• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Dari Soeharto ke ISIS, Akankan Kisah Dokumenter Eksil Terulang Kembali?

MAHASISWA BERSUARA: Dari Soeharto ke ISIS, Akankan Kisah Dokumenter Eksil Terulang Kembali?

Penggunaan hukuman eksil pada kelompok teroris memerlukan pertimbangan yang seimbang antara keamanan nasional dan pemenuhan hak asasi manusia.

Gertha Maria Gultom

Mahasiswa Departemen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Cover film Eksil (The Exile) - Official Trailer. (Sumber: Lola Amaria Production)

26 April 2024


BandungBergerak.id – Presiden Soeharto senantiasa dikenal dengan riwayat perpolitikan penuh siasat. Berbagai spekulasi selalu berseliweran terkait setiap kebijakan dan taktik yang ia eksekusi selama masa kepemimpinannya bahkan setelah beliau hengkang dari posisi tinggi tersebut. Satu di antara banyak tindakan yang membekas bagi rakyatnya adalah ketika pemimpin sah ketiga dari negara berdaulat ini mencabut status kewarganegaraan dari masyarakatnya yang tengah mengadu nasib di negeri orang.

Eksil, sebutan dari fenomena tersebut, menjadi bagian dalam sejarah kelam Indonesia selama pergolakan atmosfer politik tahun 1965 yang mempengaruhi hidup ratusan mahasiswa yang mengenyam pendidikannya di luar tanah kelahiran. Eksil atau pengasingan adalah salah satu metode yang digunakan oleh rezim politik tertentu untuk membatasi atau menghapus pengaruh individu atau kelompok yang dianggap sebagai ancaman.

Pada masa pemerintahan Soeharto di Indonesia, yang berlangsung dari tahun 1967 hingga 1998, penggunaan eksil tidak secara terbuka sebagai strategi yang dominan, namun beberapa praktik yang serupa dengan eksil terjadi, terutama dalam bentuk represi politik dan pengasingan internal. Cerita mereka yang kehilangan akses akan hak-hak kewarganegaraan mereka terangkum dalam sebuah film dokumenter tersohor tahun 2022 yang digarap oleh Lola Amaria, selaku sutradara.

Hanya dalam kurun waktu 1 jam 59 menit, Lola berhasil menyuguhkan kisah-kisah pribadi yang mengharukan tentang para mahasiswa Indonesia yang terjebak di negeri orang setelah pemerintahan Soeharto melarang mereka kembali ke Indonesia pasca pergolakan politik tahun 1965. Melalui perjalanan hidup mereka yang penuh pengorbanan, penderitaan, dan kesepian, film ini mengungkap bagaimana dilema pencabutan status kewarganegaraan dapat mempengaruhi individu secara mendalam. Namun, apakah semua penderitaan yang diilustrasikan dalam karya ini sepadan dengan pertimbangan rasional sang pemilik kuasa tertinggi di masanya?

Baca Juga: RESENSI BUKU: Di Balik Senyuman Para Eksil
Pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi Kaum Marginal di Jawa Barat Belum Prioritas
Film Eksil, Putusnya Generasi Intelektual di Indonesia

Kelompok Teroris ISIS

Kebijakan serupa menjadi alat yang dipertimbangkan kembali di masa pemerintahan Indonesia saat ini. Kondisi ini menjadi buah dari situasi pelik dalam lingkungan global yang dibayangi oleh ancaman terorisme dengan sifat destruktif yang setara dengan sebuah negara. Isu kelompok teroris, seperti ISIS, menjadi tantangan serius dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Dari sudut pandang Indonesia, bergabung dengan ISIS dapat dikategorisasikan sebagai pelanggaran hukum sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, aturan perundang-undangan serta norma yang diselenggarakan dalam masyarakat. Cita-cita Indonesia yang ingin mewujudkan perdamaian dunia mendorong keterlibatan negara ini dalam penanggulangan kelompok terorisme yang membawa guncangan terhadap stabilitas keamanan nasional. Kondisi serupa mampu dirasakan oleh sejumlah negara di berbagai belahan dunia sehingga terbentuk kerja sama dari masyarakat global untuk menanggulangi kelompok terorisme tersebut.

ISIS atau dikenal juga sebagai Islamic State of Iraq merupakan kelompok pemberontak Sunni yang berperang melawan pasukan pemerintah Irak dan AS (Petersen, 2014). Nama kelompok ini menggambar tujuannya untuk mendirikan sebuah khilafah Islam di seluruh Mediterania Timur. ISIS menyatakan diri sebagai calon negara baru tetapi pada realitanya, ISIS tidak memenuhi keseluruhan persyaratan dari terbentuknya sebuah negara sesuai Konvensi Montevideo (Convención de Montevideo, 1933). Konvensi ini mengisyaratkan empat persyaratan dengan tiga di antaranya telah berhasil diwujudkan oleh ISIS yaitu wilayah, populasi, serta wilayah kekuasaan. Namun, ISIS tidak memperoleh pengakuan maupun kemampuan untuk tergabung dalam hubungan dengan negara lain. Untuk terjalinnya interaksi yang baik dengan aktor internasional lainnya, kelompok ini perlu mengikuti hukum kebiasaan internasional.

