• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #5

NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #5

Rancangan sistem tanam paksa selanjutnya mengadopsi model sistem budi daya kopi Priangan yang masih dipertahankan terus sejak era VOC berkuasa di Hindia Belanda.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Perkebunan di hutan, kemungkinan di Jawa. Foto diambil sekitar tahun 1880. (KITLV 105948, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

29 Maret 2024


BandungBergerak.idSejarawan Jan Bremen dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) mencatat perdebatan yang terjadi di negeri Belanda pada tahun 1826 saat Belanda mengganti Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari Van der Capellen pada L.P.J. du Bus de Gisignies.

Tugas yang diberikan pada Gisignies disebutkan hanya satu, yakni menerapkan prinsip liberal untuk mendorong pendirian pertanian berskala besar. Rencana tersebut terbentur pada persoalan tenaga kerja. Andai lahan ada, tapi memastikan penduduk bumiputra untuk menggarapnya menjadi tanda-tanya. Soal tenaga kerja menjadi pokok diskusi kala itu di Belanda. Dua pilihan yang tersedia, menyerahkan pada sistem swasta untuk menyediakan tenaga kerja atau sistem kerja paksa seperti yang dipraktikkan di Priangan.

Mayoritas pendapat umum kala itu lebih setuju pada sistem kerja paksa karena keuntungan yang diperoleh negara sudah terbukti. Sistem Priangan yang memaksa penduduk bumiputra menanam kopi terbukti memberikan keuntungan yang pasti dengan biaya yang lebih murah. Hanya saja, pemaksaan pada penduduk untuk bekerja tidak ada bedanya dengan praktik perbudakan, dan ini pun sudah menuai protes di negeri Belanda.

Perdebatan selanjutnya mengerucut pada pencarian pembenaran pada praktik kerja paksa karena terdesak kepentingan negara yang  paling mendesak demi mengisi kas negara yang kosong. Paparan Bremen tersebut akan menjadi terang jika melihat kondisi Hindia Belanda saat periode menjelang penerapan tanam paksa.

Pangeran Ario Diponegoro, pemimpin Perang Jawa tahun 1825-1830. (KITLV 2505, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pangeran Ario Diponegoro, pemimpin Perang Jawa tahun 1825-1830. (KITLV 2505, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Perang Jawa

Sejarawan Belanda Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya Nusantara Sejarah Indonesia (2008) memaparkan kondisi Hindia Belanda kala itu. Vlekke mencatat, periode kepimpinan Gubernur Jenderal Van der Capellen disebutkan sebagai yang terburuk dibandingkan pendahulunya. Dalam 7 tahun kepemimpinannya (1819-1926), ia menghabiskan 24 juta Gulden, nilai yang lebih besar dari pendapatan pemerintah dari penjualan kopi. Pendapatan pemerintah ditambah-tambah makin ambruk berbarengan dengan anjloknya harga kopi dunia.

Kebijakan yang diambil Capellen sedianya dimaksudkan untuk melindungi eksploitasi berlebihan penduduk bumiputra oleh pengusaha asing di Jawa Tengah. Capellen secara sepihak memutuskan pembatalan sewa tanah pengusaha asing di sana.

Pemilik tanah yang kebanyakan adalah bangsawan-bangsawan bumiputra yang tanahnya disewa pengusaha asing kecewa. Keputusan Capellen memutus pendapatan mereka yang diperoleh dari sewa tanah. Bangsawan-bangsawan bumiputra kemudian memberontak. Cappelen kemudian ditarik kembali ke Belanda pada 1824. Tahun 1926, Belanda mengirim L.P.J. du Bus de Gisignies menggantikannya menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda.

Adalah Pangeran Dipanegara, putra sulung Sultan Hamengkubuwana III yang sedianya naik tahta, kemudian tersingkir. Pengusaha Hindia Belanda di Batavia lebih merestui adiknya untuk menjadi pengganti sultan. Ia kemudian memilih menyingkir dari istana. Tak butuh waktu lama, ia pun terseret pemberontakan para bangsawan Yogyakarta pada pemerintah Hindia Belanda. Perang Jawa pun pecah selama lima tahun lamanya.

