• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #19: Bantahan Pemerintah Kolonial

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #19: Bantahan Pemerintah Kolonial

Panen kopi di tanah Sukabumi milik Andries de Wilde dicurigai pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah berprasangka telah terjadi penyelundupan kopi.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Litografi Menteri A.R. Falck karya Charles Baugniet tahun 1842. (Sumber: Wikimedia Commons)

1 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Jauh-jauh hari sebelum berangkat dari Belanda, Andries de Wilde sempat berkirim surat kepada Gubernur Jenderal Van der Capellen. Ia menyatakan keputusan Raja Willem I yang bersepakat dengan nasihat Menteri Tanah Jajahan Anton Reinhard Falck (1777-1843) (F. De Haan, Pringan, Vol I, 1910: 303).

Dengan harapan itulah Andries ingin segera tiba di Sukabumi dan mengerjakan apa yang sudah dicita-citakannya selama mudik di Belanda. Dalam buku Cora Westland (De Levensroman van Andries de Wilde, 1948: 97), disebutkan dengan salinan surat keputusan raja di sakunya, Andries segera berpaling ke pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, sikap pemerintah jauh dari harapannya.

Para pejabat pemerintah tidak menunjukkan itikad baik saat menyambutnya. Mula-mula Andries tidak mengerti mengapa begitu. Ia kira gubernur jenderal akan berlapang dada menerima keputusan raja, karena orang yang sama yang memberi jalan melalui surat rekomendasi Menteri Falck. Sebaliknya, Van der Capellen nampaknya menyesali rekomendasi itu.

Bahkan menurut De Haan (1910: 303), Van der Capellen semula berniat tidak mengizinkan Andries de Wilde menginjakkan kaki di bumi Hindia Belanda, dan langsung memulangkannya kembali ke Belanda. Sang gubernur jenderal pun sebelumnya telah menerima surat permohonan dari Nicolaus Engelhard yang meneruskan keputusan raja Belanda dari Andries, yakni berkaitan dengan pembayaran kopi untuk musim panen tahun 1821 hingga 1823. Sebagai jawabannya Van der Capellen melayangkan keputusan No. 32 tanggal 25 Juni 1822 yang menyatakan bahwa pemerintah bertahan dulu apakah seharusnya menuruti perintah raja atau tidak.

Sekembali ke Sukabumi, Andries de Wilde membangun peternakan bagi 30 hewan, berdasarkan model Belanda. Di sisi lain, istrinya yang belia nampak dihinggapi rasa ingin tahu pada berbagai hal. Dari adiknya, Lodewijk Steitz, dan mitranya, Engelhard, Andries jadi tahu perkembangan yang sedang terjadi, yaitu gubernur jenderal kian memusuhi kepemilikan lahan swasta. Itu adalah akibat terjadinya kasus di lahan milik swasta di Indramayu dan Pamanukan pada tahun 1817, yang mendorong gubernur jenderal membentuk komisi yang menyelidiki nasib bumiputra yang hidup di sana (Westland, 1948: 97-98).

Khusus tanah Sukabumi, panen kopi tahun 1819 dan terutama 1820, dinilai sangat mengecewakan, karena hasilnya tidak mencapai setengahnya dari tahun 1818. Pemerintah kemudian berprasangka telah terjadi penyelundupan besar di Sukabumi. Ditambah pula pengganti Residen Priangan Gerrit Willem Casimir van Motman (1773-1821) adalah Mayor Robert Lieve Jasper Baron van der Capellen (1784-1860), adik gubernur jenderal.

Van Motman menaruh rasa hormat kepada Andries, karena dia sendiri adalah pemilik lahan besar di Bogor. Sebaliknya, Mayor Van der Capellen menduga Andries dan mitranya menjual kopi secara ilegal, sehingga membentuk komite bumiputra untuk menyelidiki penyelundupan, termasuk mengenai hubungan antara warga bumiputra dan pemilik tanah. Ia juga mempersulit ruang gerak orang Sukabumi, termasuk dengan memperketat izin lewat, sehingga tidak mungkin lagi bagi para petani Sukabumi untuk memasarkan hasil produksinya di pasar Bogor, bila sebelumnya mereka tidak ke Cianjur dulu untuk memperoleh izin. Dugaan Mayor Van der Capellen, kopi selundupan dari Sukabumi dibawa ke gudang Cikao, bukan ke Bogor atau Cianjur (Westland, 1948: 98-99).