Pada kenyataannya, PBB menyatakan bahwa ISIS melakukan tindakan penyimpangan seperti pemberlakuan aturan ekstrem di wilayah kekuasaannya dengan eksekusi ringkas dan ratusan orang yang tewas. Kondisi tersebut menggambarkan situasi serupa yang dialami oleh warga sipil di bawah pemerintahan Taliban di Afghanistan (Mingst et al., 2019).

Negara akan diperhadapkan dengan tantangan berupa perbedaan persepsi nasional terkait peristiwa terorisme atau kelompok terorisme yang mendorong kepada kesalahpahaman antar negara dalam proses menghadapi kejahatan terorisme (Madjid, 2018). Maka dari itu, Indonesia turut terlibat dalam langkah penanggulangan tindakan ISIS sebagai kelompok terorisme. Hal ini diadopsi oleh hukum nasional yang mengatur dengan tegas tentang keamanan nasional dan pelibatan dalam kegiatan teroris. Salah satunya adalah Undang-undang Terorisme No.15 Tahun 2003 yang menegaskan sanksi atas tindakan siapa pun yang terlibat dalam aksi terorisme.

Hukuman Pencabutan Warga Negara untuk Teroris

Sebagai warga negara Indonesia (WNI), bergabung dengan organisasi teroris merupakan aksi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang diadopsi dalam kehidupan sebagai bangsa Indonesia. Pancasila menekankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan persatuan yang tidak diadaptasi oleh aksi-aksi yang dijalankan ISIS. Oleh karena itu, pencabutan status kewarganegaraan bagi WNI yang terlibat secara sukarela dengan ISIS dapat diartikan sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga keamanan nasional dan mendukung upaya global melawan terorisme. Tindakan tersebut merujuk dari Undang-undang Kewarganegaraan yang diatur dalam pasal 23 nomor 12 tahun 2006 dengan penekanan pada poinnya yang menegaskan “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin dahulu dari Presiden”.

Kekurangan dari penggunaan landasan tersebut sebagai media pengesahan pencabutan status kewarganegaraan adalah ambiguitas dari isi undang-undang tersebut. Isi pasal tersebut tidak menjelaskan secara spesifik kondisi maupun karakteristik yang termasuk dalam kategori “tentara”. Maka, untuk merealisasikan upaya penanggulangan dengan mencabut status kewarganegaraan, diperlukan penegasan ulang atau penciptaan aturan yang mencakup karakteristik dan kategorisasi dari persyaratan pencabutan status kewarganegaraan. Tujuan dari pencabutan status kewarganegaraan itu sendiri adalah untuk meminimalisir pergerakan dari individu maupun kelompok yang tergabung dalam kelompok teroris tersebut dan sebagai bentuk sanksi serta bentuk antisipasi negara terhadap kasus-kasus terorisme.

Pemberlakuan kebijakan itu sendiri memosisikan Indonesia dalam dilema antara mengedepankan HAM atau menjaga keamanan negara. Hal ini dikarenakan status kewarganegaraan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Meski tidak diterangkan secara eksplisit, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan status kewarganegaraan sebagai bagian dari HAM karena dengan status tersebut seseorang memiliki akses atas hak-hak sipilnya sebagai warga negara. Hak tersebut juga dirangkum dalam pasal 7 Konvensi Hak-hak Anak terkait hak anak untuk memperoleh identitas, termasuk kewarganegaraan. Akan tetapi, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi keamanan dan keselamatan warganya.

Tindakan bergabung dengan ISIS tidak hanya mengancam keamanan nasional, tetapi juga memberikan dampak negatif pada perdamaian global. Itu sebabnya, menurut saya, penggunaan kebijakan eksil merupakan penanggulangan yang dapat dinyatakan sebagai tindakan terburu-buru dengan kerugian yang tidak setimpal. Eksil, dalam konteks represi politik, dapat dianggap sebagai kebijakan yang kejam dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), karena melibatkan pemisahan paksa dan penghilangan identitas dan hak. Apabila eksil diberlakukan lagi di masa sekarang, maka mampu menciptakan spekulasi besar penggunaan eksil sebagai alat kekuasaan sebagaimana diterapkan oleh rezim Orde Baru. Kebijakan ini dapat disalahpahami sebagai alat penguasa untuk menghilangkan oposisi dan memperkuat kontrol politik.

Permasalahan terkait bergabungnya WNI dengan ISIS merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global yang turut dihadapkan dengan permasalahan kelompok teroris. Isu ini menjadi kekhawatiran bersama di mana masing-masing negara mengemban tanggung jawab untuk melindungi keamanan nasional. Tindakan pencabutan status kewarganegaraan dipertimbangkan sebagai salah satu opsi penanggulangan oleh negara-negara termasuk Indonesia. Namun, untuk merealisasikannya, pemerintah perlu mempertimbangkan keseimbangan keamanan nasional dan pemenuhan hak asasi manusia dengan hati-hati. Dengan demikian, Indonesia dapat menjalankan tindakan tegas dan sesuai dengan hukum untuk melindungi warganya tanpa melanggar prinsip-prinsip HAM yang esensial. Langkah-langkah yang diberlakukan oleh para elite politik Indonesia menjadi wujud kontribusi negara dalam menjaga perdamaian dunia dan merespons ancaman global yang dihadapi berupa kelompok teroris.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Hak Asasi Manusia

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//