Memahami Masalah Anemia bagi Orang Puasa
Tiga dari 10 remaja di Indonesia dilaporkan menderita anemia. Bagaimana orang dengan anemia harus menjalani puasa?
Penulis Iman Herdiana9 April 2024
BandungBergerak.id - Lebih dari 496 juta jiwa penduduk usia 15-49 tahun mengalami anemia, Berdasarkan data yang dihimpun World Health Organization (WHO). Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat 3-4 dari 10 remaja dilaporkan menderita anemia. Hal ini menunjukkan bahwa anemia menjadi masalah kesehatan yang perlu ditangani secara serius.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Pasundan Nadjwa Zamalek Dalimoenthe menjelaskan, anemia yang umumnya dikenal sebagai kondisi “kurang darah” memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosisnya. Pemeriksaan ini merujuk pada sedikitnya tiga parameter, yaitu kadar hemoglobin (Hb), persentase hematokrit, dan jumlah sel darah merah.
Jika nilai salah satu atau ketiganya rendah, maka seseorang dapat diklasifikasikan sebagai penderita anemia.
“Setelah dilakukan diagnosis, kita harus tahu jenis anemia yang dialami, apakah ringan, sedang, atau berat. Lalu, tingkat keparahan dan penyebabnya. Itu penting untuk menentukan pengobatan yang tepat. Pemeriksaan tambahan seperti ukuran eritrosit dan jumlah sel darah putih (leukosit) juga diperlukan,” ujar Nadjwa, dikutip dari Talkshow Ramadan Sehat, dari laman resmi Unpas, Jumat, 22 Maret 2024.
Pemeriksaan terkait jenis-jenis anemia dapat dilihat dari kadar Hb. Jika kadar Hb masih di angka 12 gram/dL, maka masih dikategorikan anemia ringan. Untuk anemia sedang, kadar Hb 8-12 gram/dL, dan anemia berat di bawah 8 gram/dL.
Di Indonesia, kasus paling banyak yaitu anemia defisiensi zat besi, kemudian thalasemia atau kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya Hb dan jumlah sel darah merah dalam tubuh. Dari penelitian yang ia lakukan di kalangan siswa SMA, 57 persen di antaranya mengalami defisiensi zat besi, namun banyak yang tidak melakukan screening karena merasa tidak bergejala.
“Gejala anemia bisa bervariasi. Kalau seseorang merasa dia terkena gejala anemia, dokter biasanya langsung memeriksa matanya, karena mata akan lebih pucat, begitu juga wajah dan kukunya. Setelah screening awal, baru kita bisa cek laboratorium,” tambahnya.
Puasa bagi Penderita Anemia
Bagi penderita anemia, terutama anemia sedang dan berat, berpuasa dapat menjadi hal yang berisiko, karena harus menjalani terapi secara rutin. Sementara penderita anemia ringan masih diperbolehkan berpuasa, dengan catatan kadar Hb masih di atas 11 gram/dL. Kendati demikian, sebelum berpuasa disarankan untuk konsultasi dengan dokter.
“Meski boleh berpuasa, tapi dia (penderita anemia ringan) harus memastikan pola makan yang seimbang, bergizi, dan nutrisinya terpenuhi. Perhatikan kombinasi makanannya, pastikan terdapat kandungan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Minimal konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, seperti daging dan sayuran hijau, suplemennya juga jangan sampai lupa,” kata Nadjwa.
Ia berharap, kesadaran di masyarakat dapat terbangun, sehingga muncul upaya preventif untuk mengurangi angka kasus anemia. Di samping itu, perluasan akses terhadap layanan kesehatan yang mendukung pemeriksaan anemia di daerah-daerah terpencil juga penting dalam penanganan anemia.
Jika tidak segera ditangani, anemia akan merugikan penderitanya. Karena tubuh memerlukan pasokan oksigen yang cukup. Sel darah merah berperan mengikat ksigen yang dihirup dari udara. Apabila jumlah sel darah merah tidak mencukupi, maka aliran oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu dan memengaruhi kesehatan maupun kinerja tubuh.
“Apalagi pada kasus thalasemia. Seharusnya sebelum pernikahan, ada screening pra nikah untuk mendeteksi thalasemia, supaya tidak muncul thalasemia mayor yang terjadi akibat pernikahan sesama penderita thalasemia minor,” tandasnya.
Anemia Ibu Hamil
Kejadian anemia atau kekurangan darah pada ibu hamil di Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu sebanyak 48,9 persen (Kemenkes RI tahun 2019). Kondisi ini mengatakan bahwa anemia cukup tinggi di Indonesia dan menunjukkan angka mendekati masalah kesehatan masyarakat berat (severe public health problem) dengan batas prevalensi anemia lebih dari 40 persen (Kemenkes RI, 2013).
Menurut riset Rabbania Hiksas, Rima Irwanda, Noroyono Wibowo dari Persatuan Obstetri dan Gynekologi Indonesia, anemia bukan hanya berdampak pada ibu, melainkan juga pada bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan kemungkinan besar mempunyai cadangan zat besi yang sedikit atau bahkan tidak mempunyai persediaan sama sekali, sehingga akan mengakibatkan anemia pada bayi yang dilahirkan.
“Dampak anemia pada ibu hamil dapat diamati dari besarnya angkat kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka kesakitan dan kematian janin, serta peningkatan resiko terjadinya berat badan lahir rendah,” demikian dikutip dari laman Kemenkes RI.
Faktor Risiko Anemia pada Ibu Hamil
Asupan nutrisi. Asupan nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap resiko anemia pada ibu hamil. Selain kurangnya zat besi, kurangnya kadar asam folat dan vitamin B12 masi sering terjadi pada ibu hamil. Oleh karena itu, ibu hamil disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang memiliki komposisi nutrisi bervariasi.
