• Buku
  • BUKU BANDUNG #67: Kisah Penanam Emas Hijau di Priangan

BUKU BANDUNG #67: Kisah Penanam Emas Hijau di Priangan

Her Suganda dalam buku “Kisah Para Preanger Planters” membeberkan peran preanger planter dalam membuka usaha di Priangan, termasuk kontroversinya.

Buku Kisah Para Preanger Planters yang ditulis Her Suganda (Kompas). (Foto: Laila Nursaliha/penulis)

Penulis Laila Nursaliha6 Agustus 2023


BandungBergerak.idKetika mendengar nama Bosscha, kebanyakan orang mengenalnya melalui sebuah nama observatorium peneropongan bintang di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Mungkin sebagian orang mengira bahwa Bosscha memiliki sesuatu yang berkaitan dengan astronomi, pengamatan bintang, atau hal-hal yang berkaitan dengan benda-benda langit lainnya. Padahal ia merupakan pemilik perkebunan teh di Priangan yang mungkin sangat berjauhan dan berseberangan dengan bidang astronomi. Satu-satu kaitan — sekaligus salah satu sumbangsih — Karel Albert Rudolf Bosscha di dunia astronomi adalah observatorium itu.

Bukan hanya Bosscha. Ketika berbicara mengenai perkebunan teh di bumi priangan tentu kita tidak akan terlepas dari nama Kerkhoven dan KF. Holle, pendahulu Bosscha. Mereka masih memiliki hubungan kekerabatan. Hubungan mereka semakin terjalin dalam perjalanan dinas yang tercatat pada struktur pegawai Hindia Belanda.

Hotel Grand Preanger merupakan salah satu tempat yang digunakan para pengusaha teh (preanger planter) tersebut berkumpul sebelum kembali ke negeri asalnya, Belanda. Her Suganda menjelaskan istilah preanger planter sebagai sebutan untuk pengusaha perkebunan teh di kawasan Priangan. Sedangkan sebutan Suikerplanter merupakan pengusaha Hindia Belanda yang sukses dengan mendirikan pabrik gula di Jawa. Pada waktu itu, teh dan gula merupakan dua komoditas utama di Hindia Belanda.

Penjelasan tersebut tertuang dalam buku “Kisah Para Preanger Planters” yang ditulis Her Suganda (Kompas). Her Suganda menceritakan mengenai asal usul tanaman teh di Priangan. Mulai dari Andreas Cleyer, seorang kenamaan Jerman pada tahun 1648, tanaman teh dibawa hanya untuk tanaman hias. Namun, baru sekitar tahun 1864, pemerintah Belanda mengutus Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson untuk meneliti tentang teh ke negeri asalnya, China. Setelah proyek itu berhasil dan juga menimbulkan pertumpahan darah akibat pemberontakan kaum Tionghoa, Belanda menjadikan teh sebagai sebuah komoditas yang cukup menjanjikan. 

Kebijakan berubah. Akibat melesunya pasar kopi, pemerintah Hindia Belanda menerapkan Cultuurstelsel (tanam paksa) kepada warga. Sebelumnya, warga sekitar sudah menanam kopi dan kina. Sebab pemerintah tidak bisa mengelola dengan baik, maka dibukalah investasi untuk sektor swasta. Keberhasilan dan berkembangnya emas hijau ini menjadikan tanaman teh sebagai komoditas utama. Emas hijau adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tanaman teh. 

Preanger planter KF Holle kemudian menanam teh di kawasan dekat Gunung Cikuray. Usaha Holle ini mampu menaikkan daya hidup masyarakat sekitar. Secara tidak langsung teh menjadi sebuah penggerak perekonomian dan pendidikan warga sekitar. Dalam hal ini, teh digunakan sebagai medium. Ada beberapa hal lain yang mengikuti perkembangan perkebunan teh di Priangan. Sebagian pengusaha teh itu mencintai budaya Sunda sehingga mereka pun berusaha mengenal budaya Sunda.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #64: Cinta Anak Muda dalam Kehidupan Masyarakat Sunda melalui Cerita Detektif Ahmad Bakri
BUKU BANDUNG #65: Mengumpulkan Kenangan Masa Kecil
BUKU BANDUNG #66: Menilik Dinamika Pemilu 1999 di Bandung

Kontroversi Preanger Planter

Bukan hanya soal kesuksesan para penanam teh di tanah Priangan, Her Suganda menyoroti keberadaan nyai, selir, di antara tuan-tuan pemilik kebun. Salah satu tulisannya mengupas mengenai bagaimana nyai berada dalam lingkaran sekitar pengusaha tersebut. Hal ini dipandang sebagai usaha menaikkan taraf hidup.

Her mengulas kompleksitas keberadaan nyai-nyai ini, termasuk soal mengapa sebagian warga Bandung berparas cantik yang berkaitan dengan anak-anak keturunan dari nyai tersebut. Keturunan nyai-nyai ini dalam istilah Her Suganda mengalami pareumeun obor, di mana anak tidak mengenal saudaranya yang lain bahkan keturunannya sendiri. Ditambah sistem pengakuan keturunan di Sunda yang tidak memakai nama marga atau keluarga. Tak sedikit yang akhirnya tidak diakui sebagai anak atau akhirnya mereka berpisah ikut ke negara asal ayahnya.

Preanger Planters dikenal dengan beragam kontroversinya. Mereka merupakan kapitalis pada masanya sekaligus membangkitkan berbagai sektor di masyarakat, salah satunya keinginan untuk menanam teh dan belajar untuk mengelola hal yang baru. Seperti sebutan teh rakyat, para pengusaha ini membagikan bibit teh yang terkesan memaksa di zaman tersebut. Teh rakyat menjadi milik rakyat karena memang ditanam oleh rakyat.

Buku “Kisah Para Preanger Planters” yang ditulis Her Suganda terdiri atas sembilan kisah yang berhubungan dengan preanger planter. Bukan hanya urusan perkebunan teh, buku ini menyuguhkan konteks yang lebih kaya yaitu sosial dan politik. Dibuka dengan pengantar bagaimana awal mula tanaman teh menjadi komoditas utama di Hindia Belanda dan cikal bakalnya, kemudian masing-masing kisah mengenai preanger planters, hingga penelusuran tokoh per tokoh. 

Buku ini mengandung beberapa istilah dalam bahasa Sunda. Meskipun begitu, Her Suganda menjelaskannya dengan jelas sehingga bisa dimengerti oleh pembaca. Sebagai buku produk dari jurnalis terkemuka yang tak perlu diragukan keahlian merangkai data dan cerita, buku ini perlu dibaca. Buku ini tak kurang menghadirkan cerita-cerita dari sisi lain, perlu dibaca oleh warga Priangan dan penikmat teh. 

Sebagai seorang jurnalis, Her Suganda menuliskan setiap detail dari berbagai sudut pandang dengan begitu apik. Buku ini juga bisa dijadikan contoh tulisan yang baik dan menjadi salah satu sumber yang cukup mudah dipahami mengenai sejarah datangnya teh dan lika-liku dari penanam emas hijau di bumi Parahyangan. Selamat membaca!

Informasi Buku

Judul Buku: Kisah Para Preanger Planters

Penulis: Her Suganda

Penerbit: Kompas

Tebal: 180 + xii hlm. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//