BUNGA DI TEMBOK: Sudjinah, Harapan yang Melampaui Siksaan
Sudjinah, perempuan jurnalis yang aktif di Gerwani, menderita siksaan tak terperi. Harapan membuatnya bertahan sebagai manusia yang terus berkarya dan berempati.
Tri Joko Her Riadi
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id
28 Februari 2024
BandungBergerak.id – Di sel isolasi berukuran dua kali dua meter di penjara Bukit Duri, dengan pintu tertutup sepanjang siang dan malam, Sudjinah membunuh kesepian dengan mengingat semua yang indah di masa lalu “bagaikan sebuah film yang diputar ulang”. Tahun-tahun menyenangkan berkuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mulai 1950, kongres pertama Gerwis (Gerakan Wanita Istri Sadar) di Surabaya pada 1951, Festival Pemuda Internasional di Warsawa pada 1955, reportase pertama yang membuka jalan sebagai wartawan dan pengarang, tiga tahun kerja di sekretariat Gabungan Wanita Demokratik Sedunia (WIDF) di Berlin yang memungkinkannya menjelajahi dunia, hingga keterlibatan sebagai pengurus pusat Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
“Dan sekarang saya di sini, diisolasi dalam penjara, namun dalam peristiwa yang menimpa saya, saya harus bersyukur karena masih hidup. Di mana ada kehidupan, di situ ada harapan, bukan?” tulis Sudjinah dalam buku memoar Terempas Gelombang Pasang (2003).
Sebelum dijebloskan ke sel isolasi itu, Sudjinah sudah mengalami serangkaian siksaan fisik dan psikis yang luar biasa berat. Tertangkap pada 17 Februari 1967, dia diseret ke bekas sekolah Tionghoa di Jalan Gunung Sahari yang oleh para tahanan disebut ‘rumah setan’. Di sinilah ratusan atau bahkan ribuan orang terkait PKI, yang dituduh sebagai pelaku pemberontakan G30S 1965, ditahan dan disiksa.
Segala yang buruk yang bisa dibayangkan seorang perempuan dialami oleh Sudjinah. Dia ditelanjangi, dilecehkan, dipukuli, dan dibuat kelaparan. Dalam salah satu adegan, setelah ‘berhasil’ memuntahkan seluruh isi perut ke muka salah satu penyiksanya, Sudjinah dipukuli bertubi-tubi dengan batang rotan hingga pingsan. Tetap, tidak ada secuil pun informasi tentang identitas dan persembunyian teman-teman seperjuangan di Gerwani keluar dari mulutnya.
“Saya gosok-gosok wajah saya yang bengkak dan bibir saya yang meradang akibat pukulan yang bertubi-tubi. Betatapun juga saya masih hidup,” tulisnya.
Dari ‘rumah setan’, di mana tidak sedikit tahanan kehilangan nyawa, Sudjinah dipindahkan ke beberapa tempat penahanan lain di tengah kota. Sejak Juni 1967, di sebuah rumah tinggal yang dijuluki ‘kaleng ikan sarden’, dia harus tinggal berdesakan dengan sekitar seratus tahanan lain hingga untuk tidur pun harus bergantian. Sitor Situmorang, penyair terkenal, ada di sana. Juga tiga kawan seperjuangan Sudjinah: Sri Ambar Rukmiati dari SOBSI (Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Suharti Harsono dari BTI (Barisan Tani Indonesia), serta Sulami, Sekretaris Gerwani. Di kamp ini, tidak ada lagi penyiksaan selain tamparan di pipi selama interogasi.
Dari ‘kaleng ikan sarden’, Sudjinah, bersama ketiga kawannya, dipindahkan ke Blok C Bukit Duri, bagian penjara buatan Belanda yang diperuntukkan tahanan ‘berbahaya’. Di penjara yang membiarkan penghuninya menderita kelaparan inilah dia bertemu dengan gadis-gadis remaja belasan tahun yang ditangkap di Lubangbuaya. Mereka yang oleh pemberitaan media massa ketika itu dituduh menyiksa para jenderal lewat ritual “tari harum bunga”: memotong kemaluan dan mencongkel mata sambil menari-nari bugil.
Sudjinah, yang sejak awal meragukan kebenaran informasi tersebut, memperoleh kisah sebenarnya langsung dari para remaja belum cukup umur itu. Mereka, para anggota Pemuda Rakyat yang sedang berlatih militer sebagai bagian ‘Gerakan Ganyang Malaysia’, adalah juga korban. Sama seperti dirinya.
“Kenyataannya anak-anak itu tertangkap di Lubangbuaya, dipukuli dengan kejam, beberapa di antara mereka bahkan diperkosa. Banyak yang kemudian terganggu secara mental,” tulis Sudjinah.
