Sensus Sampah Plastik, Kemasan Saset Mendominasi Sungai Cipaganti
Hasil Sensus Sampah Plastik menemukan sampah plastik saset yang diproduksi puluhan tahun lalu masih utuh mencemari Sungai Cipaganti, Bandung.
Penulis Awla Rajul29 April 2024
BandungBergerak.id - Produsen atau industri masih minim sekali menerapkan tanggung jawab Extended Producer Responsibility (EPR) sebagaimana diamanatkan oleh UU Pengelolaan Sampah No. 18 Tahun 2008. Sampah plastik berbentuk kemasan saset masih ditemui mencemari anak Sungai Citarum yang sempat dinobatkan sebagai sungai paling tercemar di dunia.
Yayasan Cinta Alam Indonesia (CAI) melakukan Sensus Sampah Plastik di Sungai Cipaganti, Ledeng, Kecamatan Cidadap, Bandung, Sabtu, 27 April 2024. Kegiatan yang mengusung tema “Membuka Arus Perubahan Ekologis: Menyelam ke dalam Audit Sampah Sungai” ini merupakan kerja sama CAI dengan Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (Bruin) dan berkolaborasi bersama Kampoeng Tjibarani dan BandungBergerak (KawanBergerak).
Koordinator Sensus Sampah Plastik Nugi Herdian membeberkan, kegiatan sensus sampah plastik dimulai sejak pukul 10 pagi hingga menjelang pukul satu siang dari Green House CAI menuju Sungai Cipaganti dengan melewati Gedong Cai Cibadak. Pengumpulan sampah dilakukan mulai dari perjalanan hingga di salah satu titik sungai.
Sampah yang telah dikumpulkan dari sungai dan perjalanan itu lantas dipilah dan dikelompokkan sesuai jenis material dan jenis penggunaannya. Sampah-sampah kemasan itu kemudian dihitung dan dilakukan proses brand audit menggunakan alat bantu pemindai barcode produk maupun secara manual.
“Dari kegiatan tadi banyak menemukan plastik-plastik saset. Contoh plastik jajanan dulu waktu zaman saya kecil di tahun 2000 itu masih betul-betul utuh. Artinya 24 tahun ya, mereka eksis mengotori sungai Cipaganti. Sangat ironis sekali,” ungkap Nugi saat proses brand audit berlangsung.
Nugi juga membeberkan, pihaknya menemukan sampah kemasan dari produk-produk yang diduga berasal dari mancanegara. Sampah-sampah itu diduga dibuang oleh wisatawan mancanegara yang plesiran ke kawasan Bandung Utara yang dikenal sebagai primadona destinasi wisata. Sampah-sampah seperti styrofoam, botol-botol, dan mayoritas kemasan plastik pun banyak melilit pohon-pohon di bantaran Sungai Cipaganti.
Selain mengungkap sampah-sampah dari produsen raksasa yang mencemari sungai, kegiatan ini juga bermaksud mendesak tanggung jawab produsen dan pemerintah. Meski, jika dilihat dari perspektif sosial dan ekonomi, masyarakat ‘membutuhkan’ produk dengan kemasan saset karena bernilai ekonomis dan praktis.
“Karena ekonomi kita di bawah rata-rata, jadi mau tidak mau masyarakat akses pembeliannya lewat saset. Produsen telah mencemari lingkungan, mereka harus betul-betul aware. Karena mereka memiliki tanggung jawab penuh. Jangan sampai masyarakat jadi beban moral terus, bagaimana si sampah ini bisa diatasi. Sedangkan pendekatan-pendekatan sosial terhadap masyarakat dari produsen tidak ada,” ungkap Nugi.
Sebanyak 13 relawan dari Yayasan CAI, Kampoeng Tjibarani, River Clean Up Indonesia, KawanBergerak, dan warga sekitar turut aktif melakukan sensus sampah plastik mulai dari pengambilan sampah, pemilahan, hingga brand audit.
Di hari dan waktu yang bersamaan, kegiatan sensus sampah plastik juga dilakukan oleh 10 komunitas lokal di kota/kabupaten berbeda se-Indonesia. Hasil pendataan dari brand audit ini akan menjadi riset dan studi untuk mendesak produsen melakukan tanggung jawab terhadap sampah kemasan yang diproduksi dan menetapkan target pengurangan penggunaan plastik ang jelas dan terukur yang dapat dilacak publik.
