BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #20: Menjual Sukabumi, Kembali ke Belanda
Andries de Wilde merasa lelah berlama-lama di Sukabumi. Pemerintah kolonial punya kuasa untuk menghancurkan industri kopi di Sukabumi.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
6 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Bagaimana sikap Andries de Wilde ketika Gubernur Jenderal Van der Capellen membantah keputusan Raja Willem I? Ternyata sebagaimana yang ditemukan dalam Adres aan Zijne Majesteit den Koning, wegens het voorgevallene ten aanzien van Soekaboemie, onder het bewind van den Gouverneur-Generaal van der Capellen: met officie?le bewijsstukken (1838), Andries dan mitra lain pemilik Sukabumi melakukan protes.
Pada hari Jum’at, 16 Agustus 1822, Nicolaus Engelhard, Andries de Wilde dan Thomas MacQuoid menghadap kepada notaris publik bernama Klaas Heijnis di Batavia. Mereka menyertakan ad acternam rei memoriam (keputusan raja) dan pernyataan protes kepada pemerintah kolonial.
Protes mereka antara lain berbunyi: “Sementara itu kami di sini melayangkan protes yang berlawanan dengan penyerahan kopi yang diperintahkan kepada para penduduk ke gudang Cikao dan Cianjur, dalam kerangka tidak menunjukkan sikap perlawanan nyata, dan tidak menyebabkan kebingungan. Sebaliknya selalu menyerahkannya ke Bogor, karena kesukaran yang mau kami tunjukkan kepada pemerintahan tinggi kolonial, memperlakukan kami, menempatkan kami dalam cara baru ini ...”
Sementara itu, istri Andries, mertuanya, dan yang lain-lain, termasuk Nyonya Pool dan anak-anaknya yang setelah kematian suaminya di Batavia turut tinggal bersama Andries, hidup seperti biasanya di Sukabumi. Bahkan, menurut Cora Westland (De Levensroman van Andries de Wilde, 1948: 116), Cornelia suka berbincang dengan salah seorang pembantunya yang bernama Sarina, terutama dalam kerangka belajar bahasa Sunda (“Cornelia hield ervan, af en toe wat te praten met Sarina, vooral om zieh te oefenen in de Soendanese taal”).
Di sisi lain, Andries mulai merasa khawatir mengenai masa depannya di Sukabumi. Contohnya, suatu sore dia pulang dari rumah Soemitroe, salah seorang pembantunya, dan mendapati kekecewaan. Biasanya keluarga dengan lima orang anak itu nampak berbahagia, tetapi sejak beberapa bulan lalu mulai terjadi tragedi. Soemitroe, dibimbing antek-antek bupati, menuju pemadatan dan menjadi kecanduan.
Alhasil, dia membiarkan pekerjaannya, sehingga lahan garapan menjadi semak, tak terurus. Kadang-kadang dia pergi selama beberapa hari, dan saat pulang ke rumah bertindak sewenang-wenang baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya. Satu demi satu barang-barang di rumahnya dijualnya demi dapat membeli opium. Termasuk dua kerbau penopang keluarga. Itu semua diceritakan istri Soemitroe kepada Andries (Westland, 1948: 118-119).
Negosiasi Sukabumi
Dalam keadaan demikianlah, November 1822, Engelhard yang diberi wewenang oleh Andries de Wilde dan Thomas MacQuoid melakukan negosiasi penjualan Sukabumi dengan komisi bentukan Gubernur Jenderal Van der Capellen. Anggota komisinya terdiri atas Muntinghe, yang notabene keponakannya, dan De Koek, kawan akrabnya. Muntinghe saat itu dikenal sebagai orang yang banyak hutang dan bereputasi meragukan. Sementara Andries menyarankan kepada Engelhard agar memberi Muntinghe sebesar 30.000 dollar Spanyol bila bisa mencapai harga 600.000 dollar Spanyol saat bernegosiasi dengan pemerintah (F. De Haan, Pringan, Vol I, 1910: 303).
