• Kolom
  • RUANG RENUNG #32: Selamat Tinggal Mona Lisa, dari Nakal ke Menggelegar

RUANG RENUNG #32: Selamat Tinggal Mona Lisa, dari Nakal ke Menggelegar

Braga adalah titik tolak transformatif sebuah lokus geliat kultural yang sekarang sedang mengalami komersialisasi sampai ke tahapan overdosis.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Penjual lukisan di Jalan Braga, Bandung, Kamis (11/27/2021). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

22 April 2024


BandungBergerak.id – Jalan Braga Bandung sekarang seperti sop buah: semua tercacah di pinggir jalan tanpa ada kesatuan yang mengikat. Potongan-potongan kultural dari berbagai rasa tumpah di sisi kiri dan kanan jalanan padat yang dipenuhi asap knalpot. Dengan sejarah yang simpang siur khas ketidakpedulian warga jajahan terhadap jejak historisnya sendiri, berbagai foto dokumentasi dari jaman kolonial menunjukkan momen-momen cantik nan elite. Dengan panjang hampir satu kilometer dan lebar jalan lebih dari tujuh meter, Braga memiliki posisi yang unik dalam seni rupa di Bandung: sebagai patokan “batas bawah”. Setiap perupa yang berbasis di kota ini mesti bekerja lebih keras agar kanvasnya bebas dari “Braga-isme”, bila mereka tidak mau bernasib sama dengan lukisan-lukisan yang hanya memandang lalu-lalang kendaraan.

Tulisan ini dibuat untuk mengawali sebuah periode renungan tentang transisi dunia rupa ke sebuah ranah yang mungkin masih terasa asing bagi sebagian, dan nyaman bagi yang lain. Transisi ini tergolong paradigmatik, karena ada berbagai persoalan mendasar abad ini yang tidak dapat kita hindari. Titik tolak transformatif ini adalah Braga, sebuah lokus geliat kultural yang sekarang sedang mengalami komersialisasi sampai ke tahapan overdosis.

Braga di era 1990-an dan 2000-an adalah sebuah jalan yang “biasa-biasa saja” dan sama sekali tidak penting. Perlahan tapi pasti berbagai perhelatan budaya menyapa titik awal di jalan Asia Afrika hingga 850 meter setelahnya ke arah rel kereta api Wastu Kencana. Setelah beberapa hotel bertingkat merengkuh pinggang jalan bersejarah ini, semut-semut peruntungan datang mencari apa pun yang manis yang tersaji di sini.

Baca Juga: RUANG RENUNG #29: Riak-riak Mungil Penganan Selestial
RUANG RENUNG #30: Memikirkan Ulang Fondasi Definitif Filosofis dari Fotografi
RUANG RENUNG #31: Menjejak Garis Awal untuk Mulai Berlari

Renesans dan Abad para Jenius

Braga adalah simbol sisa sebuah era ratusan tahun yang dimulai dari jaman Mona Lisa, yang dibuat di awal abad ke-16, oleh seorang maestro yang juga “Renaissance Man” – manusia serba bisa – seorang polymath bernama Leonardo da Vinci. Tipikal jenius semacam ini mengerjakan apa pun, dari membangun gedung dan rumah hingga mempersiapkan lukisan untuk digantung di ruang makannya. Tidak ada tabu untuk lintas bidang; di jaman ini mungkin setara dengan seorang profesor astrofisika yang jago membuat nasi liwet khas koki bintang 5, tetapi sekaligus juara bulu tangkis dan menulis buku novel romantik bestseller dalam enam bahasa. Di jaman ini jenius adalah bentuk kehadiran kuasa dalam bentuk riil –sebuah embrio jelmaan Übermensch tertib dalam bahasa proto-Nietzschean. Setelah sekian lama gereja menempuh pendekatan transendental, kini saatnya menghadirkan yang imanen. Semua bentuk kemeriahan harus tampil dalam bentuk yang sangat manusiawi –yang memuncak dalam meriahnya ornamen Barok.

Da Vinci hidup di masa Renesans Tinggi (High Renaissance), yang menandai awal percumbuan intelektual manusia dengan sains dan teknologi. Di masa ini kata “saya” kembali ke manusia, dan ilmu pengetahuan akhirnya menemukan muruahnya. Masa ini adalah era penuh risiko, yang disesaki dengan pretelan tanpa henti terhadap absolutisme gereja yang pernah memuncak dalam praktik inkuisisi –membakar siapa pun yang dianggap membangkang. Galileo Galilei adalah anak jaman ini, dan saat ia menerbitkan buku monografinya Discorsi e dimostrazioni matematiche intorno a due nuove scienze attenenti alla meccanica yang mengangkat Kopernikanisme, Galileo menelan pil yang sama-sama pahit meski tidak berakhir di kayu bakar. Singkat cerita, Renesans ditutup dengan kemenangan rasio, yang kemudian menjadi kemutlakan saintifik di masa pencerahan (Aufklärung).

