Kala Fleksibilitas Kerja dan Upah Murah Menopang Industri Clothing Kota Bandung
Praktik pengaturan kerja secara fleksibel dan upah murah menopang industri fesyen di Kota Bandung. Menjadikan posisi pekerja menjadi rentan.
Azis
Pegiat Pembebasan Bandung
17 April 2024
BandungBergerak.id – Kota Bandung sedang hangat dibincangkan keromantisannya. Dengan gaya ala-ala “kalcer”, duduk dengan kaki disilang sambil merokok dan ngopi, ditambah sedikit gubahan kata-kata mutiara, maka jadilah Bandung yang estetis dan romantis.
Kenapa Bandung?
Bandung dipuja sejak dahulu kala. Di mana pada era kolonial Belanda, banyak warga Eropa yang memilih pindah dan menetap di Bandung. Alasannya sederhana, cuaca yang sejuk dan alam yang asri.
Bahkan hingga saat ini, saat alam dan cuaca sudah tak sebaik dahulu, Bandung masih dianggap sebagai kota indah yang menjadi tujuan utama untuk disinggahi.
Dewasa ini, selain cuacanya yang sejuk, Bandung juga digandrungi karena industri fashion yang barangkali jadi kiblat fashion kawula muda. Merek-merek lokal di Kota Bandung berhasil menarik perhatian. Teringat kala toko-toko baju anak muda disentralkan di Mall Parahyangan samping Masjid Agung, tak kalah ramainya seperti di Jl. Trunojoyo sekarang.
Setidaknya menurut BPS (Badan Pusat Statistika), industri pakaian menempati posisi teratas industri dengan jumlah 503 unit usaha pada tahun 2020. Sektor fesyen juga turut menyumbangkan PDB terbesar pada tahun 2020 yakni sebesar 41% dibandingkan sektor lainnya. Hal ini membuktikan bahwa sektor fesyen memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap perekonomian Kota Bandung. Tentu hal demikian juga dibuktikan secara eksisting dengan banyaknya distro/clothing di setiap sudut Kota Bandung.
Eksisnya industri ini membuat Kota Bandung konsisten menjadi pilihan untuk disinggahi di akhir pekan bahkan untuk berburu “baju bedug” –baju baru yang dipakai saat perayaan Idulfitri.
Namun, dibalik keindahan Kota Bandung serta melimpahnya toko baju beken, ternyata kota ini ditopang oleh fleksibilitas kerja dan upah murah para pekerjanya. Siapa sangka, toko-toko baju yang ramai dikunjungi kawula muda menjelang Idulfitri, ternyata dilayani oleh buruh-buruh yang upahnya rendah bahkan diantaranya tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR).
Baca Juga: UMK 2024 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat Jauh dari Harapan Buruh
Upah Buruh-buruh Kafe di Bandung Sepahit Biji Kopi
Ratusan Buruh Garmen Cimahi Menuntut Perusahaan Membayar Gaji dan THR
Fleksibilitas Kerja dan Upah Murah
Seperti yang dialami oleh salah satu pekerja clothing di Bandung, Rendy (bukan nama sebenarnya) tidak mendapatkan THR layaknya pekerja lain saat menjelang Idulfitri. Sebagai gantinya, Rendy justru diberi sebuah celana jeans yang merupakan salah satu produk dari tokonya. Padahal, menjelang Idulfitri, toko tempat Rendy bekerja disesaki oleh calon pembeli, hingga mereka harus antre untuk dapat masuk ke dalam toko.
Rendy juga menuturkan bahwa upahnya hanya sebesar 2 juta Rupiah per bulan dengan jam kerja 10 jam per hari, itu pun jika tidak ada potongan. Potongan gaji biasanya terjadi jika telat masuk, per menitnya dikenakan potongan 500 perak.
“Sebetulnya potongan upah juga bisa terjadi kalau ada barang yang hilang, tapi alhamdulillah saya belum pernah mengalami,” tutur Rendy saat diwawancara.
Rendy awalnya diiming-imingi upah yang layak, yang sesuai dengan beban kerja. Iming-iming ini ironisnya tidak dibarengi dengan kontrak kerja yang jelas. Sejak awal Rendy tidak pernah disodori kontrak kerja. Semua perjanjian kerja hanya ia dapatkan secara lisan. Meski demikian, Rendy tetap melihat itu sebagai peluang, mengingat dirinya baru saja keluar kerja dari tempat sebelumnya dan membutuhkan biaya untuk studinya.
