MAHASISWA BERSUARA: Berjuang Lewat Sepak Bola
Protes suporter sepak bola pada sejumlah persoalan dan tragedi kemanusiaan membantu merawat ingatan kita terhadap konflik yang sedang ataupun telah berlangsung.
Muhamad Fikry Abrar Yoga Wardhana
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta
8 April 2024
BandungBergerak.id – Banyak cara yang bisa dilakukan untuk berjuang, salah satunya melalui sepak bola. Sejatinya sepak bola bukan hanya sekedar olahraga, sepak bola lebih dari itu. Sepak bola bisa menjadi alat pemersatu serta alat perjuangan.
Di Indonesia, perjuangan melalui sepak bola sudah dimulai sejak 1900-an, yang di mana pada masa itu mereka berjuang untuk melawan para penjajahan. Awalnya mereka berjuang dengan membuat tim tandingan, lalu bermain sepak bola dengan sesama pribumi. Perlu diketahui bahwa pada masa itu akses lapangan masih dikuasai oleh Belanda, sehingga sepak bola hanya bisa dimainkan oleh orang kulit putih. Salah satu pahlawan yang memprakarsai para pemuda agar bisa bermain sepak bola ialah Soeratin.
Zaman sekarang, sepak bola bisa digunakan sebagai ujung tombak perjuangan. Salah satu bentuk perjuangan yang dilakukan oleh suporter ialah perjuangan melawan segala macam bentuk penindasan, serta kesewenang-wenangan. Berbagai isu dibawa oleh para suporter yang datang langsung ke stadion. Mulai dari isu lokal, nasional bahkan isu global yang menarik perhatian penjuru dunia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya banner perlawanan yang dipasang di tiang-tiang tribun stadion, pembagian zine di dalam stadion, koreografi, hingga chants-chants yang dinyanyikan oleh suporter. Mulai dari isu Dago Elos, usut tuntas Tragedi Kanjuruhan, hingga aksi genosida yang dilakukan Israel kepada rakyat Palestina tak luput dari perhatian para suporter.
Baca Juga: SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #2: PSSI Menentang Penjajahan Belanda
Kala Sepak Bola Bikin Penguasa Turun Tahta
MAHASISWA BERSUARA: Sepak Bola, Rivalitas, dan Cinta
Dago Elos
Konflik yang sampai saat ini masih terus berlanjut, tidak pernah luput dari perhatian suporter sepak bola, khususnya bobotoh. Mereka sering kali membawa spanduk sebagai bentuk perlawanan terhadap penggusuran, serta perampasan ruang hidup, dengan kata-kata Dago Elos Never Lose. Suporter melakukan itu sebagai suatu bentuk dukungan solidaritas terhadap warga Dago yang sedang melawan mafia tanah. Bahkan tim punk football Riverside Forest melakukan gerakan perlawanan dengan tema "Festival Sepak Bola Dago Elos".
Tragedi Kanjuruhan
Tragedi yang bakal selalu diingat oleh Indonesia bahkan dunia. Bahkan hingga saat ini, suporter sepak bola pun masih terus menyuarakan keadilan untuk para korban. Tidak hanya suporter Indonesia, suporter luar negeri pun turut menyuarakan keadilan untuk korban dan memberikan dukungan untuk para keluarga. Contoh nyata ialah fans Bayern Munchen, mereka membentangkan spanduk dukungan dengan kata-kata "More than 100 people killed by the police!", serta spanduk bertuliskan "Remember the Dead of Kanjuruhan!". Mereka tidak segan menyebutkan bahwa korban Tragedi Kanjuruhan dibunuh oleh polisi. Selain itu, ultras vallecano yang merupakan pendukung dari team Rayo Vallecano juga ikut berjuang dengan membentangkan spanduk bertuliskan "No Son Muertes, Son Asesinatos" yang artinya "Mereka bukan meninggal, mereka dibunuh".
Dukungan Terhadap Palestina
Suporter seluruh dunia bahkan ikut menyuarakan kecaman terhadap genosida yang dilakukan oleh Israel. Banyak spanduk yang dibentangkan, bahkan koreografi pun ikut ditampilkan sebagai bentuk perjuangan melawan Israel, serta bentuk dukungan kepada Palestina.
Perjuangan yang dilakukan oleh para suporter bukan hanya untuk sekedar merawat ingatan kita terhadap konflik yang sedang ataupun telah berlangsung, melainkan juga sebagai salah satu bentuk perlawanan. Dan yang perlu diingat, hal yang dilakukan oleh para suporter ini dilandasi oleh kemanusiaan dan hati nurani, sehingga tidak mungkin konflik yang diangkat merupakan konflik titipan seorang individu ataupun kelompok.
Kemarin, sekarang, hingga nanti, sepak bola akan selalu menjadi alat perjuangan.