• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #6

NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #6

Sistem tanam paksa membuat Belanda kaya raya. Roman Max Havellar karya Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, membongkar borok tanam paksa.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Sampul buku Max Havelaar karya Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, terjemahan HB Jassin, Penerbit Djambatan (1977). (Foto: Dokumentasi Djiwadjaman)

5 April 2024


BandungBergerak.id – Belanda mengutus Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch ke Hindia Belanda tahun 1839. Setahun kemudian Bosch menjalankan sistem tanam paksa yang dikenal dengan istilah Cultuurstelsel atau Sistem Kultur. 

Sejarawan Jan Bremen dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) menggambarkan sistem tanam paksa ala Bosch mengadopsi sistem tanam paksa yang dipertahankan sejak zaman VOC di wilayah Priangan. Dengan sistem tanam paksa Bosch memaksa petani di sebagian besar Jawa menaman dan menyetorkan tanaman tertentu yang sudah ditentukan pemerintah, tanaman yang tentunya menjadi komoditas yang laku di pasar global. 

Bremen memaparkan, Bosch pada dasarnya mempraktikkan kerja ekonomi untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan menghemat biaya pekerja sebesar-besarnya. Kerja paksa adalah cara yang mau tidak mau harus dilakukan untuk menghemat ongkos pekerja. Dengan dalih itu, Bosch memaksa petani menanam tanaman yang sudah ditentukan, sekaligus mengatur distribusinya yang hanya dijalankan oleh perusahaan dagang yang ditunjuk pemerintah. 

Bosch berargumen sistem tanam paksa tak jauh beda dengan pungutan upeti yang telah biasa dijalankan petani-petani di Jawa sejak dulu. Priangan yang telah menjalankan sistem ini sejak zaman VOC menjadi model bahwa Cultuurstelsel bisa diberlakukan di tempat lain di Jawa. 

Benar saja, tiga tahun pertama sistem tanam paksa dijalankan hasilnya memang memuaskan. Produksi kopi, misalnya, perlahan tapi pasti melonjak. Catatan pemerintah Hindia Belanda menunjukkan pada tahun 1833 produksi kopi sudah menembus 336 ribu pikul setahun, dan pada 1854 produksi kopi terus melonjak menjadi 1 juta pikul untuk seluruh Jawa. 

Produksi Priangan yang Stagnan 

Sistem tanam paksa yang mengadopsi Priangan Stelsel ditegakkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-43 Johannes Graaf Van Den Bosch. Tiga puluh tahun sistem tersebut dijalankan. Berganti-ganti, Belanda mengirim gubernur jenderal yang baru untuk terus mengeruk kekayaan alam dengan eksploitasi yang lebih mirip praktik perbudakan di Nusantara. Negeri Belanda perlahan mengalami perbaikan ekonomi dengan mengalirnya keuntungan dari eksploitasi negeri koloninya. 

Johannes van den Bosch memerintah selama tiga tahun (1830-1833. Bosch menjadi peletak dasar sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Bosch kemudian digantikan berturut-turut oleh Jean Chrétien Baud (1833-1836), Dominique Jacques de Eerens(1836-1840), Carel Sirardus Willem van Hogendorp (1840-1841), Pieter Merkus (1841-1844), Jan Cornelis Reijnst (1844-1845), Jan Jacob Rochussen (1845-1851), Albertus Jacobus Duymaer van Twist (1851-1856), serta Charles Ferdinand Pahud (1856-1861). Merentang sepanjang tiga dekade, sistem tanam paksa berjalan tanpa putus di Hindia Belanda. 

Namun sinyalemen buruknya sistem tanam paksa sesungguhnya justru ditunjukkan dengan kinerja petani di Priangan. Di bawah sistem tanam paksa ala Bosch yang dijalankan lebih sistematis memang sempat mendongkrak produksi kopi di Priangan. Namun tiga tahun berjalan, di tahun 1833 kontribusi petani Priangan pada produksi kopi justru menunjukkan penurunan. Sebelum sistem tanam paksa diberlakukan di seluruh Jawa, produksi kopi Priangan justru menjadi yang  terbesar dan terus menjadi andalan pemerintah Hindia Belanda. 

Produksi kopi di Priangan di era perluasan sistem tanam paksa pada tahun 1835-1855 mencapai puncaknya dengan rata-rata 219 ribu pikul per tahun, tapi sepuluh tahun kemudian pada periode 1862-1864 anjlok menjadi rata-rata 95 ribu pikul setahun. Produksi kopi Priangan ini hanya seperlima saja dari total produksi kopi yang dihasilkan petani di seluruh Jawa. Belanda menutup mata pada angka-angka tersebut. Namun, pertanyaan yang tumbuh di sebagian kalangan kala itu adalah apakah tanam paksa yang dilakukan sudah melebihi kemampuan tenaga penduduk?

