MAHASISWA BERSUARA: Preferensi Hakim Konstitusi dalam Putusan PHPU Presiden 2024, Masih Kalkulator?
Pelabelan “Mahkamah Kalkulator” menjadi ekspresi keprihatinan sebagai alternatif akronim MK yang sejatinya adalah Mahkamah Konstitusi.
Faisal Nasirul Haq
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
29 April 2024
BandungBergerak.id – Senin, 22 April 2024 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggelar sidang pleno terbuka dengan agenda pembacaan putusan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden pada Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh Pemohon dari Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1, Anies-Muhaimin, dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh Pemohon dari Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 3, Ganjar-Mahfud. Pengajuan dua perkara ini dilatangbelakangi oleh rasa kompetisi Pemilu yang pekat akan fenomena penyimpangan politik, hukum, dan etika, sehingga didalilkan melanggar asas bebas, jujur, dan adilnya penyelenggaraan Pemilu. Kedua petitum (tuntutan hukum) pada masing-masing perkara tersebut memiliki tujuan serupa. Permohonan tersebut utamanya memuat (i) diskualifikasi sebagian/seluruh pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, dan (ii) melakukan Pemungutan Suara Ulang. Namun MK dalam Amar Putusan kedua perkara tersebut diketahui menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Mendengar putusan tersebut, masyarakat sipil dan akademisi diliputi rasa kecewa pada MK. Sebab, dengan amicus curiae terbanyak dalam sejarah persidangan mahkamah sejauh ini, Hakim MK diharapkan agar tidak terlalu terikat dengan legal-formalnya hukum materiil dan acara sehingga dapat memberikan porsi keadilan yang lebih sesuai dengan terobosan hukum, Kekecewaan tersebut mengembalikan persepsi masyarakat pada PHPU 2019 kepada pelabelan “Mahkamah Kalkulator” sebagai ekspresi keprihatinan sebagai alternatif akronim MK yang sejatinya adalah Mahkamah Konstitusi. Penyematan label tersebut berangkat dari dua pandangan bahwa; Pertama, MK yang berwenang memutus perkara tertentu terkait konstitusionalisme, justru menjadi lembaga peradilan yang disibukkan dengan menghitung (dalam artian yang sesungguhnya) suara karena perselisihan hasil pemilu. Kedua, MK sebagai lembaga peradilan yang berdiri atas mandat langsung dari UUD 1945 –yang mana merupakan hierarki peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Indonesia– justru memosisikan diri terlalu tampak beraliran legisme, legal-formal, konservatif, atau istilah lainnya yang semakna dengan sebutan “corong undang-undang” ketika menghadapi perkara PHPU.
Baca Juga: Menuju Mahkamah Kebijaksanaan dan Mahkamah Konsistensi
Kontroversi Anwar Usman Meruntuhkan Kepercayaan Publik pada Mahkamah Konstitusi
MAHASISWA BERSUARA: Membaca Kerapuhan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2024
Kewenangan MK dalam PHPU
Kewenangan MK dalam memutus perkara PHPU termuat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang merupakan hasil amandemen ketiga. Dalam Pasal yang sama pada ayat (6), menyebutkan bahwa terkait pengangkatan, pemberhentian Hakim MK serta hukum acara dan ketentuan lainnya (termasuk hukum acara PHPU) diatur dengan undang-undang. Sementara, kekuasaan membentuk undang-undang menurut Pasal 20 UUD 1945 diamanatkan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang PHPU dipandang terlalu praktikal bagi MK dibandingkan kewenangannya yang lain. Mengingat, bahwa saat ini telah dibentuk berbagai macam lembaga melalui undang-undang untuk menyelesaikan permasalahan pemilu sesuai dengan karakter objek sengketanya. Namun, karena kewenangan MK dalam memutus PHPU ini tertuang dalam UUD 1945, maka menjadi sulit bagi upaya politik hukum untuk menyesuaikan perkembangan yang ada.