Diabetes Gestasional. Pada kondisi hiperglikemi, transfrin yang mengakomodasi peningkatan kebutuhan besi janin mengalami hiperglikosilasi sehingga tidak bisa berfungsi optimal.
Kehamilan Multipel. Kebutuhan besi pada kehamilan multipel lebuh tinggi dibandingkan dengan kehamilan tunggal.
Kehamilan Remaja. Anemia pada kehamilan remaja disebabkan oleh multifaktoral, seperti akibat penyakit infeksi, genetik, atau belum tercukupinya status nutrisi yang optimal.
Inflamasi dan Infeksi dalam kehamilan. Kondisi infeksi dan inflamasi dapat memicu keadaan defisiensi besi. Infeksi seperti cacing, tuberculosis, HIV, malaria, maupun penyakit lain.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Nasib Dokter Umum di Indonesia
Data Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kota Bandung 2014-2019, Tidak Ada Lagi Dokter Spesialis
Dokter Paru FK Unisba Raih Penghargaan dari Kemenkes dalam Penanganan Covid-19
Jenis Anemia pada Ibu Hamil
Anemia karena perdarahan. Bisa terjadi pada masa kehamilan dan pada masa nifas. Anemia ini dapat terjadi selama masa kehamilan (perdarahan antepartum), namun lebih sering terjadi pada pascasalin (perdarahan postpartum). Kehilangan darah selama kehamilan dapat menyebabkan anemia berat, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan angka kelahiran preterm.
Pada masa nifas salah satu penyebab terbanyak mortalitas maternal, terutama dinegara berkembang. Kematian ibu akibat perdarahan dapat dicegah dengan manajemen aktif kala III, pemberian agen uterotonika dan resusitasi cairan, intervensi bedah dan ketersediaan darah untuk tranfusi.
Anemia Hipoproliferatif. Ini dibagi menjadi dua jenis yaitu: anemia defisiensi besi dan anemia defisiensi asam folat, vitamin B12 dan B6.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering terjadi saat kehamilan, yang dipicu oleh perubahan fisiologis maternal. Anemia defisiensi asam folat dapat terjadi pada wanita dengan diet yang tidak seimbang, malabsorpsi dan penyalahgunaan alkohol.
Gejala yang muncul diawal kehamilan mual, muntah serta anoreksia yang memburuk, defisiensi vitamin B12 dapat terjadi pada Ibu dengan kadar B12 yang rendah memiliki resiko berbagai komplikasi kehamilan, diantaranya defek lambung saraf, abortus spontan dan berat bayi lahir rendah, sedangkan defisiensi vitamin B6 bisa terjadi pada ibu hamil dengan anemia yang tidak responsif terhadap pemberian zat besi, perlu dipertimbangkan adanya defisiensi vitamin B6.
Anemia Akibat Proses Inflamasi. Anemia ini dapat terjadi akibat infeksi parasit maupun bakteri dan penyakit inflamasi kronis yang mempengaruhi pencernaan.
Anemia karena Penyakit Ginjal. Ibu hamil dengan gagal ginjal atau dengan transplantasi ginjal dapat terjadi anemia sedang hingga berat selama kehamilan. Sedangkan angka kejadian kelahiran preterm lebih tinggi pada anemia karena penyakit ginjal.
Tanda dan gejala yang ditemukan pada ibu hamil dengan defisiensi besi mirip dengan anemia pada umumnya. Pada kondisi awal, pasien akan memiliki toleransi yang rendah untuk melakukan aktivitas fisik, sesak saat beraktivitas ringan, serta mudah lelah. Apabila derajat anemia makin parah, tanda dan gejala klinis pun menjadi lebih jelas, seperti penurunan kinerja dan daya tahan, apatis, gelisah, gangguan kognitif dan konsentrasi, sesak, berdebar, pusing berputar, serta ditemukan seluruh tubuh pucat.
Gejala anemia dapat dibedakan menjadi akut dan kronis. Anemia akut akan menyebabkan sesak yang tiba-tiba, pusing dan kelelahan yang mendadak. Sedangkan pada anemia kronik seperti defisiensi besigejala yang muncul bersifat gradual, dan baru disadari oleh pasien saat kondii eritrosit sudah sangat rendah.
Hal-hal yang perlu dilakukan dan dihindari untuk mencegah anemia, antara lain:
1. Makan makanan yang bernutrisi dan bergizi tinggi, khususnya yang kaya zat besi dan asam folat setiap hari. Adapun contoh makanan yang mengandung zat besi misalnya daging (sapi atau unggas) rendah lemak yang dimasak matang, makanan laut seperti ikan, cumi, kerang dan udang yang dimasak matang, sayuran hijau, misalnya bayam dan kangkung, kacang polong, produk susu yang telah dipasteurisasi, kentang, gandum. Sementara untuk makanan yang mengandung tinggi folat contohnya sayuran hijau (bayam, brokoli, seledri, buncis, lobak hijau atau selada), keluarga jeruk, alpukat, pepaya, pisang, kacang-kacangan (kacang polong, kacang merah, kacang kedelai, kacang hijau), bii bunga matahari, gandum dan kuning telur.
2. Mengkonsumsi vitamin C lebih banyak, vitamin c membantu tubuh menyerap zat besi dari makanan secara lebih efisien.
3. Minum suplemen, suplemen yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah suplemen zat besi, vitamin B12 dan asam folat. Suplemen bisa diminum di pagi hari atau malam hari sebelum tidur untuk mengurangi mual setelahnya.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain tentang Kesehatan dalam tautan ini