• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #3

NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #3

VOC meninggalkan Hindia Belanda dalam situasi kacau. Daendels memerintah ugal-ugalan sambil menumpuk kekayaan. Raffles dari Inggris juga sama saja.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Patung Thomas Stamford Raffles di Singapura sekitar tahun 1890. (KITLV 377458, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

4 Januari 2024


BandungBergerak.id – Kesadaran untuk memahami ihwal masyarakat bumiputra baru muncul justru setelah kejatuhan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Sejarawan Jan Bremen dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) menunjukkan nasib Hindia Belanda pascakejatuhan VOC lewat perdebatan antara Dirk van Hogendorp dan S. C. H. Nederburgh mengenai.

Mantan pejabat VOC Dirk van Hogendorp yang kemudian diangkat menjadi anggota Komisi Negara lewat tulisannya di tahun 1799 menawarkan cara baru untuk mengendalikan wilayah koloni Belanda. Ia menyarankan pemungutan pajak tanah sekaligus pengakuan hak kepemilikan tanah petani. Petani Jawa harus diberi kesempatan untuk menaikkan kesejahteraan dengan menghapus kerja paksa. Hogendorp yakin perbaikan kesejahteraan petani akan menaikkan produksi kopi untuk mengisi kas negara.

Saran Hogendorp tersebut langsung ditentang oleh S. C. H. Nederburgh, Komisaris Jenderal HIndia Belanda yang kemudian juga diangkat menjadi anggota Komisi Negara. Nederburgh menolak ide tersebut dengan alasan untuk melaksanakannya dibutuhkan biaya sangat banyak untuk membangun jaringan aparat pemerintahan yang rapat yang pada akhirnya akan menggerus keuntungan kas negara dari penanaman kopi. Nederburgh beranggapan petani Jawa tidak akan mau menaikkan produksi taninya atas kemauannya sendiri, sehingga pemaksaan hanya satu-satunya cara menjaga produksi kopi.

Seperti yang sudah diketahui, kejatuhan VOC nyaris berbarengan dengan aneksasi Belanda oleh Perancis dengan berkuasanya kerabat Napoleon Bonaparte yang memegang takhta Belanda. Tak lama kemudian Belanda mengirim Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal baru pascakejatuhan VOC untuk mengelola Hindia Belanda. Di titik ini, Bremen berpendapat senada dengan Vlekke (2008) bahwa kehadiran Daendels dan kebijakannya di Hindia Belanda menjadi pemicu transformasi Jawa di masa kolonial.

Daendels memang masih meneruskan klaim sepihak atas kepemilikan tanah di Jawa. Dalam pemahamannya, petani Jawa tidak pernah menjadi pemilik tanah dan mereka sejak dulu berurusan dengan penyetoran upeti pada para kepala desa. Ia beranggapan penanaman kopi oleh petani hanya kelanjutan dari beban kerja yang secara tradisi menjadi kewajiban petani terhadap penguasa (Bremen, 2014).

Saat berangkat dari Belanda, sesungguhnya Daendels dilarang memberlakukan aturan baru. Perintah yang diberikan pada Daendels hanya untuk membuat peta, mendata statistik, dan mengumpulkan data ekonomi di tanah koloni untuk menjadi landasan pengambilan kebijakan selanjutnya. Daendels juga dilarang mengambil keputusan sepihak, setiap kebijakan yang diambil harus dikonsultasikan dengan penguasa Belanda.

Kartu pos bergambar kolam di Kebun Raya Bogor dengan latar belakang istana Gubernur Jenderal sekitar tahun 1900. (Koleksi KITLV 1401422, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Kartu pos bergambar kolam di Kebun Raya Bogor dengan latar belakang istana Gubernur Jenderal sekitar tahun 1900. (Koleksi KITLV 1401422, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Namun Daendels menghadapi situasi tanah koloni yang carut-marut sepeninggal VOC. Hal itu memaksa dia untuk mengambil langkah taktis. Ia misalnya merombak sistem pembagian wilayah dengan menggeser-geser batas wilayah, memaksa kepala desa mendata secara rutin penduduknya masing-masing, memaksa desa melakukan pencatatan pohon kopi yang ada di wilayah masing-masing, hingga memangkas kewenangan sekaligus upah pengumpulan upeti kopi yang dikumpulkan bangsawan bumiputra.

Daendels mendudukkan bangsawan bumiputra sebagai bawahan semata. Sikap kerasnya pada para bangsawan pribumi yang menikmati kemewahan sejak VOC berkuasa berawal dari kecurigaannya bahwa mereka memeras penduduk. Ia melarang memungut ongkos pengiriman kopi terhadap petani, dan memerintahkan pemisahan pembayaran uang kopi; yakni yang menjadi jatah petani agar diberikan langsung pada saat penyetoran, sementara bupati menerima komisi dengan pembayaran terpisah.

Dengan cara tersebut sesungguhnya Daendels tetap mempertahankan sistem kerja paksa yang sudah berlangsung sejak VOC berkuasa di tanah Jawa. Namun yang berbeda, Daendels melakukannya dengan dukungan data yang lebih memadai dan sistematis. Misalnya memberlakukan sistem upah berdasarkan prestasi kerja yang dihitung dari kopi yang disetorkan, hingga membatasi kerja pengabdian tanpa bayaran hanya untuk perawatan jalan dan jembatan serta pengangkutan orang dan barang yang ditugaskan pemerintah. Kenyataannya kehidupan petani justru terjerembab jauh lebih menderita. Demi membangun Jalan Raya Pos sepanjang Jawa dengan pengerahan warga dalam kerja pengabdian tanpa bayaran membuat ribuan orang meninggal dunia. 

