• Buku
  • Membicarakan Parijs Van Java dalam Novel Remy Sylado di Klub Buku Laswi

Membicarakan Parijs Van Java dalam Novel Remy Sylado di Klub Buku Laswi

Novel Parijs van Java karya Remy Sylado menyajikan sisi gelap Bandung era kolonial yang melibatkan para bangsawan, pengusaha perkebunan dan orang-orang pro kolonial.

Peserta diskusi buku Klub Buku Laswi Bandung. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah19 November 2023


BandungBergerak.id— Kota sebagai latar dan ruang dalam penulisan karya sastra seperti novel banyak ditulis oleh para sastrawan di antaranya oleh Remy Syaldo. Dikenal sebagai orang multitalenta, dia sastrawan, musisi, dan juga jurnalis. Salah satu novel yang menceritakan latar ruang dan waktu di Kota Bandung yang ditulis oleh Remy Syaldo berjudul Parijs Van Java : darah, keringat, airmata (2013) diterbitkan oleh Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.

Klub Buku Laswi pada Reboan ke-38 mengupas buku Parijs Van Java yang ditulis oleh Remy Syaldo di Toko Buku Bandung Jalan Garut no.2 Bandung, Rabu 15 November 2023. Buku ini dikupas oleh Ratimaya.

Novel Parijs Van Java ini menampilkan latar tempat Bandung pada era 1920-an di zaman Hindia-Belanda. Novel tak sekedar menjelaskan romantis belaka namun ketegangan, luka, derita, dan sedih ditampil dengan begitu lihai oleh Remy Syaldo yang juga seorang poliglot.

Lewat tokoh Gertruida van Veen ini Remy menampilkan dengan detail sisi gelap Kota Bandung di era kolonial Hindia Belanda yang melibatkan para bangsawan, pengusaha perkebunan, dan orang-orang pro kolonial.

"Di Novel Parijs Van Java ini Remy ingin menunjukan berbagai konflik dari berbagai sudut pandang, menariknya lagi, Remy Syaldo itu selalu menuliskan masalah yang rumit di dalam, basic dia seorang jurnalis juga, riset yang dia lakukan begitu mendalam," kata Ratimaya memantik diskusi.

Novel Parijs Van Java, kata Ratimaya, dengan latar waktu tahun 1920-an ini, menggambarkan dengan baik serta menarik. Remy juga menampilkan gedung-gedung dan nama-nama jalan di era Hindia-Belanda.

"Bandung 1920-an di mana bangun-bangun masih kental dengan bangunan Belanda,  ada juga orang Belanda totok atau Belanda yang indo," jelas Ratimaya.

"Setelah membaca Parijs Van Java, banyak sekali informasi yang tak mudah didapatkan di mana pun hanya ada di Remy Syaldo," tambahnya.

Ratimaya juga menuturkan bagaimana kelihaian Remy dalam mengemas cerita pada buku Parijs Van Java ini, gaya penuturan yang nyentrik, bahasa-bahasa daerah tak luput ia pakai dalam penulisan ceritanya.

"Jadi saat kita membaca novel-novel di kota Bandung. Gaya penuturan cenderung nyetrik, dia berani untuk memakainya walau pun pembaca itu sulit menerima dan akhirnya mencari-cari lagi," ujar Ratimaya.

Suasana diskusi buku di Klub Buku Laswi Bandung. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Suasana diskusi buku di Klub Buku Laswi Bandung. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Menelusuri Aman Pertama dalam Novel Langit Magenta dan Lagu SoulM
RESENSI BUKU: Bersimpuh di Ujung Perjalanan
RESENSI BUKU: “Ngejah” Surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk Snouck Hurgronje

Menceritakan Pengalaman Membaca Remy Syaldo.

Kekayaan bahasa dalam novel Parijs Van Java ini tak luput menjadi pembahasan, diskusi buku yang melingkar ini masing-masing mereka menceritakan pengalaman intim memahami dan mengenal Remy Syaldo. Di antaranya ada Indra (53 tahun) yang sengaja datang pada diskusi ini untuk membagikan pengalamannya mengenal karya-karya Remy Syaldo.

"Terus terang saya menemui buku ini, pada prinsip pengen banget beli. Pertama, cover-nya bagus, kedua Bandung tempo dulu banget, suasana yang asri, suasana zaman dulu, Yang akhirnya, memperkaya kita. Nah, seneng suasana Bandung tempo dulu, asri luas, jalan Cendana dan sebagainya kayaknya begitu," tutur Indra.

Menurut Indra membaca karya-karya Remy Syaldo termasuk novel ini tak bisa dengan sambil lalu saja, perlu konsentrasi dan fokus untuk memahami karya-karyanya.

"Membaca Remy Syaldo harus langsung tamat, karena dia sangat kaya sekali akan bahasa, budaya, jadi sangat kaya kita harusnya gak berhenti. Di dalam Parijs van Java ini dia (Remy) mempimpong kita, otak kita yang harus membayangkan, harus konsentrasi untuk menikmatinya," beber Indra.

Indra juga menyebut, saat membaca novel ini seolah tergambar dan terbawa pada Kota Bandung tempo itu. "Dia menguasai banget sejarah juga, kita yang mengetahui dikit bisa mengetahuinya dan tergambar terbawa ke jalan Bandung tempo itu, seperti Jalan Tamblong," sebutnya.

Pemilik LawangBuku Deni Rachman juga merespons latar tempat Kota Bandung yang tak hanya ditulis oleh Remy Syaldo, salah satunya ada Rasia Bandoeng ditulis oleh Chabanneau.

"Kalau setting-nya Bandung. Rasia Bandoeng buku kontroversi satu marga di kalangan Tionghoa kemudian dicetak ulang oleh Komunitas Aleut," jelasnya.

Selain itu, diksi-diksi yang kaya dalam karya Remy ini, Deni mengajak untuk mengalihwahanakan menjadi agenda walking tour berdasar setting tempat novel tersebut.

"Kalau dialihwahanakan ke walking tour sepertinya menarik," ucap Deni.

Sementara itu, Penggiat Literasi Barli menyebutkan di buku ini, Remy dengan kuat memotret zaman menantang dirinya untuk melebur pada ruang dan waktu novel Remy ini.

"Remy Syaldo punya warna, penggambaran atas latar dan waktunya amat kuat. Itu latar ruang dan waktunya itu kuat," jelasnya.

"Bahwa kita membaca buku ini, melihat potret zaman pada waktu itu. Dan, jujur saja membaca banyak sekali referensi. Menantang diri ruang dan waktunya serta karakternya," sambungnya.

Remy Syaldo dan Kota Bandung tak bisa terlepaskan, Seniman Pantomime Wanggi Hoed menjelaskan Remy selalu aktif nongkrong dengan berbagai kalangan

"Karena dia berada iklim di Bandung nongkrong di Tamblong nongkrong dengan berbagai kalangan. Nah, ini tidak didapat lagi dari penulis penyair dan penulis saat ini. Menjadi penanda saksi sejarah. Tulisan-tulisan sejarah mengenai itu," kata Wanggi.

Novel dan karya-karya selalu ditampilkan dengan cerdik dan indah. "Karya-karya Remy selalu membuat seger karena menampilkannya dengan cerdik, cantik, indah,"ungkap Wanggi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//