Awal November 1822, Muntinghe menolak membantu pemerintah kolonial untuk berurusan dengan menteri tanah jajahan dalam kerangka keputusan Gubernur Jenderal Van der Capellen tanggal 17 Juli 1822. Ia malah hendak mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintah, lalu berubah menjadi permohonan cuti selama dua tahun, dan melanjutkan upaya negosiasi dengan pemilik Sukabumi.
Akhirnya komisi mengajukan harga sebesar 1.046.833 gulden kepada pemerintah kolonial. Sebagai ultimatumnya pemerintah menawar seharga 800.000 gulden. Penawarannya diajukan pemerintah pada 12 Januari 1823 dan diterima oleh Engelhard. Kemudian melalui keputusan No. 4 tanggal 14 Januari 1823, proses pembelian kembali tanah Sukabumi ditetapkan seharga 800.000 gulden, dengan syarat pemilik Sukabumi mencabut iklan-iklan yang berkaitan dengan pembayaran kopi antara tahun 1821 hingga 1823.
Seminggu sebelum keputusan diambil, De Koek menyurati Engelhard. Ia menyatakan bila Engelhard tetap bersikeras meminta harga terlalu tinggi, penjualan Sukabumi tidak akan berhasil. Di sisi lain, ketika proses tawar-menawar terjadi, istri Engelhard meninggal dunia dan dia hampir putus menghadapi kematian itu. Di waktu hampir bersamaan, Cornelia, istri Andries yang masih muda, baru saja melahirkan lagi dan harus kembali ke Eropa untuk memulihkan kesehatan. Cornelia pun merasa takut suaminya akan mengalami kecelakaan (De Haan, 1910: 303-304).
Ihwal Cornelia melahirkan tercatat dalam Bataviasche Courant edisi 21 dan 28 Desember 1822. Dari Sukabumi pada 11 Desember 1822 (“Landgoed Soeka Boemie, den 11 dec. 1822”), Andries menulis begini: “Heden verloste voorfpoedig van eene dochter de echtgenoot van A. de WILDE” (Hari ini istri A. De Wilde melahirkan seorang bayi perempuan).
Kelahiran bayi kedua itu juga ditulis Andries dalam Dagboek van Andries de Wilde, 1820-1865 (DH 1164). Yang ditulisnya sebagai berikut: “Den 11 December 1822 te Soeka Boemi op Java, mijn vrouw van haar 2 op kind bevallen, genaamd Emilie Johanna” (Pada 11 Desember 1822 di Sukabumi yang ada di Pulau Jawa, istri saya melahirkan anak kedua, yang diberi nama Emilie Johanna).
Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #17: Van Eysinga ke Sukabumi dan Ujungberung Tahun 1820
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #18: Menikahi Anak Kawan, Membawa Kapal Nuh dari Eropa
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #19: Bantahan Pemerintah Kolonial
Menumpang Kapal Delphina
Meski gembira punya anak baru, Andries de Wilde merasa lelah bila harus lama-lama di Sukabumi dan sudah memutuskan untuk kembali ke Belanda, padahal proses tawar-menawar harga Sukabumi masih berlangsung. Namun, pada 12 Januari 1823, Engelhard menasihati Andries agar tidak menunjukkan motif sesungguhnya di balik keputusannya untuk kembali ke Belanda, bahwa istri dan mertuanya ingin kembali, sebaliknya ia harus menyatakan kepergiannya untuk membela kehormatannya.
Namun, dengan kematian istrinya, Engelhard pun terpukul. Ia mengaku pemerintah kolonial punya kuasa untuk menghancurkan industri kopi di Sukabumi, dengan memaksakan kehendak agar tidak ada kepemilikan swasta, sehingga alasannya untuk bertahan menjadi tidak berguna. Oleh karena itu, Engelhard juga memutuskan untuk hengkang dari Hindia, karena bila berlama-lama di Jawa, kenangan-kenangan menyakitkan akan senantiasa nampak di mana-mana (De Haan, 1910: 304).