Menjadi orang yang dituakan adalah peran yang kemudian banyak dilakoni oleh Sudjinah di sisa-sisa tahunnya di penjara. Selain memimpin berbagai kegiatan seni dan keterampilan, mulai dari menari hingga pentas drama, dia juga menjadi tempat para tahanan lain menceritakan kisah hidup mereka. Sudjinah dengan sabar mendengarkan, lalu menuliskan sebagian di antaranya. Sudjinah menitipkan tulisan-tulisannya kepada salah seorang petugas wanita baik hati yang belakangan dia ketahui bersuamikan seorang tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru hingga ujung umurnya.
Pada 1975, delapan tahun setelah ditangkap, Sudjinah bersama ketiga kawan seperjuangannya diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada awal 1980, terbit vonis banding 18 tahun penjara untuk Sudjinah dan 20 tahun untuk Sulami. Setahun berselang turun vonis masing-masing 15 tahun untuk Sri Ambar dan Suharti.
Setelah putusan di awal 1980 itu, Sudjinah dan ketiga kawannya dipindahkan ke Penjara Wanita Tangerang. Di sini mereka bergabung dengan para tahanan kriminal. Memanfaatkan kelonggaran pengawasan, Sudjinah terus menulis dan menyelundupkannya ke luar penjara berkat bantuan Doris, perempuan yang menyamar sebagai mahasiswa institut teknik yang sedang meneliti bangunan penjara. Kumpulan tulisannya ini, juga beberapa kisah dari Bukit Duri, diterbitkan menjadi buku “In a Jakarta Prison: Life Stories of Women Inmates” (2000) yang berisi 14 kisah hasil terjemahan Irfan Kortschak.
Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Lontar ini, Sudjinah, yang dituliskan menjadi Sujinah di sampulnya, memotret kisah orang-orang biasa yang dia temui di penjara. Sebagian besar diceritakan dengan teknik sudut pandang orang pertama. Dari seluruh cerita itu, terlihat jelas betapa tajam pena sang jurnalis menyorot permasalahan di tengah masyarakat lewat mulut sesama tahanan, tapi sekaligus juga betapa besar empatinya terhadap perjuangan mereka.
Ada kisah tentang seorang perempuan muda dari Klaten yang memaksa diri pergi ke Jakarta untuk mengendurkan jerat kemiskinan. Meskipun sedang mengandung anak kedua, dia mengikuti saran tetangga yang pulang pada Lebaran. Itulah awal mula sang janda terjerumus dalam praktik jual-beli bayi yang berujung penangkapan polisi. Perempuan lugu itu tidak bisa membela diri dari tuduhan, sementara mereka yang dia lihat hilir-mudik mengambili bayi tidak tersentuh hukum.
Ada juga cerita tentang Checkers, perempuan Amerika yang tertangkap menyelundupkan heroin di bandara. Kepada Sujinah, dia mengaku nekat melakukan semua itu demi jabang bayi yang sudah ditinggal minggat bapaknya. Memulai dengan banyak bualan, Checkers menutup pengakuannya dengan menangis terisak. Sujinah, merasa kasihan, memeluknya.
Pada 17 Agustus 1983, setelah 16 tahun meringkuk di penjara, Sudjinah menghirup udara bebas. Surat bebas resmi yang turun dua tahun kemudian membuat kewajiban melapor ke Kodim melonggar dari setiap pekan menjadi setiap bulan. Enggan berpangku tangan, Sudjinah bertahan hidup dengan bekerja sebagai penerjemah bagi salah seorang dosen di Universitas Indonesia, lalu berlanjut ke dosen lain asal Australia. Mengambil kursus Inggris, Sudjinah kemudian aktif mengajar bagi para aktivis organisasi non pemerintah.
Baca Juga: Pers dan Partai Politik Kita
Keniscayaan Jurnalisme Bermutu di Era Algoritma
BANDUNG HARI INI: G30S Meletus di Jakarta, Situasi Sepi yang Ganjil di Kota Kembang
Buletin Bawah Tanah dan Kudeta Merangkak
Sudjinah, kelahiran Solo, 27 Juli 1928, merupakan sulung dari empat bersaudara dari seorang pegawai Keraton Surakarta. Pendidikan SD diselesaikan di era penjajahan Belanda, sementara SMP di masa pendudukan Jepang. Di tahun-tahun revolusi fisik pascaproklamasi, dia aktif sebagai kurir perang.
