NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan pada Masa Kolonial #4
Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles menjadi jeda dan peletak dasar-dasar sistem tanam paksa. Kopi jadi komoditas andalan di Priangan.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
25 Maret 2024
BandungBergerak.id – Seperti yang telah dipaparkan dalam tulisan sebelumnya, penguasaan dan eksploitasi tanah milik bumiputra oleh VOC tumbuh berbarengan dengan meledaknya perdagangan kopi di abad ke-18. VOC, perusahaan dagang Belanda mengelola wilayah koloni Belanda di Hindia Belanda, mengukuhkan praktik monopoli perdagangan kopi. Ironisnya praktik monopoli ini justru menjadi sebab ambruknya VOC. Belanda selanjutnya mengambil alih langsung pengelolaan koloninya di Hindia Belanda setelah VOC dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Segala daya upaya dilakukan Belanda demi mengisi kas negara yang kosong untuk menjalankan operasional pengelolaan tanah koloninya karena perilaku korup VOC. Berturut-turut negeri Belanda mengutus Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1810) yang kemudian digantikan oleh Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Keduanya meletakkan dasar-dasar, sekaligus menjadi alasan yang menyebabkan Belanda yang telah menguasai sepenuhnya Hindia Belanda menerapkan sistem tanam paksa di negeri koloninya.
Sejarawan Jan Bremen dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) mendudukkan Daendels dan Raffles sebagai peletak dasar kebijakan tanam paksa. Keduanya mendapat tugas utama yang sama yakni melakukan perbaikan pengelolaan Hindia Belanda yang carut marut sepeninggal penguasaan VOC. Perbaikan pengelolaan Hindia Belanda yang lebih sistematis seharusnya bisa mengembalikan kejayaan kopi dengan melakukan pengaturan produksi yang lebih efisien.
Daendels merupakan utusan Belanda saat negeri tersebut di bawah kekuasaan Perancis yang baru saja mereformasi sistem pemerintahannya dengan menolak sistem monarki. Daendels seperti ambigu dari nilai-nilai moral Perancis yang menolak eksploitasi manusia saat diutus menjadi penguasa Hindia Belanda. Ia meletakkan kebijakan politiknya dengan mencari landasan moral yang pragmatis demi menunaikan tugasnya yang paling utama – mengembalikan kejayaan perdagangan kopi hasil produksi Hindia Belanda.
Daendels harus meneruskan cara-cara yang dilakukan VOC untuk memaksa penduduk menanam kopi. Namun ia mencoba melakukannya dengan lebih sistematis. Ia memulainya dengan mempelajari tatanan sosial masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Ia mencari jawaban atas relasi antara hubungan sosial di masyarakat dan sistem kepemilikan tanah yang ada di masyarakat Hindia Belanda. Ia memandang petani dan tanah sebagai relasi yang harus didudukkan dengan jelas dalam tatanan sistem pemerintahan di Hindia Belanda. Relasi yang dianggapnya sebagai jawaban untuk menaikkan produksi kopi dengan lebih sistematis melalui penguasaan mutlak atas tanah pribumi dan raja-raja yang sudah takluk oleh Belanda.
Daendels juga merombak praktik VOC mengelola koloni demi mengejar efisiensi produksi kopi. Ia menilai bangsawan bumiputra yang selama ini menjadi ujung tombak VOC untuk mengawasi sekaligus mengatur produksi kopi sebagai pangkal masalah inefisensi produksi kopi. Ia mencabut previlese bangsawan bumiputra, merombak sistem pembagian wilayah, menjadikan desa sebagai ujung tombak pengelolaan produksi kopi, membangun birokrasi yang hierarkis yang langsung bersentuhan dengan petani untuk mendongkrak produksi kopi. Yang dilakukan Daendels memperburuk kehidupan masyarakat bumiputra.
Daendels melangkah lebih jauh. Ia membuka peluang individu dan swasta untuk ikut serta mengambil peran mendongkrak pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda. Ia memaksakan ide kolonisasi dengan memberikan izin kepemilikan lahan untuk mendorong tumbuhnya perkebunan bebas yang dikelola individu dan swasta, yang dalam hal ini adalah orang-orang Eropa di Hindia Belanda.
