• Buku
  • BUKU BANDUNG #74: Menjelajah Braga Tempo Doeloe

BUKU BANDUNG #74: Menjelajah Braga Tempo Doeloe

Jalan Braga tempo dulu berbeda dengan sekarang. Lahan sawah dengan latar belakang Sungai Cikapundung berubah menjadi kota ala Eropa.

Buku Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950 karya Sudarsono Katam (Pustaka Jaya, 2017). (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah10 April 2024


BandungBergerak.idSebagai orang Bandung, saya tentu senang dapat berjalan-jalan ke Braga. Sebatas untuk menikmati bangunan-bangunan tua yang nuansa tuanya sudah mulai memudar. Apalagi saat mendapat kesempatan magang di Museum KAA, saya intens melewati jalan paling ikonik ini ketika jam pulang kantor. Dalam kurun waktu tiga bulan saja saya sudah bisa melihat beberapa perubahan di beberapa sudut jalan itu. Hingga saya merasa heran dan membatin, "Loh, sudah ganti lagi toko ini ya?".

Seusai membaca Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950 karya Sudarsono Katam, saya jadi mahfum jika perkembangan pesat itu sudah terjadi jauh-jauh hari. Braga saat itu hanya sebuah jalan setapak berlumpur di sisi Sungai Cikapundung. Jalan ini kemudian berkembang menjadi jalan lalu-lalang penduduk dan menjadi jalur untuk mengantarkan hasil bumi seperti kopi dari Gudang Kopi (daerah Balai Kota sekarang) ke daerah lain melewati Jalan Raya Pos (Groote Postweg).

Pedati menjadi alat transportasi umum yang sering melewati jalur itu. Maka tidak heran jika dulu jalan ini juga disebut sebagai Pedatiweg atau Karrenweg. Asal-usul penamaan nama 'Braga' menurut Katam sendiri masih tidak jelas.

Ada banyak beberapa pendapat mengenai penamaan ‘Braga’, salah satu contohnya adalah dari seorang sastrawan Sunda bernama M.A. Salmoen. Menurutnya nama Braga diambil dari kata "baraga" yang artinya berjalan-jalan di tengah pesawahan di pinggiran sungai. Pada masa itu kawasan timur dan barat jalan setapak itu adalah area pesawahan. Adapula yang menginterpretasikan baraga sebagai berjalan menyusuri sungai. Haryoto Kunto juga mencoba menguliknya dari segi nama ‘Braga’ itu sendiri. Ia mengartikannya sebagai ngabaraga yang artinya memamerkan tubuh. Hal ini mengacu pada warga kota Bandung yang senang berlagak sebagai peragawan dan peragawati saat melewati jalan itu.

Ketenaran Toneelvereniging Braga yang didirikan pada 18 Juni 1882 mungkin bisa menjadi salah satu alasan perubahan nama jalan yang asalnya bernama Karrenweg menjadi Bragaweg. Namun, penamaan Braga ini tidak ada sangkut pautnya dengan penulis nama dari Portugal Theofilo Braga (1843-1924) maupun dewa puisi Bragi dalam mitologi Jerman.

Perkembangan Braga Zaman Baheula

Sebelum menjadi surga pertokoan paling tersohor di Hindia Belanda, kawasan ini pernah menjadi kawasan permukiman penduduk. Rumah-rumah di bangun dengan lokasi yang menjorok ke belakang, menampakkan halaman depan rumah yang luas. Pada tahun 1874 sudah mulai terlihat beberapa warung berdinding bambu dan beratap rumbia. Barulah pada tahun 1890an, salah satu toko kecil milik C. A. Hellerman yang menjual senjata api, perlengkapan berburu, reparasi senjata, hingga menjual bermacam-macam kereta kuda. Semua hal itu dapat dilihat dari beberapa foto-foto Jalan Braga yang ditampilkan. Suasananya masih nampak asri.

