BUKU BANDUNG #70: Tilik Bantala Hawa, Bukan Sekadar Dongeng Pengantar Tidur
Ketika dongeng-dongeng lain menyajikan dunia imajiner, Ratimaya melalui buku Tilik Bantala Hawa mendongengkan realitas dengan keberpihakan pada yang tertindas.
Penulis Tofan Aditya7 Januari 2024
BandungBergerak.id - Kebanyakan orang dewasa tidak memikirkan dongeng yang mereka baca ketika kecil, termasuk saya. Lahir dari keluarga yang tidak suka membaca, saya hanya disuguhkan dongeng-dongeng dari buku pelajaran sekolah. Kalau diingat-ingat, itu adalah momen paling menjemukan sekaligus menyebalkan. Meski diolah menjadi beragam versi, tetap saja ceritanya begitu-begitu saja.
Baru saya mengerti betapa indahnya dongeng ketika bertemu Ratimaya. Saya ingat betul, tanggal 22 Maret 2023, bertepatan dengan Hari Pantomim Sedunia. Di Pasar Antik Cikapundung, Ratimaya menampilkan dongeng tentang pohon-pohon yang habis dibabat oleh orang-orang serakah. Penampilannya energik dan komunikatif, setiap mata yang menyaksikan, yang mayoritas adalah orang dewasa, tidak ingin memalingkan pandangan dari Ratimaya.
Kuliah di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra membuat saya paham, dongeng memang tidak memiliki tempat di kancah persastraan. Dongeng dianggap sastra rendah, tidak cocok bersanding dengan sastra-sastra orang dewasa. Selain itu, dongeng juga tidak seksi di pasaran, tidak banyak menghasilkan uang.
“Aku ingin mengarsipkan kejadian-kejadian atau fenomena hari ini, makanya aku balut itu ke dalam satu dongeng. Supaya terawat, aku harus menyampaikan lagi kepada temen-temen,“ kalimat yang saya ingat ketika mengobrol dengan Ratimaya. “Bukan hanya dongeng pengantar tidur yang mengantarkan tidur. Tapi juga ada maknanya.”
Padahal, dongeng bisa membentuk pandangan orang muda tentang dunia: mengenali pahlawan dan penjahat, cinta dan pengkhianatan, baik dan buruk, begitu terang Mia Bloom dan Sophia Moskalenko, peneliti dari Georgia State University. Dongeng dapat memandu setiap sikap yang diambil ketika berada di situasi kritis.
Kita bisa ambil contoh dengan menengok kegigihan Ukraina untuk terus melawan Rusia lewat perang. Di Ukraina, dongeng-dongeng banyak bercerita tentang underdog hero (pahlawan yang tidak diunggulkan). Kisah-kisah seperti Kotygoroskho, Kyrylo Kozhumyaka, dan Ivanyk Telesyk, menggambarkan karakter sederhana yang gigih menghadapi berbagai rintangan. Siapa pun bisa menjadi pahlawan, sekali pun tidak diunggulkan. Persis seperti Ukraina hari ini.
Oke, kembali ke Ratimaya. Setelah penampilan mendongengnya, saya mengobrol dengan perempuan yang merupakan lulusan Bisnis Internasional Universitas Padjadjaran ini. Satu yang membuat saya tertarik adalah ketika tahu bahwa dirinya membuat buku dongeng remaja berjudul Tilik Bantala Hawa. Dicetak hanya 100 ekstemplar pada Januari 2023. Sayangnya, buku itu telah ludes.
Baru pada November 2023, saya mendapatkan informasi bahwa Tilik Bantala Hawa akan kembali dicetak. Dengan menitip kepada seorang kawan, cetakan kedua dari buku ini berhasil saya dapatkan. Tebalnya hanya 97 halaman. Dengan waktu kurang dari satu jam, saya telah selesai membaca seluruhnya.
Menikmati Dongeng-dongeng di Sekitar
“Mengantarkan apa yang terjadi hari ini menuju gerbang imajinasi,” kalimat pembuka yang ditulis Ratimaya dalam bukunya.
Sesuai namanya, buku ini berkisah tentang pengamatan atas bantala (tanah) dan hawa (udara). Total ada 10 kisah, yakni Mengapur Hayat, Pedih Meneguk Debu, Luruh Kabut, Sumber Pangan pada Ladang, Menyerbuk Hidup, Redam Merendam Kehidupan, Mengantar Punah, Jentik Pijak, Lumbung Paksa, dan Bagi Kenang. Pembahasannya beragam, mulai dari tanah yang tergusur, udara yang tercemar, industri yang rakus, manusia yang serakah, dan penghilangkan paksa.
Dalam dongeng Mengapur Hayat, Ratimaya mengisahkan Sata, bocah yatim piatu berusia tujuh tahun, yang mempertanyakan alasan bukit kapur tempat bermainnya akan dihancurkan. Sata mengeluh kepada kakeknya, mengapa orang yang tidak lahir dan tidak tinggal di sekitar lokasi justru mengusir semua yang hidup di tempat tersebut.
“Pasti bukit dan gunung kapur itu kesakitan ya, Kek. Sata pasti akan marah kalau ada orang tak dikenal yang tiba-tiba menyakiti Sata. Mungkin, longsor dan banjir kemarin adalah bentuk kemarahannya ya, Kek?” tanya Sata polos.