Andries de Wilde mulai mengumumkan kepulangannya ke Belanda pada 14 Januari 1823 melalui Bataviasche Courant edisi 18 Januari 1823. Di situ tertulis, “De ondergeteekende, voornemens zijnde met zijn familie naar Europa te vertrekken, verzoekt: alle die genen, welke van hem iets te vorderen hebben, hunne pretentien te willen inzenden, voor den 15den februari aanstaande, aan zijne generale gemagtigdens de heeren MacQuoid, Davidson en Co., te Batavia” (Yang bertanda tangan di bawah ini, bermaksud untuk berangkat ke Eropa bersama keluarganya, meminta kepada semua orang yang berurusan dengannya untuk mengajukan keinginannya, sebelum 15 Februari 1823, kepada perwakilannya, yaitu MacQuoid, Davidson & Co di Batavia).
Setelah pengumuman disiarkan, nampaknya Andries dan keluarganya di Sukabumi membereskan segala ihwal. Sementara barang-barang yang tidak dibawanya serta ke Belanda diiklankan untuk dilelang. Pelelangannya dilakukan pada hari Selasa, 25 Februari 1823 atau sehari setelah Andries berangkat ke Belanda.
Dalam iklan Bataviasche Courant edisi 22 Februari 1823 disebutkan di depan rumah lelang Macquoid, Davidson en Co., di Nieuwpoort-straat, Batavia, atas nama Andries de Wilde akan dilelang koleksi buku berbahasa Belanda, Prancis, dan Inggris. Di antaranya lebih dari 300 judul buku komedi. Barang-barang lainnya ada orgel, kereta kuda, jam dinding, lukisan, perkakas dapur dan kebun, pecah belah, topi, dan lain-lain. Barang-barang itu akan dipamerkan sehari sebelum pelelangan, dari pukul sembilan pagi hingga pukul satu siang.
Kepulangan Andries beserta keluarganya baru dikabarkan dalam Bataviasche Courant edisi 1 Maret 1823. Di situ dikatakan Andries de Wilde dan keluarga, Nyonya M. De Nietzel, janda Pool dan lima orang anak serta Nona Jacobs berangkat dari Batavia pada 24 Februari 1823. Mereka semua menumpang kapal Delphina yang dinakhodai Kapten J. Boelen jr., dengan tujuan Antwerpen, Belgia (“Feb. 24—schip Delphina, J. Boelen jr., naar Antwerpen; passagiers, de heeren J. de Jongh en familie, A. de Wilde en familie, m vrouw M. de Nietzel, de weduwe Pool en 5 kinderen en mejufvrouw Jacobs”).
Sementara Engelhard kembali ke Belanda sehari sebelumnya, 23 Februari 1823, dengan menumpang kapal Betsy en Carolina dengan tujuan Amsterdam (Bataviasche Courant, 1 Maret 1823; De Haan, 1910: 304). Dan J. Boelen jr yang mengemudikan kapal Delphina mencatat kepergian keluarga Andries de Wilde dalam catatan hariannya yang kemudian dikoleksi Arsip Kerajaan Belanda (De Haan, 1910: 304).
Bagaimana dengan yang ditinggalkan di Hindia Belanda? Ternyata hingga minggu ketiga Agustus 1823 masih tersisa barang-barang peninggalan Andries yang belum dilelang. Dalam Bataviasche Courant edisi 16 Agustus 1823 diberitakan pada Selasa, 19 Agustus 1823, di depan gedung perusahaan Macquoid, Davidson en Co., di dalam Niewpoort-straat, Batavia, akan dilakukan pelelangan sisa buku-buku peninggalan Andries de Wilde yang terdaftar pada katalog sebelumnya. Hal lainnya yang dilelang adalah perkakas minum, kain, bendi Bengali, kereta kuda Inggris, kuda keturunan ras Arab, dan lain-lain.
Apa yang dapat disimpulkan dari pelelangan-pelelangan itu? Saya mendapatkan jawabannya dari De Haan (1910: 308-309). Ia menyatakan Andries de Wilde adalah seorang pencinta buku (“omgeving van lectuur”). Terbukti pada Maret 1816, ia sengaja datang ke Batavia untuk menghadiri pelelangan buku pada hari Kamis (“om op Donderdag de verkoop van boeken te kunnen bijwoonen”). Dengan mempertimbangkan koleksi bukunya yang dilelang menjelang dan setelah kepergiannya ke Belanda, De Haan bilang barangkali Andries mirip seperti Voltaire pada Les Delices miliknya, di Lac Leman.