Selain itu, Hakim MK ketika memutus perkara PHPU Presiden 2024 mengeluhkan tenggat waktu yang terlalu singkat, yakni 14 (empat belas) hari yang ditentukan dalam perangkat aturan hukum acara untuk mengadili perkara PHPU Presiden. Padahal, Hakim MK harus memeriksa seluruh berkas perkara yang tebal, ratusan bukti, hingga memeriksa para saksi yang dihadirkan. Sehingga, ketentuan dalam hukum acara tersebut menyulitkan para hakim MK dalam menghadirkan keyakinan dalam dirinya atas dalil-dalil, dan pembuktian dalam persidangan.
Aliran Konservatif dan Progresif
Sebagai pengetahuan bersama, bahwa dalam kajian penemuan hukum oleh hakim terdapat aliran yang konservatif, di antaranya dikenal dengan aliran legisme. Aliran legisme merupakan aliran yang meyakini bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum. Hakim akan mencari hanya pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, atau dengan kata lain hukum positif, hukum yang telah diundangkan dalam lembaran negara (sedang berlaku). Sehingga hal selain hukum positif tidak akan menjadi pertimbangan. Sebab, dalam aliran ini hakim bukanlah penentu (determinant) melainkan sebagai aktor yang hanya menerapkan ketentuan undang-undang saja, yang kemudian dikenal istilah subsumtie automaat atau corong undang-undang.
Berdasar catatan sejarah, aliran legisme sempat mendapat kritik hingga pertentangan dari masyarakat. Sebab dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hakim dianggap telah usang tergerus zaman serta terdahului pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, aliran baru yang bersifat progresif –mendobrak keajegan– hadir, dalam rangka mendukung hakim agar dapat mencari sumber hukum di luar dari ketentuan undang-undang sehingga mampu melihat permasalahan secara menyeluruh dan oleh karenanya tercipta terobosan hukum dalam rangka menghadirkan keadilan substantif.
Dalam perkara PHPU Presiden 2024, masyarakat ramai mendukung 8 (delapan) Hakim MK agar aktif dan progresif dalam memutus perkara tersebut. Namun, dari putusan tersebut justru menunjukkan bahwa 5 hakim, sejak awal rapat diselenggarakan, cenderung konsisten dalam aliran yang konservatif (Tempodotco). Dalih yang menguatkan pandangan legal-formal atau konservatif diantaranya adalah bahwa (i) hakim tidak mendapat keyakinan karena kurangnya waktu, dan (ii) substansi permohonan Pemohon telah keluar dari apa yang ditentukan dalam perangkat hukum acara PHPU itu sendiri. Sehingga, MK memang berwenang untuk menolak permohonan, lebih-lebih yang tidak beralasan menurut hukum.
Sementara itu, pandangan yang mendukung upaya progresif salah satunya mendasarkan dari penafsiran Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyebut frasa “perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Hal ini dimaknai sebagai kewenangan bagi mahkamah untuk melihat faktor non hukum sebagai variabel yang turut mempengaruhi perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini adalah moralitas demokrasi dan etika. Sehingga dari pemaknaan ini, Hakim MK dipercaya mampu menerapkan judicial activism dalam rangka membongkar segala potensi dugaan kecurangan pemilu. Sementara itu, 3 hakim lainnya, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat cenderung konsisten progresif, terlihat dari tegasnya pendapat berbeda, Dissenting Opinion, yang disajikan dalam putusan PHPU Presiden 2024.
Hal sebagaimana diurai di atas tersebut mengangkat kembali problematika yang penting untuk dikaji di masa mendatang. Masalah yang meluas terkait cakupan kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, hukum acara yang terbukti menyulitkan hakim dalam menghadirkan keyakinan, serta preferensi hakim dalam mencari sumber hukum menjadi variabel-variabel yang berkelit-kelindan dengan politik dan kekuasaan. Ke depan, penulis merekomendasikan dua hal: Pertama, yakni bahwa kalkulatorisme pada hakim harus dikesampingkan pada lembaga Mahkamah Konstitusi. Kedua, bahwa ketentuan terkait MK termasuk hukum acara PHPU yang diatur dalam UU MK dan (oleh karena UU MK) Peraturan MK yang saat ini telah menyulitkan hakim untuk bertindak progresif harus segera dikaji ulang, baik pengkajian itu apakah melalui jalur legislative review atau bahkan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi.
*Kawan-kawan dapat membaca esai-esai Suara Mahasiswa, serta artikel-artikel lain tentang Pemilu 2024