Daendels makin ugal-ugalan dengan memaksakan ide kolonisasi dengan pemberian izin kepemilikan lahan yang diklaimnya sebagai cara jitu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia meyakini penjualan tanah akan mendorong peningkatan pengolahan perkebunan bebas untuk menggarap budidaya tanaman yang selama ini kurang diminati warga pribumi seperti tembakau, kapas, nila, dan kacang tanah. Pemikiran tersebut dijalankannya dengan cara menjual tanah pemerintah pada swasta. Sekali merengkuh dayung, cara tersebut sekaligus menjadi cara cepat mengisi kas pemerintah Hindia Belanda yang masih saja kosong.

Daendels memberi kesempatan pada individu dan swasta untuk masuk dan memiliki tanah di Hindia Belanda. Namun kebijakan tersebut tertutup bagi tanah Priangan yang menjadi lumbung kopi Belanda.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #1
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #2
NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa

Sejak Mei 1808, Herman Willem Daendels memerintahkan untuk memperbaiki dan membuat Jalan Raya Pos di Jawa. (Sumber: KITLV 1402499)
Sejak Mei 1808, Herman Willem Daendels memerintahkan untuk memperbaiki dan membuat Jalan Raya Pos di Jawa. (Sumber: KITLV 1402499)

Hindia Belanda dalam kekuasaan Inggris

Jan Bremen selanjutnya melihat dasar-dasar transformasi Jawa yang sudah diletakkan oleh Daendels mencapai bentuknya saat Hindia Belanda berada dalam kekuasaan Kerajaan Inggris.

Wakil kerajaan Inggris di India kemudian mengirim Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Jenderal di Jawa. Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk menggantikan sistem kerja paksa  yang dipraktikkan Belanda di tanah Jawa.

"Bertolak dari anggapan bahwa negara adalah pemilik tanah maka sebagai imbalan pengakuan kepemilikan tanah negara, petani harus menyerahkan sebagian hasil panen untuk pembayaran sewa: sewa tanah" (Bremen, 2014: 118).

Namun kebijakan Raffles itu hanya berlaku bagi daerah kekuasaan Inggris di Hindia Belanda yang berada di luar wilayah Priangan, wilayah yang masih bertahan sebagai lumbung kopi Hindia Belanda. Raffles tidak berniat mengutak-atik sistem kerja yang sudah berlangsung dan mapan di tanah Priangan yang menjamin pasokan kopi untuk pemerintah. Ia hanya memberlakukan penghapusan kewajiban menanam kopi di luar Priangan. 

Kebijakan sewa tanah ala Raffles mengubah banyak hal. Dengan didasarkan pada pemberlakuan aturan pajak perorangan yang dikenakan pada semua pemilik tanah dengan memberikan bukti pada semua pemilik tanah maka ia meletakkan dasar-dasar pencatatan kadaster (pencatat tanah) yang sangat detail untuk mengklasifikasikan kepemilikan tanah di Jawa. Ia memperkenalkan sistem pemungutan pajak cara desa dengan kepala desa sebagai petugas pemerintah yang dibebani tugas memungut pajak tanah dengan imbalan pembebasan pajak tanah dan pemberian lahan jabatan.

Raffles memerintahkan kepala desa dipilih secara demokratis dari kalangan warga setempat. ia  secara tidak langsung memperkenalkan organisasi desa yang kita kenal saat ini.

Bagaimana dengan Priangan? Masih sama saja. Raffles tidak berani menerapkan sistem sewa tanah di Priangan. Ia mempertahankan sistem lama dengan menghitung setoran kopi pada pemerintah sebagai ganti pembayaran pajak tanah. Priangan masih menjadi satu-satunya daerah yang tidak tersentuh reformasi ala Raffles. Priangan sengaja dibiarkan sebagaimana adanya karena daerah tersebut menjadi sumber utama pundi-pundi Hindia Belanda saat itu.

Raffels juga meneruskan kebijakan penjualan tanah pemerintah yang dimulai Daendels untuk menutupi pengeluaran pemerintah di tanah Jawa. Bedanya, Raffles menjual tanah pada siapa saja dengan penawaran tertinggi. Rafles memulai kapitalisasi Hindia Belanda dengan membuka kesempatan swasta ikut menanam modalnya di sana.

Bremen mencatat, Daendels yang mempraktikkan kebijakan penjualan tanah dengan cara yang semena-mena malah memperkaya diri dengan menjadi pemilik tanah pedesaan yang luas di kaki perbukitan Priangan. Daendels bahkan membangun istana Bogor di atas lahan miliknya yang dijualnya pada pemerintah Belanda dengan harga lebih tinggi dari harga pembeliannya. Transaksi curang tersebut membuat Daendels kaya raya. Cara ini kemudian ditiru Raffles.

Raffles bekerja sama dengan De Wilde untuk membeli tanah luas yang belum banyak dijamah orang di daerah Sukabumi untuk membangun perkebunan besar. Namun upaya Raffles tak mulus, ia dituduh menyalahgunakan kekuasaan dan mendapat hukuman atas tuduhan memperkaya diri. Tanah yang sudah diusahakannya tersebut kemudain jatuh pada De Wilde. Raffles diskors dan dikirim kembali ke Kalkuta. (Bersambung)

*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Hindia Belanda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//