Gubernur Jenderal du Bus de Gisignies memimpin pemerintahan Hindia Belanda selama 4 tahun. Ia nyaris tidak bisa melakukan apa-apa, waktunya habis untuk menghadapi Dipanegara dalam perang Jawa.

Vlekke mencatat wabah kolera yang mengamuk berbarengan dengan perang Jawa membuat situasi memburuk. Wabah kolera disebut-sebut lebih banyak mengambil nyawa ketimbang perang. Perang Jawa berakhir dengan ditawannya Dipanegara yang kemudian dihukum ke pembuangan di Sulawesi. Sepanjang perang Jawa berlangsung tercatat hampir 15 ribu serdadu pemerintah Hindia Belanda tewas, 8 ribu di antaranya orang Eropa. Jumlah orang Jawa yang menjadi korban perang diperkirakan menembus 200 ribu orang. Tahun 1830, bersamaan dengan perang Jawa berakhir, perang malah pecah di Eropa akibat pemberontakan Belgia terhadap pemerintahan Raja Willem I yang memicu konflik bersenjata berkepanjangan. Perang di Eropa berlangsung hampir 9 tahun lamanya.

Kas Kerajaan Belanda benar-benar ranggas akibat perang, baik di Hindia Belanda maupun di negerinya di Belanda. Situasi keuangan negara membuat negara tersebut akan mengambil pilihan yang paling cepat dan paling mudah untuk mendapatkan uang untuk mengisi kas negara yang kosong.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #2
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #3
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan pada Masa Kolonial #4

Sketsa saat pangeran Dipanegara memasuki kediaman yang sudah disiapkan untuknya dan pasukannya setelah menyerah di Magelang, 8 Maret 1830. (Koleksi KITLV 47B12, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Sketsa saat pangeran Dipanegara memasuki kediaman yang sudah disiapkan untuknya dan pasukannya setelah menyerah di Magelang, 8 Maret 1830. (Koleksi KITLV 47B12, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kelahiran Sistem Tanam Paksa

Kembali pada paparan Bremen. Ia mencatat, Gisignies dinilai tidak cukup kuat untuk menjalankan misi memperluas praktik sistem tanam paksa ala Priangan dalam skala luas di Hindia Belanda. Yang dibutuhkan adalah sosok gubernur jenderal yang kuat dan mampu mewujudkannya dengan tindakan nyata.

Nama yang mencuat menjadi kandidat pengganti Gisignies pun muncul, yakni Johannes van den Bosch. Raja Willem I, Raja Belanda kala itu kemudian memutuskan untuk mengangkat van den Bosch menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda yang baru untuk melaksanakan sistem tanam paksa pada tahun 1830. Sistem tanam paksa yang dimaksud adalah mengadopsi sistem kerja paksa yang sudah bertahun-tahun dipertahankan di wilayah Priangan. Rancangan sistem tanam paksa selanjutnya mengadopsi model sistem budi daya kopi Priangan yang masih dipertahankan terus sejak era VOC berkuasa di Hindia Belanda.

Johannes graaf van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-43 yang melaksanakan Sistem Tanam Paksa sebagai kebijakan politik di Hindia Belanda. Bosch meletakkan dasar-dasar sistem tanam paksa dengan mempelajari kegagalan strategi transformasi masyarakat pribumi di Hindia Belanda yang diterapkan Daendels yang kemudian dilanjutkan oleh Raffles. Ia mengadopsi sistem pemerintahan desa, menggandeng bangsawan pribumi untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja, serta pendataan yang merinci.

Sistem tanam paksa diberlakukan di seluruh Jawa sejak tahun 1830. Belanda juga memperluas ragam tanaman budi daya yang wajib ditanam dan disetorkan petani. Wilayah budi daya tanaman pun berbeda. Pantai utara Jawa misalnya menjadi daerah wajib untuk tanam tebu, sementara daerah lainnya yang berada di dataran yang lebih tinggi diwajibkan menanam kopi. (Bersambung) 

*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Hindia Belanda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//