• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #7

NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #7

Terbitnya Undang-undang Agraria tahun 1870 mengakhiri sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Namun baru di tahun 1917 Priangan dibebaskan dari sistem tanam paksa.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Lukisan cat air tentang perusahaan kopi dengan latar belakang pegunungan karya Abraham Salm tahun 19870. (Koleksi KITLV 36C40, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

8 April 2024


BandungBergerak.id – Periode tanam paksa di Hindia Belanda antara 1831-1877 berhasil membalikkan situasi ekonomi Belanda, sebagaimana dipaparkan sejarawan Belanda Bernard H. M. Vlekke dalam buku Nusantara Sejarah Indonesia (2008). Sistem tanam paksa berkontribusi besar meningkatkan pundi-pundi kerajaan Belanda yang digerogoti hutang. Selama periode tersebut kerajaan Belanda memperoleh hingga 823 juta Gulden dari produksi tanaman-tanaman ekspor.

Vlekke memberikan ilustrasi. Anggaran kerajaan Belanda saat itu rata-rata sebesar 60 juta Gulden setahun. Dan kontribusi pemasukan yang diperoleh Belanda dengan menjalankan sistem tanam paksa di Hindia Belanda menembus 18 juta Gulden, hampir sepertiganya. Sebagian besar uang tersebut dipergunakan untuk melunasi hutang, termasuk juga biaya perang Belanda dengan Belgia.

Perbaikan kondisi perekonomian Belanda juga disertai dengan berkembangnya pemikiran liberal di negeri itu. Arus pemikiran liberal tersebut yang kemudian berbalik menentang pelaksanaan Sistem Kultur di Hindia Belanda. Vlekke mencatat pemikiran liberal yang mulai mempertanyakan sistem tanam paksa muncul di sekitar tahun 1848 hingga 1850 di negeri Belanda ditandai dengan terbitnya sejumlah buku yang mengutuk praktik eksploitatif tanam paksa yang membuat pribumi di Hindia Belanda menderita. Dalam situasi tersebut, kemunculan Max Havelaar menjadi mesiu yang membakar sentimen kaum liberal pada sistem tanam paksa.

Sejarawan Bremen di sisi yang lain melihat penolakan kaum liberal yang makin meluas pada Sistem Tanam Paksa bukanlah yang utama yang menjadi pendorong penghentian praktik eksploitatif itu di Hindia Belanda. Ia mendapati bahwa pemicu sebenarnya ada persoalan ekonomi yang berjalan tidak lagi efisien untuk mengeruk kekayaan Hindia Belanda. Tren produksi kopi justru menurun, sementara jumlah tanaman kopi terus bertambah. Sederhananya, ada yang salah dengan sistem tanam paksa yang berjalan saat itu.

Bremen mencatat bahwa perintah melalui surat rahasia yang dikeluarkan Menteri Urusan Tanah Jajahan kala itu, yakni Fransen van der Putte pada Gubernur Jenderal Sloet van de Beele (1861-1866)  menjadi titik balik yang kelak berujung pada penghentian tanam paksa yang sudah berjalan tiga dekade lamanya di Hindia Belanda. Dalam surat rahasia tersebut, Fransen van der Putte meminta adanya penyelidikan pada praktik sistem tanam paksa. Perintah tersebut diterjemahkan dengan mengutus Komisaris pemerintah Otto van Rees untuk melakukan penyelidikan pada praktik tanam paksa yang berlangsung di Hindia Belanda.

Van Rees melakukan serangkaian pemeriksaan dan penyelidikan di jantung sistem tanam paksa di Hindia Belanda, yakni di tanah Priangan yang menjadi model yang menginspirasi lahirnya sistem tersebut. Van Rees tinggal di Priangan pada tahun 1866-1867. Ia menyelesaikan laporan hasil penyelidikan dan penelitian tentang praktik sistem tanam di Priangan pada akhir Oktober 1867.

Pembelian kopi di perkebunan di Soekaboemi sekitar tahun 1880. (Koleksi KITLV 3338, Koleksi Digital Perpustakaan Universitas Leiden, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pembelian kopi di perkebunan di Soekaboemi sekitar tahun 1880. (Koleksi KITLV 3338, Koleksi Digital Perpustakaan Universitas Leiden, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Laporan Van Rees

Van Rees menemukan bahwa sistem tanam paksa yang berjalan korup justru di tangan bangsawan-bangsawan bumiputra yang sedianya menjadi ujung tombak pelaksanaan sistem ini. Yang menarik, laporan lengkap Van Rees tidak pernah dilihat publik secara utuh. Sebagian isi dokumen hasil laporan Van Rees bahkan dilarang dipublikasikan dengan alasan kepekaan politik. Bremen menyebutkan bagian laporan Van Rees yang ditulis langsung dengan tangan bahkan hilang dalam simpanan arsip. Parlemen Belanda kala itu juga tidak diberi kesempatan membaca laporan lengkap hasil penyelidikan Van Rees. Laporan Van Rees yang beredar hanya dalam format yang lebih singkat dengan bahasa yang sudah diperhalus. Tetap saja laporan tersebut memicu perdebatan panas di negeri Belanda.