Berbeda dengan nasib Rendy yang merayakan Idulfitri tanpa THR, Anwar (bukan nama sebenarnya) justru sedikit beruntung, sebab ia dan teman-temannya masih mendapatkan THR sebesar upah satu bulan penuh. Anwar bekerja di brand yang cukup tersohor di Bandung sejak tahun 2022 sebagai shopkeeper. Tugasnya melayani pembeli di toko, tapi tidak menutup kemungkinan mengerjakan pekerjaan divisi lain bila dibutuhkan.
Selama dua tahun lebih Anwar bekerja, dirinya belum pernah disodori kontrak tertulis oleh owner. Sama halnya seperti Rendy, Anwar membicarakan upah, jam kerja, dan mekanisme kerja lainnya hanya secara lisan.
Dirinya menyadari bahwa tanpa kontrak, posisinya rentan terancam. “Ya, saya sadar kalau tidak ada kontrak itu rentan. Kita gak tau ke depannya seperti apa, bisa saja tiba-tiba di-PHK. Tapi, saya tetap positive thinking aja, sepertinya hal itu tidak akan terjadi,” tutur pekerja 22 tahun tersebut.
Di balik ancaman posisi kerja tanpa kontrak, Anwar merasakan dampak positif. Ia dan teman sesama pekerja merasa lebih fleksibel karena bisa mengerjakan pekerjaan lain di luar tempat kerja. Di samping Anwar juga menyadari bahwa ia tidak bisa menggantungkan masa depan di tempatnya bekerja. Sebab, apabila kelak berkeluarga, tentu upahnya saat ini tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Upah yang selama ini ia dapatkan hanya sebesar Rp 60 ribu per tujuh jam. Bila ia bekerja 12 jam sehari, maka ia mendapat upah Rp 120 ribu.
Posisi Pekerja yang Rentan
Kondisi yang dialami Rendy dan Anwar umum terjadi di industri sektor fesyen, terutama yang skalanya mikro atau kecil. Secara aturan, melalui ketentuan berdasarkan Pasal 81 angka 31 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 90B ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: Ketentuan upah minimum (Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Meskipun demikian, usaha mikro/kecil tidak bisa absen dalam memenuhi hak normatif para buruhnya. Jam kerja panjang dengan upah yang rendah tetap harus dibuat dalam bentuk kontrak kerja.
Apa yang dialami oleh Rendy dan Anwar merupakan fenomena fleksibilitas kerja yang marak terjadi di sektor informal. Pengaturan kerja secara fleksibel atau flexible work practices (FWP) merupakan praktik yang lazim ditemui dalam ekosistem kerja industri kreatif (Leslie, dkk, Pekerja Undustri Kreatif Indonesia: Flexploitation, Kerentanan dan Sulitnya Berserikat, 2021). Dalam hal ini, meliputi juga informalitas dan kerentanan para pekerja di dalamnya.
Tidak adanya kepastian kerja tanpa kontrak membuat pekerja kehilangan bargain di hadapan pemilik perusahaan. Para pekerja akan kesulitan menuntut hak normatifnya, bahkan rentan di-PHK.
Baik Rendy maupun Anwar, keduanya tidak memiliki pilihan selain bekerja di industri ini. Kesulitan mencari kerja dan desakan kebutuhan ekonomi membuat keduanya terpaksa bekerja dengan upah rendah dengan kondisi yang penuh kerentanan.
Seperti yang diutarakan Dombols dalam Pekerja Undustri Kreatif Indonesia: Flexploitation, Kerentanan dan Sulitnya Berserikat (2021) bahwa mereka dihadapkan pada pilihan yang serba tidak enak: menganggur atau bekerja dengan upah rendah, dapat digantikan sewaktu-waktu, dan bekerja dalam status kerja temporer selamanya.
Nasib Rendy dan Anwar merupakan cerminan nasib para buruh clothing/distro. Terlepas dari kategori industri mikro/kecil dan dikecualikan untuk memberikan upah dengan standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), rasanya kondisi kerja di industri ini perlu menjadi perhatian di balik menjamurnya distro-distro di Bandung.
Sungguh ironi, bekerja di pekan Idulfitri tanpa ada kepastian THR. Padahal, sudah jadi rahasia umum bahwa toko baju tempat Rendy dan Anwar bekerja sering kali menjadi tujuan masyarakat untuk membelanjakan uang THR mereka menjelang Hari Raya Idulfitri.