Lodewijk Steitz juga menyatakan pada musim semi tahun 1821, kerusuhan secara sistematis nampaknya sudah dirancang oleh pemerintah dengan tujuan untuk menyatakan bahwa para pemilik Sukabumi tidak becus mengurus wilayah berpenduduk 20 ribu jiwa. Sebagai tambahan, residen Priangan mendorong bupati Cianjur untuk membuka “sarang” opium di Sukabumi untuk mengacaukan tata dan disiplin di antara warga bumiputra (Westland, 1948: 100). 

G.W.C. van Motman (1773-1821) adalah residen Priangan (1816-1820) dan digantikan Mayor Van der Capellen yang menuduh di Sukabumi terjadi penyelundupan kopi secara besar-besaran. (Sumber: ancestors.familysearch.org)
G.W.C. van Motman (1773-1821) adalah residen Priangan (1816-1820) dan digantikan Mayor Van der Capellen yang menuduh di Sukabumi terjadi penyelundupan kopi secara besar-besaran. (Sumber: ancestors.familysearch.org)

Keputusan Pemerintah Kolonial

Sebelas hari setelah Andries de Wilde tiba di Batavia, pada 17 Juli 1822 pemerintah kolonial menerbitkan daftar tindakan dan resolusi gubernur jenderal (“Register der Handelingen en Resolutiën van den Gouverneur-Generaal”).

Isinya terutama mengenai bantahan-bantahan terhadap klaim Andries de Wilde sekaligus penundaan keputusan Raja Willem I dan rekomendasi Menteri Falck. Bantahan gubernur jenderal itu antara lain termuat dalam Adres aan Zijne Majesteit den Koning, wegens het voorgevallene ten aanzien van Soekaboemie, onder het bewind van den Gouverneur-Generaal van der Capellen: met officie?le bewijsstukken (1838: 69-90) sebagai lampiran III.

Beberapa hal yang penting dicatat dari keputusan Gubernur Jenderal Van der Capellen antara lain Andries de Wilde disebut-sebut melangkahi pemerintah Hindia Belanda dengan langsung mengadu kepada raja Belanda, dengan membawa kabar-kabar yang menyesatkan. Andries mengaku-aku sebagai satu-satunya pemilik Goenoeng Parang (Sukabumi).

Van der Capellen juga mematahkan klaim prestasi-prestasi yang dicapai Andries selama mengelola tanah Sukabumi. Kata Van der Capellen, apa pun percobaan yang dilakukan Andries berkaitan dengan budidaya jenis biji-bijian Eropa, tidak benar-benar baru, karena sebelumnya sudah pernah ada yang melakukannya dan berhasil dengan baik. Apalagi bukti budidaya tersebut tidak ada lagi buktinya di Goenoeng Parang.

Pembiakan kuda yang dikembangkan oleh Andries juga menyesatkan karena dia berani bilang kepada Raja Willem I bahwa upaya tersebut menguntungkan padahal sesungguhnya kecil belaka. Termasuk semua biaya dan pengeluaran untuk bangunan rumah dan bangunan di luarnya, pembelian kerbau dan semua hal lainnya, bahkan suplai air (waterleiding) yang demikian dipuji-puji. Kuda-kuda Arab, Persia, dan Inggris itu sekarang sudah tidak ada lagi.

Mengenai budidaya tembakau yang dikaitkan kepada Andries, juga dibantah Van der Capellen dengan menyatakan budidaya tersebut sepenuhnya sudah menjadi alami bagi para penduduk Jawa jauh sebelum Andries mempunyai lahan di mana pun. Apalagi sebenarnya tembakau yang dihasilkan di Goenoeng Parang kecil jumlahnya, sehingga tidak pantas disebut-sebut.

Pembuatan kanal-kanal oleh Andries de Wilde dinapikan. Klaim Andries ihwal memajukan budidaya kopi di tanah Goenoeng Parang juga dikatakan tidak benar oleh Van der Capellen, karena distrik-distrik yang membentuk lahan milik Andries dan kawan-kawannya itu sudah lama memasok sejumlah kopi.

Akhirnya, Van der Capellen menyimpulkan bahwa dengan cara menyesatkan, Andries de Wilde bisa mendorong Raja Willem I untuk menerbitkan dekrit No. 61 tanggal 11 Juli 1821. Demikian pula Menteri Falck yang menjadi penghubung bagi Andries sekaligus penasihat raja, menjadi kebalikan dari niat raja untuk menyejahterakan penduduk bumiputra. Oleh karena itu, dekrit kerajaan yang sudah diterbitkan untuk sementara ditunda pelaksanaannya, dan menunggu perintah lebih lanjut dari raja.