Baca Juga: Data Volume Sampah Plastik Harian di Kota Bandung 2008-2021: Plastik Masih Jadi Kontributor Utama Masalah Sampah
Monolog Protes Sampah Plastik dari Kampoeng Tjibarani
Banjir Sampah Plastik ke Lautan, Salah Siapa?
Produsen Tidak Bertanggung Jawab
Setelah melakukan pemilahan dan dikelompokkan sesuai merek, ditemui 10 besar sampah plastik yang mencemari Sungai Cipaganti dari perusahaan-perusahaan berikut, di antaranya produsen tidak diketahui sebanyak 356 pcs (40,64 persen), Wings sebanyak 64 pcs (7,31 persen), Santos Jaya Abadi sebanyak 62 pcs (7,08 persen), Unilever sebanyak 61 pcs (6,96 persen), Indofood 52 pcs (5,94 persen), Procter & Gamble 17 pcs (1,94 persen), Java Prima Abadi sebanyak 12 pcs (1,37 persen), Heinz ABC Indonesia 11 pcs (1,26 persen), Kimberly-Clark Softex sebanyak 11 pcs (1,26 persen), dan Sari Incofood Corp 8 pcs (0,91 persen).
Adapun total sampah plastik yang dikumpulkan melebihi 876 pcs. 10 besar perusahaan yang paling banyak mencemari Sungai Cipaganti tersebut jika ditotalkan berjumlah 74,66 persen. Sedangkan 25,34 persen lainnya, jika diakumulasikan berasal dari perusahaan-perusahaan berikut: Aice Group Holdings, Tiirta Alam Segar, Amerta Indah Otsuka, Djarum, Budi Starch & Sweetener, Garudafood, Kaldu Sari Nabati Indonesia, Mayora Indah, Siantar Top, Ajinomoto, Forisa Nusaperdana, HM Sampoerna dan lain-lain.
Adapun dari total sampah hasil brand audit yang dilakukan CAI bersama para relawan, 65 persen sampah plastik berdasarkan laposan materialnya berjenis multi-layer, 35% sisanya single-layer. Sedangkan jika dikelompokkan berdasarkan penggunaannya, sebagai berikut: pembungkus makanan 78,1 persen, produk perawatan diri 11,6 persen, produk rumah tangga 10,1 persen, perlengkapan rokok 0,019 persen, perlengkapan pancing 0,004 persen, bahan pembungkus 0,019 persen, dan lainnya 0,024 persen.
Perwakilan Kampoeng Tjibarani Aqli Syahbana mempertanyakan bagaimana tanggung jawab produsen dalam melakukan Extended Producer Responsibility. Sebab, sejak regulasinya terbit 16 tahun lalu, belum ada hasil yang signifikan mengenai solusi sampah plastik maupun perubahan pola produksi kemasan produk.
“Rasanya memang belum ada iktikad baik dari produsen-produsen untuk mengubah kemasan produknya itu beralih ke kemasan yang lebih ramah lingkungan. (Sensus Sampah Plastuk) ini sebagai bukti juga untuk menuju penegakan EPR,” kata Aqli.
Meski cukup pesimis lantaran solusi persoalan sampah plastik ‘yang ideal’ belum ditemui, ia berharap perubahan ke arah yang lebih baik perlahan terwujud. Aqli menerangkan, saat mengumpulkan sampah pihaknya menemukan bermacam-macam jenis sampah plastik. Mulai dari bahan material PE, PP, PET, HDPE, LDPE, maupun kemasan single-layer dan multi-layer.
“Ada bekas rumah tangga, produk makanan banyak tentu, dan lain-lain. Kami juga difasilitasi oleh Bruin menggunakan alat barcode scanner untuk input database. Itu sangat memudahkan. Namun pada praktiknya kami di lapangan ini lebih memilih pencatatan data dengan manual, mengingat cukup banyak juga produk-produk yang belum masuk database Bruin,” ungkap Aqli.
Salah seorang anggota Yayasan CAI Erlan Abdinagara menerangkan, dari seluruh sampah plastik yang ditemui, kemasan kopi dan mie instan adalah yang terbanyak. Dua produk ini paling dominan dikonsomsi masyarakat. Erlan memberi peringatan. Manusia sebagai pewaris yang hidup di bumi, jangan menunggu akibat dari sampah sebagai sebab yang mendatangkan bencana.
“Harapan kami bagaimana saling menyadarkan, entah itu pihak pemerintah, (juga) produsen yang mengeluarkan produk-produknya. Mencari solusi bersama lah. Solusi untuk keberlangsungan sungai, sungai sebagai kehidupan,” ungkap Erlan mengingatkan.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Sampah Plastik