Renesans pula yang menjadi huruf kapital dari Gold, Gospel, dan Glory yang menjadi cikal bakal atlas abad ke-20. Di masa ini pula Perjanjian Westphalia menjelmakan embrio negara modern yang memangkas semua ranting monarki hingga ke pucuk pohon institusi sosial terjauh sekalipun –sedemikian hingga kata monarki menjadi asing. Di abad ini pula manusia mulai bergairah secara intelektual, setidaknya di dunia Barat, setelah sebelumnya pembonsaian pengetahuan dilakukan atas nama kekuasaan. Namun ada satu cerita yang mungkin terlupakan dari era Renesans, setiap kali Dr. Henry Jekyll muncul, selalu ada Mr. Edward Hyde yang ikut menguntit dari belakang. Setiap kali Bruce Banner muncul, bayang-bayang The Hulk tidak bisa dipisahkan, seperti yang dikisahkan dalam mitos-mitos modern.

Renesans menarik Platonisme hingga ke puncak, dengan boneka yang tampil di publik muncul dalam wujud René Descartes. Abad-abad selanjutnya adalah pesta para jenius, yang memuncak pada Albert Einstein sebagai ikon serebral (otak) yang sinonim dengan persamaan E=MC2 yang sangat populer tanpa mungkin ada seorang pun yang paham artinya. Keberadaan sang jenius adalah bukti supremasi manusia karena ia adalah perantara dari kekuasaan. Modernitas adalah masa para jenius, dan bahkan posmodernisme yang digadang-gadang sebagai antitesis ultimnya adalah sebuah bentuk olok-olok dengan kecemburuan akut – “benci-benci tapi rindu” – terhadap tebalnya suprastruktur pengetahuan, yang bahkan gagal digores oleh sosialisme dengan segala varian dan derivatnya.

Platonisme adalah The Hulk –Mr Hyde– yang kuat dan tangguh; manusia super dengan segala privilesenya. Semua jenius pada dasarnya hidup di belakang bayang-bayang Mr Hyde atau otot baja The Hulk, dan harga yang kita bayar untuk kenikmatan saintifik dan teknologis adalah berbagai ekses yang memuncak hingga ke bom atom dan berbagai konflik yang tidak pernah mengenal kata selesai dan selalu direndam dalam darah. Di balik E=MC2 ada sebuah surat yang dikirimkan Einstein ke Presiden Roosevelt yang melicinkan jalan Project Manhattan yang mencuatkan tokoh ambigu Oppenheimer. Selain wujud makro semacam itu, ada wujud mikro Platonisme: kepercayaan akan ikon tertentu –simbol– yang bisa mengatasi apa pun. Elitisme komersial adalah perdagangan simbol-simbol semacam itu, yang mengandalkan satu titik “sakti” yang bisa menyelesaikan apa pun.

Seorang perempuan melintas di antara lukisan Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, 5 Desember 2022. Perempuan banyak menghadapi tuntutan di dunia yang didominasi kuasa laki-laki. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Seorang perempuan melintas di antara lukisan Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, 5 Desember 2022. Perempuan banyak menghadapi tuntutan di dunia yang didominasi kuasa laki-laki. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)


         

Ampas-ampas Braga Bekas

Di fase akhirnya, elistisme simbolik yang bersifat Platonik akan menghasilkan konsentrasi gula-gula peradaban yang menjelma menjadi ikon-ikon yang bersifat privat yang berfungsi sebagai tambang nilai. Kekuasaan muncul karena ada penguasaan tambang nilai semacam ini yang menghasilkan ketimpangan yang berakibat pada sumber daya. Di jalan Braga pernah ada Societeit Concordia, “klab malam” di masa kolonial tempat para majikan melepas lelah setelah menjalankan pengawasan perkebunannya. Dengan uang gulden yang melimpah, Braga menjadi sepiring penuh gula-gula yang menarik siapa saja yang hendak berburu yang manis-manis.

Braga adalah sisa kejayaan kolonial – ampas bekas dari sebuah era yang dimulai dengan merkantilisme VOC, yang kemudian berlanjut dengan perusahaan multinasional. Saat tuan tanah terpaksa pergi oleh Perang Dunia Kedua, Indonesia menjadi tidak bertuan. Pola pikir elitis-kolonial masih mengeram dan menetas di kepala menjadi sisa-sisa sejarah pasca-kolonial. Kajian pasca-kolonial manapun menyimpan sisi Mr Hyde: bahwa ada “sang tuan” yang sudah pergi dari tanah ini meninggalkan kita semua. Meski diperas dan dihisap sampai kering belulang, kolonialisme Belanda adalah narkotika yang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan harian kita. Braga adalah salah satu bekas cekikan halus yang dilakukan dengan sarung tangan sutra.

Kenangan itulah yang menghidupi jalan di jantung kota Bandung ini, tidak terkecuali lukisan-lukisannya. Lukisan Braga adalah stensilan ala juragan yang mencoba menghadirkan kembali potret buram ingatan masokis kolonialisme, sebuah kenangan skizofrenik atas ketergantungan akut akan kekangan tali di leher. Lukisan dari Braga tidak ubahnya pelengkap dari sajian trivial yang menyerak di kiri dan kanan jalan; gelagat yang terus menyalak dalam suara parau bahwa sang tuan Belanda suatu saat akan kembali. Itu mengapa berjalan di Braga tidak pernah memberi kenyamanan, karena ada kerinduan infantil tentang trauma rudapaksa sang ayah kolonial yang mengintai di fasad gedung-gedung yang memasrahi jalan ini.