Kemudian, dalam dongeng Lumbung Paksa, Ratimaya bercerita tentang para petani yang dipaksa menjual sawahnya oleh orang-orang berseragam. Meskipun di tengah keresahan akan harga panen yang merugi, para petani tetap enggan menjual lahannya. Apalagi, harga ganti rugi yang diberikan tidak seberapa.
Para petani bersikeras menolak. Protes dilayangkan. Perlawanan diberikan. Sayang, alat berat tetap melaju sekalipun para petani mengadang untuk mempertahankan tanah nenek moyangnya. Bahkan, para petani segera “diamankan” untuk menjauh dari lokasi yang akan dijadikan jalan tol tersebut.
“Kami tidak akan berpergian ke mana pun dengan jasa jalan tol. Bahkan, mobil pun tak punya. Hentikan! Kami ingin terus menanam,” mengutip salah satu perkataan petani yang melawan yang ditulis oleh Ratimaya.
Selain dua dongeng tersebut, satu yang paling berkesan menurut saya adalah Jentik Pijak. Dongeng ini mengisahkan tentang kawanan semut yang mencari rumah baru setelah kerajaannya hancur akibat proyek pelebaran jalan.
Satu waktu, ketika kawanan semut tersebut tengah berjalan menuju bawah tanah untuk membagun rumah baru, seorang manusia dengan sengaja menghilangkan seekor semut dari barisannya. Semut adalah hewan yang selalu bekerja sama. Ketika salah satu kawannya tersesat dan keluar barisan, dia akan berjalan melingkar sampai semut yang tersesat kembali.
“Aku tidak ingin kehilangan anakku tanpa kepastian. Aku ingin tahu apakah dia memang tersesat atau malah sudah mati terinjak,” ucap seorang ibu dari semut yang dihilingankan.
Dari ketiga dongeng yang saya cerita sebelumnya, pikiran saya segera teringat beberapa kejadian. Dalam Mengapur Hayat, saya teringat bukit kapur di dekat kampung halaman saya, di Cipatat, yang sudah mulai habis dikeruk perusahaan. Dalam Lumbung Paksa, saya teringat rumah kakek nenek saya yang tergusur proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Dalam Jentik Pijak, saya teringat orang-orang berpayung hitam yang setia berdiri menanti di setiap Kamis.
Baca Juga: BUKU BANDUNG #67: Kisah Penanam Emas Hijau di Priangan
BUKU BANDUNG #68: Potret Gerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967
BUKU BANDUNG #69: Menyingkap Dampak Perundungan Lewat Buku Foto Bully
Catatan setelah Membaca
Ketika dongeng-dongeng lain membawa pembaca ke dunia yang imajiner, yang asing, yang berujung happily ever after, Ratimaya berbeda. Perempuan ini justru secara jujur menuliskan realitas sekitar, sesuatu yang dekat dan meresahkan, dengan keberpihakan yang jelas. Dia mengantarkan pembacanya menuju skeptisme akan dunia yang dipijak hari ini.
Saya sejujurnya tidak terlalu paham soal frasa “dongeng remaja”. Tapi, saya tahu bahwa setiap orang harus dikenalkan dengan dunia yang tidak hanya hitam putih belaka. Kehidupan begitu kompleks dan rumit, orang-orang yang terpinggirkan akan sulit mendapatkan akhir yang bahagia. Begitulah kenyataannya.
Pertanyaan kemudian mengemuka, ketika kita sudah tahu seperti apa situasi hari ini, apa yang harus dilakukan? Sayangnya, jawaban dari pertanyaan ini tidak ditemukan dari beberapa dongeng yang ditulis oleh Ratimaya.
Mengutip apa yang dikatakan Amanda Craig, seorang novelis, kritikus, dan jurnalis Inggris, dongeng yang baik adalah dongeng yang mengikuti aturan. Aturan yang dimaksud adalah menunjukkan bagaimana para pahlawan berjalan dari kegelapan menuju harapan, membawa perasaan bahwa hidup masih memiliki sesuatu yang bisa ditawarkan.
Selain itu, beberapa kisah masih amat didaksis. Siapa saja, barangkali termasuk orang dewasa, remaja, pun anak-anak, akan jemu ketika membaca cerita-cerita yang menggurui. Kemudian, perkara teknis kebahasaan nampaknya harus lebih diperhatikan.
Dengan sedikit kekurangan tersebut, saya masih sangat menikmati dongeng-dongeng yang disajikan Ratimaya. Ratimaya mengingatkan saya bahwa dongeng penting bagi banyak orang dan bagi banyak kepentingan. Menarik untuk dinanti buku-buku selanjutnya dalam seri Tilik Bawana: Tilik Banyu (air), Tilik Sagara (laut), dan Tilik Jenggala (hutan).
Terima kasih telah mengenalkan dongeng kepada saya, Ratimaya!
Infromasi Buku
Judul: Tilik Bantala Hawa
Penulis: Ratimaya
Penerbit: Lembaga Ladang Kata
Jumlah Halaman: 97 halaman
Cetakan: Kedua, November 2023
* Kawan-kawan dapat membaca reportase lain Tofan Aditya dan tulisan-tulisan lainnya tentang buku atau literasi