Bremen menunjukkan bagian laporan Van Rees yang justru mematahkan argumen Bosch yang melahirkan praktik sistem tanam paksa. Van Rees menelanjangi bagaimana sistem pemaksaan yang memanfaatkan hierarki  hubungan atasan bawahan bangsawan-rakyat ternyata berjalan tidak efektif untuk menggalang kepatuhan, disiplin, dan pengerahan tenaga kerja. Pemaksaan ternyata gagal memobilisasi sebanyak-banyaknya pekerja karena sebagian pekerja justru dialihkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan bangsawan-bangsawan pribumi untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. 

Laporan Van Rees menunjukkan sistem tanam paksa dimanipulasi kelompok bangsawan bumiputra. Kelompok bangsawan memainkan sistem tanam paksa demi kepentingannya sendiri. Sebagian pekerja yang seharusnya mendapat pembebasan atas pemaksaan kerja, justru ditemukan banyak yang dipaksa bekerja untuk kepentingan bangsawan bumiputra. Kelompok lain yang dikenakan paksaan kerja juga dipekerjakan melebihi waktu yang disyaratkan dengan bayaran di bawah ketentuan yang sudah diatur pemerintah. 

Kerja-kerja memperluas lahan kebun untuk menanam komoditas-komoditas baru yang menguntungkan Belanda, dimanfaatkan kelompok bangsawan pribumi untuk memperluas ladang-ladang padinya. Breemen menyitir laporan Van Rees yang menyebutkan sawah-sawah yang banyak bertebaran di Cianjur, Bandung, dan Sumedang justru dibangun dengan memanfaatkan kerja pengabdian dalam sistem tanam paksa. Sebagian besar lahan pertanian tersebut milik bangsawan setempat. Di baliknya ada kisah perluasan lahan pertanian dengan kerja paksa, juga ada pemaksaan untuk mencaplok sawah milik rakyat kecil yang dibalut oleh perintah tanam paksa yang dipelintir.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan pada Masa Kolonial #4
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #5
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #6

Tanaman Javakoffie di Jawa sekitar tahun 1901-1902. (Koleksi KITLV 19536, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Tanaman Javakoffie di Jawa sekitar tahun 1901-1902. (Koleksi KITLV 19536, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Berakhirnya Tanam Paksa

Laporan Van Rees yang rinci semakin membuka mata atas kenyataan yang ada di balik praktik sistem tanam paksa. Kelompok liberal yang sedari awal menginginkan penghapusan sistem itu juga mendapatkan peluru untuk semakin mendesak penghapusan sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Walaupun sesungguhnya alasan kelompok tersebut juga bukan karena alasan kemanusiaan. Menghapus tanam paksa, dengan kata lain membuka kesempatan pada liberalisasi ekonomi menusuk masuk ke tanah koloni yang sudah terbukti beradab-abad sebagai mesin uang yang mumpuni. Liberalisasi ekonomi di tanah koloni bisa menjadi pintu masuk bagi pengusaha swasta ikut cawe-cawe mencari cuan di sana.

Dalam konteks inilah terbitnya Undang-undang Agraria yang berlaku di Hindia Belanda setelah disahkan di parlemen Belanda tahun 1870 menandai keruntuhan sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa yang mensyaratkan tanah dalam kepemilikan penuh dan dipergunakan seluas-luasnya oleh negara menjadi runtuh. Penggunaan tanah tak lagi menjadi monopoli negara. Modal swasta bisa ikut masuk dengan terbukanya peluang untuk menggarap tanah-tanah tersebut (walaupun masih dalam kepemilikan negara).

Bremen mencatat, pengesahan Undang-undang Agraria 1870 juga berarti parlemen Belanda menyetujui berjalannya sistem politik perekonomian baru dengan menghapus secara bertahap sistem tanam paksa dan mengizinkan modal swasta masuk ke Hindia Belanda. Undang-undang Agraria ini menandai liberalisasi perekonomian di Hindia Belanda.

“Berkat Undang-undang Agraria tahun I870 hak penduduk atas tanah miliknya dicabut dan tanah itu dinyatakan oleh pemerintah sebagai tanah milik publik. Dengan syarat kapital yang sangat ringan tanah itu disewakan dalam jangka panjang kepada dunia usaha barat. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan perkebunan dimulai dengan menempati kawasan yang jauh lebih besar daripada yang pernah dimiliki kebun-kebun kopi” (Bremen, 2014: 351).

Sejarawan Vlekke mencatat di Priangan yang tadinya menjadi tempat pertama yang merasakan sistem tanam paksa, juga menjadi tempat terakhir dihapuskannya tanam paksa. Tanam paksa kopi di Priangan resmi berakhir pada 1 Januari 1917 setelah dua abad berjalan di Priangan.

Apakah sistem tanam paksa tersebut benar-benar berakhir? 

Sesungguhnya bagi pribumi di Hindia Belanda tak ada yang berubah. Sistem tanam paksa hanya berubah nama menjadi sistem pertanian rakyat. Pribumi tetap menjadi pekerja murah yang di eksploitasi sebesar-besarnya demi produksi komoditas dan kerja ekonomi yang memang lebih variatif. Pribumi tetap didudukkan dalam kelasnya yang terendah dalam sistem kolonial Belanda yang menjajah.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Hindia Belanda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//