Keputusan lainnya, bagi Engelhard, De Wilde dan MacQuoid tidak diperkenankan mengambil keputusan sebelum adanya perintah-perintah lebih lanjut yang diminta gubernur jenderal dari raja Belanda dan dalam kerangka membuat permohonan kedua yaitu menyerahkan permohonan pada resolusi hasil rapat No. 32 tanggal 25 Juli 1822. Van der Capellen juga berkirim surat kepada komisi yang ditugaskan untuk memeriksa hak dan kewajiban pada pemilik lahan, sekaligus menyurati Menteri Falck.

Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #18: Menikahi Anak Kawan, Membawa Kapal Nuh dari Eropa
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #17: Van Eysinga ke Sukabumi dan Ujungberung Tahun 1820
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #16: Mengadu kepada Raja Willem I

Informasi dari Adik Tiri

Bila membaca keterangan yang dikumpulkan De Haan (1910: 305), di balik bantahan Gubernur Jenderal Van der Capellen itu ada andil data dari adik tiri Andries de Wilde, Lodewijk Steitz. Kata De Haan, dengan terbitnya keputusan pemerintah No. 1 tanggal 27 Juli 1820, para pejabat bumiputra diminta untuk menyerahkan gambaran statistika daerahnya masing-masing kepada Residen Priangan Mayor Van der Capellen.

Data mengenai Sukabumi diserahkan pada 3 Agustus 1821. Data tersebut sudah diperiksa secara saksama oleh Engelhard, tetapi sangat merugikan bagi Andries de Wilde, karena pernyataan-pernyataan yang disampaikannya kepada raja Belanda menjadi sangat bertolak belakang.

Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda menggunakan keterangan-keterangan dari Lodewijk itu untuk membela diri saat menyerang balik Andries de Wilde. Dari data yang disampaikan Lodewijk, sebelum Andries kembali dari Eropa, di pusat Sukabumi hanya ada tiga orang lelaki Eropa dan seorang anak, tidak ada seorang pun perempuan bangsa Eropa, sepasang Tionghoa dengan dua anak, empat laki-laki orang bumiputra dari luar pulau beserta lima orang perempuan dan seorang anak, budak atau hamba sahaya masing-masing sebanyak 21 orang, tujuh, dan tiga orang, dan warga bumiputra setempat masing-masing berjumlah 186, 207, dan 202 orang.

Sementara menurut D.W. Van Welderen Rengers (The Failure of a Liberal Colonial Policy: Netherlands East Indies, 1816–1830, 1947: 86), penolakan Gubernur Jenderal Van der Capellen terhadap keputusan Raja Willem I bukan hanya seperti pembangkangan (sesuai ayat 15 aturan pemerintah tahun 1818 bahwa gubernur jenderal harus mengikuti instruksi yang diberikan kepadanya dari menteri tanah jajahan atas nama raja), melainkan juga berimbas pada pertanyaan tentang kebijakan kolonial siapa yang seharusnya diikuti. Juga mempengaruhi pada pertanyaan penting mengenai kolonisasi bangsa kulit putih, karena raja Belanda berhasrat untuk mendorong pertanian ala barat di Hindia.

Van Welderen Rengers, selanjutnya menyatakan tindakan Van der Capellen sejatinya bukan pembangkangan atau penyimpangan terhadap kebijakan yang sudah digariskan oleh komisaris jenderal. Tetapi dari pengalaman Elout, akhirnya Van Welderen Rengers menyatakan bahwa Elout menemukan dokumen-dokumen Van der Capellen yang dapat menjelaskan alasan-alasan di balik penundaan keputusan raja pada kasus Andries de Wilde termasuk memohon kesanggupan raja.

Dokumen-dokumen tersebut sudah diberkaskan sejak 5 Juli 1823. Isinya berupa satu dokumen setebal 254 halaman yang merinci alasan Van der Capellen membantah Andries de Wilde, berkaitan dengan pertanyaan apakah tanah atau lahan dapat diberikan kepada orang Eropa (bertitimangsa 16 Juli 1822); resolusi gubernur jenderal bersama Raad van Indie; dokumen rahasia bertitimangsa Juni 1822.

Alhasil, kata Van Welderen Rengers, ketiga dokumen itu mencerminkan keyakinan Van der Capellen dan menjadi pembenaran bagi tindakan-tindakannya. Karena ia tidak menerima jawaban dari raja Belanda, dia menganggap bahwa raja menyetujui prinsip-prinsipnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//