• Opini
  • Hal Ikhwal Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung

Hal Ikhwal Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung

Sudah waktunya Kota Bandung menerapkan visi pengelolaan cagar budaya untuk masyarakat. Agar masyarakat menjadi lebih aktif terlibat dalam pengelolaan cagar budaya.

Garbi Cipta Perdana

Interpreter Kebudayaan Materiil (Bersertifikat) di Niskala Institute

Kondisi Gedung Swarha, salah satu bangunan cagar budaya di Jalan Asia-Afrika, tak jauh dari Alun-alun Kota Bandung, pertengahan April 2021 lalu. Gedung bersejarah ini sudah bertahun-tahun dibiarkan kosong. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

22 April 2024


BandungBergerak.id – Draf tulisan ini sudah selesai sejak bulan September 2023, namun tidak kunjung jadi karena saya merasa tulisannya seperti siaran pers ala Depatermen Penerangan ketimbang opini. Adalah Frans Ari Prasetyo dengan tulisan berjudul Hancurnya Sejarah Bandung yang terbit tanggal 19 Maret 2024 di Harian Pikiran Rakyat yang membuat saya ingin melanjutkan penulisan tentang tema Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung. Dalam tulisannya, Frans menguliti kegagalan demi kegagalan Kota Bandung dalam menjaga bangunan-bangunan yang dianggap sebagai Cagar Budaya. Parakan Frans tersebut sejalan dengan draf saya yang sudah lama mengendap di penyimpanan komputer, namun bedanya saya mencoba lebih menggali akar masalah dan sebab persoalan Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (17): Perusakan Bangunan Cagar Budaya dalam Catatan Haryoto Kunto
Jatuh Bangun Pusparita Tedjasari Merawat Bangunan Cagar Budaya dengan Hasil Berjualan Kue
Publik Berhak Tahu Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Gereja Katolik Bebas St Albanus

Sejarah Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung

Dalam buku saku pameran Segar Bugar (The Story of Conservation in Jakarta 1920’s-present) yang dibuat oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur disebutkan bahwa inisiasi warga dalam usaha Pelestarian Cagar Budaya sudah dimulai sejak tahun 1987 dengan adanya pendirian lembaga Paguyuban Pelestari Budaya Bandung. Namun, komitmen pemerintah dalam Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung setidaknya baru dimulai sejak tahun 2009. Hal tersebut dibuktikan dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya.

Penetapan Perda No. 19 Tahun 2009 dimaksudkan untuk menjaga kelestarian kawasan dan bangunan yang memiliki karakter dalam memberikan identitas kota. Upaya menjaga kelestarian yang dimaksud adalah menjaga keaslian bangunan, mempertahankan nilai-nilai sejarah untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya arti sejarah, terutama sejarah kota Bandung bagi kehidupan masyarakat.

Perda No. 19 Tahun 2009 berakar dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (UUBCB) yang telah mengamanatkan bahwa bangunan-bangunan yang telah berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun perlu mendapat perhatian khusus. Perhatian khusus tersebut dilakukan agar pengembangan kota tidak memberikan dampak negatif terhadap keberadaan kawasan maupun bangunan-bangunan yang memiliki nilai khusus.

Salah satu keunikan dari Perda No. 19 Tahun 2009 adalah dengan adanya penggolongan bangunan Cagar Budaya dan termuatnya Lampiran Daftar Kawasan Dan Bangunan Cagar Budaya Di Kota Bandung yang memuat 99 bangunan yang terbagi ke dalam 6 kawasan. Jika ditelusuri sebetulnya konsep penggolongan Cagar Budaya tersebut setidaknya mengikuti Perda Dki Jakarta No. 9 Tahun 1999 Tentang Pelestarian Dan Pemanfaatan Lingkungan Dan Bangunan Cagar Budaya. Namun termuatnya lampiran dalam Perda yang memuat daftar Kawasan dan bangunan merupakan suatu hal baru yang belum pernah terjadi sebelumnya di mana pun.

Perubahan Paradigma Pelestarian

Tanggal 24 November 2010 menjadi hari yang bersejarah bagi upaya Pelestarian Cagar Budaya di Indonesia. Pada hari itu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UUCB) telah ditetapkan dan menggantikan UU 19 Tahun 2009 tentang Benda Cagar Budaya. Penerbitan undang-undang baru tersebut diakibatkan karena aturan-aturan Cagar Budaya yang ada dirasa memiliki banyak kelemahan.