Produksi budi daya yang selama ini hanya berkutat pada kopi diyakininya membuat pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mandek. Daendels meyakini perluasan budi daya dengan campur tangan individu dan swasta yang membawa modalnya sendiri akan membawa keragaman produk budi daya tanaman yang selama ini tidak diminati oleh pribumi seperti tembakau, kapas, nila, dan kacang tanah. Ia memulainya dengan cara menjual tanah pemerintah pada swasta.
Daendels mulai menjual tanah milik pemerintah selain untuk menarik individu dan pemodal swasta masuk, sekaligus menjadi cara cepat mengisi kas pemerintah. Ia juga memanfaatkan kebijakannya untuk memperkaya diri dengan menjadi pemilik tanah perdesaan yang luas di kaki perbukitan Priangan. Ia membangun istana Bogor di atas lahan miliknya yang dibeli murah yang kemudian dijualnya pada pemerintah Belanda dengan harga tinggi. Transaksi curang tersebut membuat Daendels kaya raya.
Priangan menjadi satu-satunya daerah yang tetap dibiarkan Daendels sebagaimana adanya. Praktik pemaksaan penanaman kopi yang telah berjalan sejak era VOC, tetap dipertahankannya khusus di wilayah Priangan. Ia tidak berani mengutak-atiknya karena Priangan adalah lumbung produksi kopi di Hindia Belanda. Segala berubah di Hindia Belanda, hanya Priangan yang tetap berjalan sebagaimana adanya.
Priangan yang Berjalan Apa Adanya
Sejarawan Bremen mencatat, perubahan politik di Belanda menghentikan langkah Daendels. Napoleon Bonaparte yang sepenuhnya menguasai Belanda pada 1810 memutuskan mengganti Daendels dengan Jan Willem Janssens sealaku Gubernur Hindia Belanda yang baru. Janssens tiba di Hindia Belanda dan mendapati suasana yang carut marut. Kebijakan Daendels yang mengubah tatanan di Hindia Belanda membuat Inggris terpancing untuk mengambil alih kedudukan Belanda di Hindia Belanda. Setahun kemudian Inggris menyerang kedudukan Belanda di Batavia yang memaksa Janssens hengkang. Pada 18 September 1811, Belanda menyerah.
Inggris mengutus Thomas Stamford Raffles menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Raffles pada dasarnya hanya meneruskan saja kebijakan yang diletakkan Daendels di Hindia Belanda. Namun ada satu yang menjadi pembeda. Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah yang lebih sistematis untuk mengeruk kekayaan alam Hindia Belanda.
Raffles memperkenalkan gaya administrasi Eropa di Hindia Belanda. Pemerintahan dijalankan oleh pejabat pemerintah yang digaji negara menggantikan peran penguasa bumiputra. Ia memperkenalkan sistem hak milik dan hak guna tanah di Jawa. Ia mengadopsi sistem pajak yang dipergunakan Perusahaan India Timur Inggris di India dengan menerbitkan dekret tanggal 15 Oktober 1813 yang melegitimasi kepemilikan tanah sebagai milik pemerintah. Ia memperkenalkan buku kontrak yang mencatat dengan rinci penggunaan tanah pemerintah.
Sewa tanah diberlakukan langsung antara pemerintah dan penduduk yang ada. Tanah yang sudah dimiliki penduduk bumiputra sejak lama diklaim sebagai milik pemerintah dan dinyatakan tanah yang disewakan negara. Nilai sewa dihitung dari panen yang diperoleh penduduk pribumi yang menggarap tanah tersebut.
Sama seperti Daendels, Raffels tidak pernah benar-benar menegakkan sistem sewa tanah di seluruh wilayah Hindia Belanda. Kebijakannya tidak menyentuh Priangan. Ia tidak berani mengutak-atik Priangan karena khawatir akan mengganggu produksi kopi di sana. Priangan berjalan seperti apa adanya seperti saat wilayah tersebut dikendalikan VOC. Yang membedakan, Raffles memperlakukan Priangan dengan kontrol administrasi yang lebih baik.
