah para pengunjung menyambut keputusan itu dengan gemuruh, tepuk tangan, sorak-sorai diiringi oleh serbuan mereka memberi selamat kepada Sum Kuning, tim pembela, dan ketua majelis hakim,” begitu buku Sum Kuning mengisahkan situasi siang itu.

Pers menyambut baik putusan ini. “Nusantara”, misalnya, melayangkan pujian ke para hakim “yang telah bertindak objektif dan meniadakan usaha untuk memutar-balikkan keadaan atas kerugian rakyat yang tak berdaya seperti dalam khasus Sum Kuning dengan membebaskan tersangka dari segala tuduhan”.

Namun, tentu saja masih ada fakta-fakta gelap dalam kasus ini yang disorot pers. Tuduhan menyebarkan kabar bohong yang ditimpakan pada Sum Kuning, menurut “Nusantara”, menguatkan dugaan “bahwa pihak kepolisian dan kejaksaan telah main di bawah satu topi”. Koran “Indonesia Raya” bersuara jauh lebih galak lagi: “Masyarakat patut kini menuntut agar semua tokoh polisi dan pembesar setempat yang terlibat dalam komplotan perkosaan terhadap hak-hak azasi dan martabat manusia yang telah mereka perkosa demikian ganasnya”.

Setelah putusan pengadilan itu, Kapolri Hugeng Iman Santoso segera menerbitkan instruksi untuk melakukan koreksi ke dalam serta mengusut tuntas kasus Sum Kuning. Ia membentuk tim yang bertugas mengusut kembali kasus tersebut dari permulaan.

“Kapolri tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapapun juga. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak,” tulis Hugeng, jenderal polisi yang dikenal sebagai sosok jujur itu.

Sejarah mencatat, kasus kejahatan yang menimpa Sum Kuning, yang diduga kuat melibatkan anak-anak pejabat, tak pernah berhasil diungkap secara benderang hingga hari ini. 

Potret Sum Kuning bersama dua wartawan yang turut memberikan pertolongan awal di hari nahasnya. (Foto: Tri Joko Her Riadi)
Potret Sum Kuning bersama dua wartawan yang turut memberikan pertolongan awal di hari nahasnya. (Foto: Tri Joko Her Riadi)

Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Francisca C. Fanggidaej, Kupu-kupu yang Hanyut dalam Pergerakan Pemuda Revolusioner
BUNGA DI TEMBOK: Sudjinah, Harapan yang Melampaui Siksaan

Penangkapan Wartawan

Kisah lain yang menarik dalam rangkaian kasus Sum Kuning adalah penangkapan wartawan Slamet Djabarudi, wartawan mingguan “Pelopor Jogja”, oleh polisi. Tulisan-tulisannya amat tajam, seperti terlihat dalam judul: “Memang ada misteri di balik Sum Kuning. PENYELIDIKAN POLISI SEMRAWUT” (15 September 1970), “Dalam perkara Sum Kuning: POLISI BERSANDAR PADA DUKUN?” (22 September 1970), lalu “Sandiwara Sum Kuning hampir berakhir: POLISI MEMUTAR BALIK FAKTA. Kain yang dipakai SK digunting-gunting” (29 September 1970). Dijerat pasal pidana, Slamet ditangkap pada 2 Desember 1970 malam dan digelandang ke markas Kodim 096.

Penangkapan Slamet mengundang reaksi luas dari beragam kalangan. Suara menuntut pembebasan sang wartawan bukan hanya datang dari Kota Gudeg, tapi juga ibu kota. Mingguan “Pelopor Jogja” menampilkan karikatur yang luar biasa berani di halaman pertama edisi 2 Desember 1970: dua orang sedang memikul peti mati bertuliskan “Kebebasan Pers di Jogjakarta, berjalan mengikuti papan penunjuk arah yang berbunyi ‘Kuburan Orde Baru’”.

Dibebaskan pada 11 Desember 1970, atau sembilan hari setelah penahanan, Slamet melanjutkan perjuangannya membela Sum Kuning. Ia turut menyusun “Sum Kuning”, buku yang secara lengkap mendokumentasikan kasus tersebut. Konon, ada buku jilid dua yang menyoroti proses persidangan para penculik dan pemerkosanya. Dalam iklan di halaman akhir buku “Sum Kuning”, dituliskan keterangan: “Apakah benar para terdakwa itu pelaku-pelaku perbuatan kejam di luar peri kemanusiaan?”.

Ketika buku jilid pertama diterbutkan, Sum Kuning masih berjuang memulihkan kondisi kesehatan fisik dan psikisnya. Dia masih ada dalam pengawasan dokter.

“Ia masih selalu diliputi ketakutan untuk pulang ke desanya,” begitu keterangan dalam buku Sum Kuning: Korban Pentjulikan Pemerkosaan. ”Takut kepada orang berseragam polisi, bahkan kadang ketakutan terhadap derap sepatu yang dikiranya derap sepatu polisi.”

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang Jurnalisme

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//