UUBCB lebih berorientasi pada kewenangan pemerintah pusat. UUCB berfokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat sekaligus mengangkat peradaban bangsa menggunakan tinggalan purbakala. Terdapat pula pergeseran paradigma dalam hal pelestarian dari UUBCB ke UUCB. Pelestarian dari yang semula diartikan secara sempit sebagai tugas perlindungan semata, dalam UUCB diartikan sebagai sistem yang menghubungkan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Ketiga hal tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Cagar Budaya merupakan sumber daya budaya yang bersifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Selama ini, kebijakan Pelestarian Cagar Budaya berada pada paradigma yang mengarah pada upaya “membekukan” supaya tidak berubah, dan restorasi ke kondisi semula. Paradigma ini cenderung kaku dan menyebabkan upaya pemanfaatan Cagar Budaya menjadi terkendala atau bahkan tidak dapat terwujud.

Menurut Daud Aris Tanudirdjo (1996), Pelestarian Cagar Budaya harus dilihat sebagai suatu upaya untuk mengaktualkan kembali warisan budaya dalam konteks sistem yang ada sekarang. Tentu saja, pelestarian harus dapat mengakomodasi kemungkinan perubahan, karena pelestarian harus diartikan sebagai upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan budaya itu sendiri. Pelestarian adalah upaya untuk mempertahankan sumber daya dalam konteks sistem dengan memberikan makna baru bagi sumber daya budaya itu sendiri, jika tidak ada pemaknaan baru, hakikat pelestarian itu sendiri sulit atau kadang tidak akan tercapai.

Dengan ditetapkannya UUCB dan dicabutnya UUBCB, Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya (Perda 19/2009) pun sudah dirasa tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Daerah Kota Bandung dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung menerbitkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya (Perda 7/2018) yang bertujuan untuk: mempertahankan keaslian Cagar Budaya yang mengandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan; melindungi dan memelihara Cagar Budaya dari kerusakan dan kemusnahan baik karena tindakan manusia maupun proses alam; memulihkan keaslian yang mengandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan; dan  mewujudkan Cagar Budaya sebagai kekayaan budaya untuk dikelola, dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan, kesejahteraan masyarakat dan citra positif daerah dan tujuan wisata.

Ketika perancangan Perda 7/2018 perspektif Perda 9/2009 tanpa disadari masih tetap dipakai. Hal tersebut salah satunya terlihat dari masih adanya lampiran yang berisikan daftar objek yang dianggap “Cagar Budaya” dengan jumlah yang berkali-kali lipat. Adanya lampiran tersebut pun membuat hampir semua objek ditentukan tidak melalui komunikasi dengan masyarakat sebagai pemilik dalam arti sempit maupun luas. Hal ini menurut Daud Aris Tanudirdjo dalam Warisan Budaya Untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelola Warisan Budaya Indonesia Di Masa Mendatang (2003), menghasilkan sikap skeptis atau bahkan apatis dari masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan warisan budaya karena pendekatannya cenderung satu arah “dari atas ke bawah”.

Sejatinya Pelestarian Cagar Budaya adalah upaya memberi makna baru. Dalam konteks Kota Bandung yang masyarakatnya plural, pemberian makna itu dapat beragam, maka Pelestarian Cagar Budaya harus dapat dibicarakan bersama, dinegosiasikan dan perlu disepakati bersama melalui suatu dialog yang terbuka dan seimbang. Perbedaan pemberian makna suatu Cagar Budaya harus sedapatnya dihargai dan diwadahi dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis.

Warga dan pengunjung melintas di Jalan Braga, Kota Bandung, Minggu (3/10/2021) siang. Di kawasan cagar budaya ini, tidak sedikit bangunanan bersejarah yang telah rusak atau bahkan lenyap akibat desakan pembangunan. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)
Warga dan pengunjung melintas di Jalan Braga, Kota Bandung, Minggu (3/10/2021) siang. Di kawasan cagar budaya ini, tidak sedikit bangunanan bersejarah yang telah rusak atau bahkan lenyap akibat desakan pembangunan. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)
Visi Pengelolaan Cagar Budaya

Pada tahun ini Perda No. 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya berusia 5 (lima) tahun. Dalam kurun waktu tersebut terlah terbit juga peraturan perundang-undangan baru yang menjadi turunan UUCB, antara lain: Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 36 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Register Nasional Cagar Budaya. Selain itu, beberapa permasalahan pengelolaan Cagar Budaya juga hadir dan semakin memperlihatkan kekurangan Perda 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya.