Jangan Nakal, Menggelegar!

Ada dua reaksi yang mungkin muncul saat ada sang ayah yang berkuasa: nakal dan nakal. Nakal yang pertama adalah lemparan batu ke jendela tetangga, naik motor bertiga tanpa helm dengan kenakan seragam SMP, atau merokok di ruangan sambil mengepulkan asap dengan sengaja ke arah wajah lawan bicara. Nakal yang kedua adalah yang membuat kita mengangkat topi dan sulit untuk tidak bertepuk tangan. Posmodernisme adalah yang pertama, dan sedikit yang kedua. Reaksi terhadap jenius sebagai agensi Platonisme juga sama: nakal dan nakal.

Seni sebagai kenakalan bisa seperti ranjang Robert Rauschenberg, atau altar Mark Rothko. Yang pertama adalah segala upaya kejahilan, yang kedua adalah sebuah kehebohan. Namun demikian, garis Platonisme masih mengeras di sana. Yang menjadi penting adalah seniman dan seniman. Yang ditunggu adalah seniman. Yang menentukan adalah seniman. Yang seniman adalah seniman. Pengamat ada di luar pagar sambil berharap bisa melambai ke seniman. Kenakalan ternyata gagal menjadi sarana emansipasi. Yang dipindahkan hanya tempat pemujaan dari monarki ke individu kultik. Bila upayanya sederhana, maka karyanya adalah kenakalan. Bila upayanya habis-habisan, maka karyanya adalah kenakalan.

Gelegar monumental, adalah kebalikannya, dan mungkin kita bisa mulai dari Wagner sang komposer. Ride of the Valkyries adalah sebuah reaksi untuk menggelegar yang tidak bisa disaingi oleh dentuman meriam sekalipun. Dan sederhananya, Wagner mungkin mengukur rentang nadanya dari bau mesiu laras sebuah meriam. Gelegar dari Ride of the Valkyries membunuh Wagner. Sensasi aesthesis melumat rasio, tanpa sedikit pun meninggalkannya. Anselm Kiefer bisa menghadirkan buku yang seakan hendak terbang ke langit, dan Kiefer menjadi tidak penting di antara kepakan sayapnya. Gelegar adalah monumental.

Monumentalisme adalah kecenderungan untuk tidak meninggalkan sofistikasi, tapi dengan pasti membunuh adorasi kultik. Kenakalan “bandel” cenderung menyerang sofistikasi, dan menyanderanya dengan rasio kosmetik yang tidak lain adalah sebuah upaya solipsistik yang mengangkat dagu setinggi langit dan mata membentur langit-langit. Kenakalan “heboh” adalah kehadiran jenius yang terlalu segan untuk rendah hati dan masuk dalam gumpalan gelembung elitis yang dibumbui dalih, sekali lagi, rasio kosmetik. Gelegar adalah lawan dari kenakalan, dan menggelegar tidak harus pakai pelantang besar.

Dalam satu suapan sebuah sajian bisa menggelegar di lidah dan menundukkan citarasa palatal. Gelegar semacam ini bisa menyatu dengan diam, dan menundukkan semua upaya kultik untuk mengusung bendera narsistik. Gelegar satu sendok kecil dan satu kanvas besar adalah gelegar kematian sang penyaji sensasi yang tidak lagi perlu menggunakan bius hormonal untuk membuat otak mati rasa. Yang monumental, kata Henri Levebfre, adalah relasi vertikal deras yang menghunjam ego picisan dan menarik diri ke ego semesta. Gelegar monumental adalah sebuah undangan untuk menantang diri dalam sofistikasi yang masih bisa merayu cerapan-cerapan tangkas panca indra biasa untuk masuk hanyut dalam ketakbernamaan.

Era nakal sudah tidak relevan, karena nakal sudah biasa. Biasa karena kadang nakal hanya sekadar kejahilan bisa terlalu biasa sehingga dengan sedikit tertawa tidak ada lagi yang bisa dibawa pulang. Era nakal juga sudah biasa, karena kadang nakal hanya sekadar kehebohan yang terlalu malas dalam diam dan dengan angkuhnya memilih untuk malas bersuara. Menjadi monumental dan menggelegar tidak mudah, karena penat Platonisme harus mulai digantung di rumah untuk kenang-kenangan. Menjadi monumental sekaligus menggelegar juga tidak mudah, karena saya menjadi tidak lebih penting dari diam. Mona Lisa bisa tersenyum nakal, entah siapa atau apa pun dia. Sang Mona Lisa tanpa sengaja memicu abad-abad kenakalan para jenius. Sekarang kenakalan itu sudah melaksanakan tugasnya, dan gelegar bisa terbang menjelang abad manusia tanpa batas. Selamat tinggal Mona Lisa.    

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//