Mungkinkah Bahasa Sunda Punah?
Hasil sensus dari tahun 2010 ke 2020 menunjukkan penutur bahasa Sunda mengalami penurunan sebanyak 2 juta. Setiap tahun berkurang 200 ribu penutur.
Rifkia Ali
Alumnus Sastra Sunda Universitas Padjadjaran dan Co Founder Bandoeng Waktoe Itoe.
14 April 2024
BandungBergerak.id – Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang bersifat arbitrer. Artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu Untuk menjelaskannya dapat dengan cara memberikan nama sekaligus contoh bendanya setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep.
Maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pertama, bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam arus bunyi itu sendiri. Bunyi itu merupakan getaran yang merangsang alat pendengaran kita.
Pemakaian bahasa dalam komunikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu Apa yang ingin disampaikan dan suasana hati penutur. Bahasa adalah media komunikasi untuk menyampaikan informasi. Namun berkaitan pula dengan perasaan manusia sebagai penuturnya (Pateda 1987:18).
Baca Juga: Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda
Pergeseran Nama Orang Sunda, dari yang Unik hingga Modis
Trias Politika dalam Naskah Kuno Sunda
Berkurangnya Penutur Bahasa Sunda
Lantas bagaimana dengan bahasa daerah? Menurut KBBI bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam suatu kelompok masyarakat tertentu di suatu daerah. Melansir dari data Badan Bahasa Kemendikbudristek di Indonesia terdapat 718 bahasa daerah. Menjadi terbanyak setelah Papua Nugini. Tak terkecuali masyarakat yang mayoritas mendiami pulau Jawa bagian barat, pun memiliki bahasa daerah sendiri, yaitu bahasa Sunda.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada hasil Sensus Penduduk 2020, terdapat sebanyak 27.020.698 orang yang menuturkan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Jumlah tersebut berarti 15,50% dari total penduduk Indonesia, hal ini menunjukkan bahasa Sunda, sebagai bahasa ibu kedua yang paling banyak penuturnya setelah bahasa Jawa.
Nyatanya, data ini merupakan suatu penurunan yang cukup drastis. Mengacu pada hasil sensus dari tahun 2010 ke 2020 jumlah ini mengalami penurunan sebanyak dua juta. Tentu bukan jumlah yang sedikit. Artinya setiap tahun berkurang 200 ribu penutur. Tentu bukan hal yang patut dianggap remeh. Karena bahasa daerah merupakan kekayaan dan cerminan budaya bangsa Indonesia!
Lantas Mungkinkah bahasa Sunda punah? Jika melihat data di atas dan ini dibiarkan begitu saja, artinya bahasa Sunda diambang kepunahan dan bukan tidak mungkin bertahun-tahun berikutnya akan punah. “Hilang bahasanya, hilang pula budayanya," kata-kata yang sering dianggap angin lalu, dan peringatan hari bahasa ibu sering kali hanya dijadikan peringatan seremoni semata, tanpa tindak lanjut nyata. Bahasa dan sastra sebagai bagian dari unsur kebudayaan memiliki peran penting bagi eksistensi suatu suku bangsa.
Sastra merupakan kesenian yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Dalam hal ini sastra dapat dijadikan alat pengenal bahasa daerah kepada generasi berikutnya. sastra Sunda untuk anak cenderung tertinggal. Di saat sudah bermunculan di barat sana buku cerita anak bergambar untuk menarik minat baca anak. Bagaimana dengan sastra Sunda? Rasanya masih menjadi tantangan bersama.
Muatan lokal bahasa Sunda di setiap sekolah yang terletak di Jawa Barat memang masih ada. Bahasa Sunda masih diajarkan kepada setiap murid. Ini menjadi salah satu daya upaya untuk melestarikan bahasa daerah. Waktu mata pelajaran yang terbatas, membuat guru pun tidak leluasa dalam mengajarkan bahasa Sunda di Sekolah.
Program pemerintah "Rabu Nyunda" pun patut dipertanyakan. Apa indikator keberhasilannya? Jika melihat dari data pengguna bahasa Sunda yang kian menurun. Apa hanya sekedar memakai baju adat dan bicara bahasa Sunda dalam seminggu sekali?
Mempertahankan Eksitensi Bahasa Sunda
Lingkungan pun mempunyai peranan penting, baik di rumah maupun pergaulan. Masih ada saja yang merasa malu atau merasa canggung menggunakan bahasa daerahnya. Hal ini terjadi karena lingkungannya pun menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris dalam keseharian mereka. Bahkan di era industri yang semakin maju, bahasa Tiongkok pun sekarang menjadi satu keahlian yang mempunyai nilai berharga saat ini.
Di era modern seperti saat ini. kita sering kali melihat anak fasih berbahasa Inggris, namun tidak dengan bahasa daerah atau dalam konteks ini bahasa Sunda. Acap kali orang tua merasa takut salah ketika mengajarkan anaknya bahasa Sunda. Hal ini dikarenakan dalam bahasa Sunda mengenal undak-usuk bahasa. Sejarahnya undak- usuk bahasa muncul disebabkan pengaruh Kerajaan Mataram.
Belum lagi pengaruh globalisasi, yang percepatannya dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi semakin pesat. Kemajuan jaman tak bisa dihindari, namun manusia harus mampu beradaptasi. Bahasa yang sejatinya terus berkembang, membuat kita lebih mudah mengenal bahasa gaul ketimbang bahasa daerah.
Media sosial dapat dijadikan alat untuk memperluas dalam mengenalkan bahasa daerah melalui konten yang menarik dan kreatif. Upaya ini dapat menjadi alternatif, bukan hanya dalam negeri, namun dengan kekuatan media sosial bisa membuat bahasa daerah lebih mendunia.
Kepunahan bahasa Sunda ini menjadi bayang-bayang yang cukup menakutkan. Tentu sebagai masyarakat Sunda kita tidak mau bahasa Sunda punah begitu saja. Selain pemerintah perlu juga ditumbuhkan kesadaran individu untuk menggunakan bahasa Sunda tanpa rasa malu dan merasa ketinggalan jaman.
Para akademisi pun harus turut ambil bagian, dalam upaya menggaungkan penggunaan bahasa daerah. Mahasiswa, dosen mereka yang mempelajari Kesundaan, memiliki tanggung jawab moral lebih untuk memperhatikan dan melestarikan budaya Sunda.
Semoga kepunahan bahasa Sunda tidak akan pernah terjadi. Eksistensi yang perlu terus dijaga, oleh seluruh lapisan masyarakat. Baik secara vertikal maupun horizontal. Pentingnya sinergi ini dan kesadaran harus terus dipupuk untuk menjaga warisan budaya, yang sesuai dengan kearifan lokal dan cara pemilik budaya itu sendiri.