Dengan mempertimbangkan payung hukum dan kondisi yang ada sekarang, sudah waktunya Kota Bandung menerapkan visi “pengelolaan Cagar Budaya untuk masyarakat”. Kebijakan pengelolaan “Cagar Budaya untuk masyarakat” membuat masyarakat dapat lebih aktif terlibat dalam pengelolaan Cagar Budaya. Daud Aris Tanudirjo memosisikan pemerintah sebagai steward dalam Pelestarian Cagar Budaya, yang bertanggungjawab akan kelestarian dan pemanfaatannya, sekaligus mendengarkan kemauan pemilik Cagar Budaya itu sendiri, yaitu masyarakat. Selain itu, ruang interpretasi Cagar Budaya juga perlu menerima keragaman kepentingan karena Cagar Budaya merupakan penghubung antara masa lalu dan masa kini, sehingga keragaman minat dan kepentingan akan masa lalu di mana kini beserta dampaknya perlu difasilitasi dan dimoderatori.

Salah satu akar masalah Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung selama ini bersumber dari pemahaman tentang konsep Cagar Budaya itu sendiri. Berdasarkan Undang-undang nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dari definisi tersebut setidaknya kita perlu memahami bahwa suatu objek Cagar Budaya harus memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta sudah melalui proses penetapan.

Nilai penting dari Cagar Budaya “ditentukan” oleh Tim Ahli Cagar Budaya yang kompeten yang diangkat oleh Wali Kota. Setelah penggalian nilai penting tersebut, Tim Ahli Cagar Budaya kemudian mengeluarkan rekomendasi kepada Wali Kota agar segera mengeluarkan surat keputusan Wali Kota tentang penetapan dan pemeringkatan Cagar Budaya. Alur tadi merupakan “babak akhir” dari proses penetapan, setelah sebelumnya diawali dengan pendaftaran Objek yang Diduga Cagar Budaya oleh Dinas terkait.

Bukan hanya itu, menurut UUCB Pasal 44, suatu objek dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat kota apabila memenuhi syarat: sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayah kota; mewakili masa gaya yang khas; tingkat keterancamannya tinggi; jenisnya sedikit; dan/atau jumlahnya terbatas. Pada titik ini dapat kita pahami akan adanya perbedaan antara objek bersejarah dengan objek Cagar Budaya. Tentu objek Cagar Budaya merupakan objek bersejarah, namun tidak semua objek bersejarah merupakan objek Cagar Budaya.

Walau saya malas menyampaikan hal ini karena seolah “menyerah pada sistem”, mau tidak mau aspek prosedural ini perlu dicermati dengan baik karena sadar tidak sadar, penetapan Cagar Budaya merupakan kebijakan yang membatasi ”gerak” objek tersebut. Setelah menjadi objek Cagar Budaya, pemilik objek yang tidak dapat lagi dengan semena-mena mengelola dan mendayagunakan asetnya. Pemilik tersebut perlu mengkomunikasikan kegiatan mengelola dan mendayagunakan asetnya dengan Pemerintah. Hal itu terjadi karena walau secara kepemilikan fisik objek itu dimiliki oleh perorangan/lembaga, namun sejatinya kepemilikan nilai yang ada pada fisik objek tersebut dimiliki oleh masyarakat luas.

Lantas, di aspek masa yang membuat kita harus merasa optimis dan menyatakan bahwa Sejarah Kota Bandung belum hancur? Kalau kita lihat kembali uraian di atas, sudah seharusnya Pelestarian Cagar Budaya dapat dibicarakan bersama, dinegosiasikan dan perlu disepakati bersama pula melalui suatu dialog yang terbuka dan seimbang. Tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya sejarah dan kebudayaan sebagai penguat identitas budaya Bandung adalah hal yang perlu kita syukuri. Dengan adanya kesadaran ini kita masih punya bahan bakar untuk menyusuri puing-puing sejarah, kelokan dan tanjakan jalan pelestarian, serta berpacu dengan waktu dalam memilih dan memilah Objek yang Diduga Cagar Budaya masa saja yang dijadikan Cagar Budaya sebagai akar, monumen, dan pengikat identitas ke-Bandung-an kita.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//