Karier kepenulisan Sudjinah dimulai ketika surat-surat yang dia kirim dari Warsawa, Polandia, pada 1955 dimuat di Harian Rajat. Temannya yang mengirimkan tulisan-tulisan itu ke redaksi koran yang menjadi corong PKI itu. Pulang ke Tanah Air, ketika aktif di Gerwani, Sudjinah melanjutkan pekerjaan sebagai penulis lepas dan penerjemah bagi para wartawan Pravda, koran terbitan Uni Soviet.
Di hari-hari pertama setelah Peristiwa G30S, Sudjinah menyaksikan bagaimana massa membakar dan menjarah-rayah kantor Comite Central (CC) PKI di Jalan Kramat Raya dan gedung-gedung lain yang dituding terkait partai merah tersebut. Dia juga mendapat kabar tentang sekelompok tokoh Gerwani yang menjadi anggota parlemen diangkut militer dari Senayan.
Dalam situasi tidak menentu itu, Sudjinah bersama beberapa kawannya membulatkan tekad untuk tetap berjuang dari bawah tanah. Caranya, membuat dan mengedarkan secara sembunyi-sembunyi buletin yang dinamai Pendukung Komando Presiden Sukarno (PKPS). Sudjinah sendiri yang memastikan buletin itu sampai ke kedutaan-kedutaan asing di Jakarta.
Ketika itu informasi untuk publik dimonopoli media-media yang menjadi corong propaganda militer, di antaranya Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Keduanya gemar menyebarkan cerita bohong tentang kekejaman pembantaian di Lubangbuaya, tentang pemotongan alat kelamin dan pencongkelan mata para jenderal, meski tim forensik memastikan tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh jenazah. Media juga menyudutkan Sukarno lewat kedekatannya dengan PKI.
“Menyadari berbagai kelicikan dan kejahatan yang dilakukan oleh rezim militer Suharto, maka dalam buletin kami, yang diterbitkan sejak permulaan tahun 1966, ketika Presiden Sukarno masih berkuasa, kami menyatakan bahwa rakyat harus berani melawan rezim fasis Jenderal Suharto yang telah mengambil kekuasaan secara inkonstitusional melalui ‘kudeta merangkak’ dalam G30S. Tujuan kami adalah mengembalikan kekuasaan kepada Presiden Sukarno,” tulis Sudjinah.
Perlawanan ala gerilya itu berlangsung tidak kurang satu tahun. Sudjinah dan kawan-kawannya menghindar dari pengendusan intelijen dengan terus-menerus berpindah tempat tinggal dan mengubah penampilan sampai hari nahas penangkapan tiba. Kelak, dalam pemeriksaan jaksa di Bukit Duri, Sudjinah mengetahui adanya pengkhianatan di tubuh pergerakan.
Tidak Perlu Mendendam
Jurnalis Sinar Harapan Fransisca Ria Susanti mewawancarai Sudjinah dalam berbagai kesempatan pada 2006, lalu menuliskannya untuk diterbitkan di koran. Pada September 2006, artikel tentang Sudjinah itu, yang dijuduli “Sendiri di Ujung Senja”, digabungkan dengan 12 tulisan tentang perempuan-perempuan penyintas 1965 lain menjadi buku Kembang-kembang Genjer.
Kondisi kesehatan Sudjinah sudah menurun drastis digerogoti usia dan siksaan di masa lalu. Susanti menggambarkan perempuan renta di hadapannya itu “jalannya tertatih, pendengarannya berkurang”. Namun, toh Sudjinah tidak pernah kehilangan nyala. Dia rajin mengikuti senam di lapangan “biar sehat”. Juga betul-betul tepat waktu menyantap bubur sumsum. Bersama para manula lain di rumah penampungan, dia menghidupi apa yang didefinisikan Susanti sebagai “solidaritas yang mengharukan”.
“Ia bertutur lancar tentang masa lalunya. Matanya berbinar jika ada generasi perempuan yang lahir di era Orde Baru mengunjunginya. Ia selalu bersemangat,” tulis Susanti yang ketika itu merupakan koresponden di Hong Kong.
Siksaan bertubi-tubi dan hukuman penjara selama belasan tahun tidak membekukan hati dan pikiran Sudjinah. Ketika menuliskan buku memoarnya, dia masih menyimpan sebuah harapan: agar anak bangsa tidak lagi ditipu oleh sesama bangsa sehingga tega melakukan pembantaian terhadap saudara-saudaranya sendiri.
“Saya tidak perlu mendendam, memusuhi, atau membenci mereka yang pernah menangkap dan menyiksa serta menghukum saya,” tulis sang jurnalis perempuan yang tutup usia pada 16 September 2007 itu. “Sebab saya tahu mereka berbuat begitu karena tidak tahu, karena telah tertipu oleh informasi yang keliru.”
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.