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #3
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan pada Masa Kolonial #4
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #5

Multatuli nama samaran Eduard Douwes Dekker. (Foto: Dokumentasi Djiwadjaman)
Multatuli nama samaran Eduard Douwes Dekker. (Foto: Dokumentasi Djiwadjaman)

Terbitnya Max Havelaar

Tiga dekade sistem tanam paksa berjalan. Negeri Belanda dikejutkan dengan terbitnya buku berjudul Max Havelaar oleh Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, pada tahun 1860. Novel yang sesungguhnya berisi protes Eduard Douwes Dekker terhadap praktik kejam sistem tanam paksa pada masyarakat Lebak, Banten.

Bagian Pendahuluan buku Max Havelaar (terjemahan HB Jassin) yang dituliskan Gerard Termorshuizen menceritakan latar kisah yang melahirkan roman semi-otobiografi Eduard Douwes Dekker. Gerard  menuturkan, kisah dalam buku tersebut berawal dari pertemuan Douwes Dekker dengan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist di Batavia. Duymaer kemudian mengangkat Douwes Dekker menjadi asisten residen di Lebak, Banten. Duymaer sengaja menunjuk Dekker yang memiliki kecintaan pada masyarakat pribumi menjadi wakilnya yang tepat untuk masyarakat Lebak yang bernasib buruk.

Eduard Douwes Dekker mulai bertugas sebagai asisten Residen Lebak pada 21 Januari 1856. Tak butuh waktu lama ia mendapati situasi yang menyesakkan di sana. Ia mendapati wajah buruk sistem tanam paksa: korupsi, penyalahgunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Tak tahan melihat situasi tersebut, Douwes Dekker mengirim surat mengadu pada Duymaer atas situasi yang dihadapinya. Yang disorotinya serta kesewenang-wenangan bupati Lebak sebagai kepanjangan tangan pemerintah Hindia Belanda.

Duymaer malah menyalahkan Douwes Dekker dan memberi kesan yang dilakukan Douwes Dekker tidak layak untuk seseorang dalam jabatannya. Pengaduan Douwes Dekker diabaikan. Douwes Dekker yang sakit hati meminta berhenti dari jabatannya. Ia dan keluarganya kemudian kembali ke Batavia. Douwes Dekker berulang kali meminta bertemu dengan Duymaer di Batavia. Namun permintaannya terus diabaikan. Douwes Dekker yang putus asa kemudian berangkat ke Eropa tahun 1857. Berpindah-pindah di Eropa, hingga setahun kemudian ia menetap di Brussel, Belgia. Di sana Douwes Dekker kemudian menuliskan roman dengan judul Max Havelaar menggunakan nama samaran Multatuli.    

Mengutip bagian Pendahuluan yang dituliskan Gerard Termorshuizen dalam buku Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker) terjemahan HB Jassin (Penerbit Djambatan): 

"Kembali kita kepada Max Havelaar. Max Havelaar (sering disebut Havelaar) ialah tokoh utama dalam buku Anak judul: atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda, erat hubungannya dengan apa yang hendak dibuktikan oleh Multatuli, yakni bahwa orang Jawa diperas; di bawah Sistim Tanam Paksa penduduk harus menyediakan seperlima bagian tanahnya kepada Gubernemen. Di atas tanah-tanah perkebunan itu ditanam hasil-hasil bumi yang penting bagi pasaran Eropah, terutama kopi, selain itu teh dan gula. Untuk pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk di kebun-kebun itu, harus dibayar apa yang disebut upah tanam, tapi wang itu biasanya tidak sampai ke tangan mereka. Berhadapan dengan 'alat perkakas penanam kopi yang disebut inlander' itu, ada kepentingan Belanda, antara lain terwujud dalam Maskapai Dagang Belanda, didirikan tahun 1824. Maskapai itu mengangkut hasil bumi kepunyaan Gubernemen (jadi antara lain kopi) ke negeri Belanda dan melelangnya di sana. Hasilnya mendatangkan keuntungan bagi ekonomi Belanda." 

Sejarawan Bremen mendudukkan Multatuli dan roman karangannya Max Havelaar sebagai “salah satu pendobrak keheningan tembok kekuasaan”. Berpuluh tahun masyarakat Belanda dininabobokan dengan kesuksesan sistem tanam paksa yang perlahan memberikan perbaikan pada perekonomian Belanda dari keuntungan tanaman kopi dan gula yang didatangkan dari Hindia Belanda. Kisah Max Havelaar menjadi tamparan yang pedas. Kopi dan gula adalah wajah Belanda di mata masyarakat Hindia Belanda sebagai pemaksaan yang sewenang-wenang. (Bersambung)

*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Hindia Belanda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//