Semenjak tahun 1900an, mulai dibangun bangunan-bangunan yang lebih kokoh. Pembangunan pun menjadi masif dan terjadi perubahan di setiap tahunnya, apalagi saat ada wacana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Hingga tahun 1930, Jalan Braga berhasil menjadi kawasan pertokoan dan hiburan paling terkenal di Hindia Belanda.

Berbagai macam toko yang menjual banyak barang yang berbeda. Dimulai dari toko yang menjual mode busana seperti Au Bon Marche hingga toko pembuatan setelan jas terkemuka bernama Keller’s Mode Magazijn. Lalu, selain toko baju dan peralatan rumah tangga, banyak sekali berdiri restoran makan seperti Maison Bogerijen yang kini berganti nama menjadi Braga Permai. Selain pertokoan, tersedia pula bioskop, bank, apotek, hingga NV. Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij (NIGM).

Sudarsono Katam menjelaskan semua toko ternama di Jalan Braga secara runut dan ringkas (mudah dipahami), mulai dari bangunan yang berada di kawasan Asia Afrika kini hingga jalan Suniaraja. Penambahan foto dan lampiran membantu kita dapat membayangkan suasana dan melihat perubahan signifikan dari bangunan tersebut.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #73: Kisah Anak Sekolah yang Dirundung di Balik Keindahan Kota Bandung
BUKU BANDUNG #69: Menyingkap Dampak Perundungan Lewat Buku Foto Bully
BUKU BANDUNG #70: Tilik Bantala Hawa, Bukan Sekadar Dongeng Pengantar Tidur

Braga Masa Kini

“Masa depan Jalan Braga dapat ditentukan dalam dua kemungkinan. Mengacu kepada suasana masa kejayaan Jalan Braga tempo doeloe dan menjadikan kawasan Jalan Braga sebuah museum nuansa kota atau mengacu kepada kenangan masa lalu yang dipadukan dengan tuntutan perkembangan kota,” tulis Sudarsono Katam pada bab terakhir buku ini.

Apa yang dikatakan Sudarsono Katam bisa jadi menjadi kenyataan meski harus bersusah payah, mungkin kita bisa menikmati suasana kota Bandung zaman dulu. Namun, apa yang diharapkan itu sampai saat ini tidak pernah terjadi.

Kini kejayaan Braga sudah meredup dan nilai historisnya perlahan mulai memudar. Hal ini disebabkan juga dengan generasi pemilik yang enggan melanjutkan usaha hingga pajak yang tinggi menjadi beberapa faktor sulitnya mempertahankan kekhasan Braga tempo dulu tetap berasa. Ditambah kehadiran pemerintah untuk mengelola kawasan itu sangat minim.

Meski ada usaha yang masih tetap bertahan seperti restoran Braga Permai dan Sumber Hidangan (Het Snoephuis), banyak bangunan yang sudah beralih fungsi jauh dari fungsi awalnya. Hal itu masih lebih baik dibandingkan bangunan-bangunan yang sudah tidak terawat.

Selain itu, Jalan Braga kini makin menyempit dan adanya lahan parkir liar membuat jalan ini sering mengalami kemacetan. Bahkan minimnya tempat sampah menjadikan Braga saat ini terkesan kumuh dan jauh dari kata eksklusif sebagaimana tersemat pada zaman dulu.

Membaca buku ini seakan-akan membangkitkan kesadaran bahwa menjaga nilai historis itu sangat penting. Hal ini bisa menjadi bahan renungan bersama. Deskripsi bangunan-bangunan di Jalan Braga ini mungkin bisa menjadi awal untuk mengulik lebih dalam kisah dari setiap bangunan dengan lebih terperinci di masa mendatang.

Informasi Buku

Judul Buku: Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950

Penulis: Sudarsono Katam

Penerbit: Pustaka Jaya

Cetakan: Pertama, Maret 2017

Jumlah Halaman: 154 halaman.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Resensi Buku

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//