Raffles juga meniru cara Daendels dengan menjual tanah pemerintah pada pemodal. Berbeda dengan Daendels yang menjalankannya dengan nyaris mulus tanpa gangguan, Raffles dicopot dari kedudukannya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda karena dituduh memperkaya diri. Raffles kemudian digantikan oleh John Fendall yang menduduki jabatan penguasa Hindia Belanda. Fendall menjabat tak lama. Ia kemudian harus menarik diri dari Hindia Belanda yang diserahkan kembali oleh Inggris pada Belanda pada 13 Agustus 1814. Pada 19 Agustus 1816, bendera Belanda kembali berkibar di Batavia.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #1
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #2
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #3
Menutup Priangan dari Tangan Swasta
Sejarawan Bremen memaparkan, penguasa Belanda, Raja Willem VI kemudian mengirim tiga Komisariat Jenderal untuk mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda. Mereka adalah C. Th. Elaout selaku kepala komite, A. Buyskens seorang komandan angkatan laut, dan G. Baron van der Capellen yang ditunjuk sebagai gubernur jenderal yang akan tinggal di Hindia Belanda. Komisaris jenderal tersebut mendapat mandat untuk menyiapkan transisi pemindahan kekuasaan dari Inggris pada Belanda. Tak butuh waktu lama bagi ketiganya untuk menemukan jalannya pemerintahan di Hindia Belanda dalam keadaan kacau akibat reformasi ala Raffles yang baru setengah jalan.
Namun ketiganya mengakui reformasi perpajakan ala Raffles justru berjalan dengan lebih adil dan praktis. Sistem pajak ala Raffles dengan sewa tanah yang berpusat di desa mendapat pengukuhan lebih jauh lagi sebagai pengakuan sebagai otonomi pemerintahan desa. Namun tetap saja, komisaris jenderal Belanda menyimpulkan sistem tersebut tidak bisa diterapkan di Priangan.
Priangan nyaris tak tersentuh modernisasi dan perubahan politik yang terjadi di Hindia Belanda. Sistem tanam paksa kopi yang dijalankan sejak era VOC juga terus dipertahankan Komisaris Jenderal serta Gubernur Jenderal Van der Capellen. Di sebagian besar Jawa, Komisaris Jenderal misalnya memutuskan untuk memberlakukan kebijakan yang terhitung liberal dengan memberlakukan pembayaran harga sewa yang layak untuk penggunaan tanah bumiputra yang menanam kopi. Para petani dijanjikan mendapat kebebasan kerja dan mendapat perlindungan pemerintah. Namun kebijakan tersebut tidak berlau di Priangan. Komisaris Jenderal memutuskan sistem pengelolaan yang sudah berjalan di Priangan (dalam hal ini tanam paksa kopi) tetap dilanjutkan. Priangan seperti sengaja diisolir dari perubahan yang tengah berlangsung di sebagian besar Jawa.
Saat penjualan dan penggunaan opium merebak di Jawa pada tahun 1824, Bremen mencatat di Priangan justru berlaku pelarangannya. Belanda khawatir opium akan merusak kelangsungan produksi kopi di Priangan karena khawatir penduduknya menjadi pemadat opium. Bupati-bupati di Priangan juga dilarang menjalankan bisnis candu karena khawatir akan mengganggu tugasnya mengawasi budidaya kopi di wilayahnya.
Orang-orang Eropa dan Amerika yang menanam modalnya di Priangan yang masuk di era Raffles memerintah juga mendapat serangkaian pembatasan. Gubernur Jenderal Van Der Cappellen melarang produksi kopi yang dihasilkan perkebunan swasta di Priangan dijual di pasar bebas. Pemerintah juga memaksa agar produksi kopi dari perkebunan swasta di Priangan dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah khusus di Priangan dengan harga di bawah harga pasar.
Kebijakan tersebut menuai protes pemilik perkebunan swasta di Priangan. De Wilde misalnya, pemilik perkebunan kopi di Sukabumi melayangkan protes pemberlakuan harga pembelian kopi di bawah harga pasar bebas. Komisaris Jenderal menolak protes tersebut, dan tetap memaksakan kebijakannya mengisolasi Priangan. Andreas De Wilde, salah satu pengusaha perkebunan Eropa, kemudian memutuskan hengkang dari Sukabumi dan kembali ke Belanda. Kepergian De Wilde membuat Priangan kembali menjadi wilayah tertutup bagi pengusaha swasta.(Bersambung)
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Hindia Belanda