• Berita
  • Hari Buruh: UU Cipta Kerja Memperburuk Kondisi Perburuhan di Indonesia

Hari Buruh: UU Cipta Kerja Memperburuk Kondisi Perburuhan di Indonesia

YLBHI mencatat, 10 tahun terakhir kasus PHK sepihak marak di dunia kaum buruh. Ada karpet merah yang melanggengkan perampasan hak-hak buruh.

Aksi buruh pada peringatan May Day di Taman Cikapayang, Bandung, 1 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana1 Mei 2024


BandungBergerak.idPeringatan Hari Buruh Internasional selalu diwarnai ironi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, persoalan perburuhan di Indonesia bermuara dari regulasi yang dibikin oleh pemerintah, seperti Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Hal serupa disampaikan Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB) yang menuntut pencabutan UU Cipta Kerja.

Menurut catatan YLBHI, dalam kurun 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan buruh terus dikurangi atas nama kemudahan investasi dan pemulihan ekonomi. Kasus yang menonjol adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.

YLBHI menyatakan, hadirnya Undang Undang Cipta Kerja begitu nyata berdampak buruk bagi kaum buruh di Indonesia. Dengan memanfaatkan kebijakan yang oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan inkonstitusional ini, kemudian munculnya masa pandemi Covid-19, kaum pemodal semakin leluasa melakukan praktik fleksibilitas hubungan kerja, PHK terhadap buruh, politik upah murah.

Data YLBHI-LBH sepanjang Maret 2020 hingga April 2021 menunjukkan bahwa kasus perburuhan tinggi di masa Covid-19. Dari 106 kasus yang terkumpulkan, 79 di antaranya adalah kasus buruh individual sedangkan sisanya kasus kolektif yang didampingi oleh serikat buruh. Di bagi berdasarkan kasus, PHK sepihak menempati posisi pertama dengan 69 kasus, menyusul 17 kasus dirumahkannya buruh tanpa diupah, masalah kontrak dengan 10 kasus, dan pemberangusan serikat sebanyak 9 kasus.

“Tingginya angka PHK ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat telah memberikan karpet merah lapis dua bagi fleksibilitas pasar tenaga kerja setelah UU Ketenagakerjaan Tahun 2003,” demikian pernyataan resmi YLBHI, diakses Rabu, 1 Mei 2024.

Tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 untuk melegalkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, pemerintah juga mensahkan UU No. 6 Tahun 2020 tentang Pemagangan di Dalam Negeri dan merevisi PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Dua paket kebijakan ini telah mendorong rakyat Indonesia menciptakan rezim kerja. Kaum buruh dituntut untuk terus bekerja dengan upah minim di tengah membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok, tengah mahalnya biaya pendidikan, mahalnya biaya kesehatan, dan rentannya sistem jaminan sosial nasional.

Aksi buruh pada peringatan May Day di Taman Cikapayang, Bandung, 1 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Aksi buruh pada peringatan May Day di Taman Cikapayang, Bandung, 1 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dampak UU Cipta Kerja

YLBHI menilai UU Cipta Kerja telah mempermudah izin usaha. Ini menghasilkan kemudahan perusahaan-perusahaan untuk melakukan relokasi dan meninggalkan buruh-buruhnya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa hak dasar yang mencukupi. Di tempat mereka membangun lapangan kerja, para pengusaha disambut dengan buruh-buruh upah.

“Tak hanya itu, para pengusaha juga disambut oleh buruh yang relatif tidak punya pengalaman berserikat atau perjuangan-perjuangan hak melawan majikan. Ini adalah modal berharga bagi para pemodal,” kata YLBHI.

Dampaknya, lanjut YLBHI, Kaum buruh dihalangi dan dihilangkan kesadaran kritisnya untuk bergabung dengan serikat buruh dengan jam kerja yang panjang dan upah yang minim sehingga mereka tidak ada waktu berpikir tentang berserikat.

Dampak beriktunya, hilangnya anggota-anggota serikat buruh karena PHK massal  dan pemberangusan serikat (union busting) yang terus menggeliat; melemahnya kekuatan serikat buruh berhadap-hadapan dengan pemodal; hak hak buruh terus dilanggar dan kesejahteraan buruh semakin jauh.

Untuk itu, dalam peringatan Hari Buruh 2024 ini, YLBHI menyatakan:

Menyerukan persatuan gerakan rakyat dan buruh untuk memulihkan kerusakan demokrasi dan negara hukum Indonesia untuk memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara (hak hak buruh) Indonesia;

Mendesak Pemerintah dan DPR harus segera Mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan berbagai peraturan turunannya yang menindas hak-hak buruh dan menjauhkan buruh dan keluarganya dari kesejahteraan.

Mendesak Pemerintah, DPR, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk menghentikan praktik pengelolaan negara yang otoriter  dan pembuatan regulasi diskriminatif yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia dan hanya menguntungkan kelompok pemodal (investor) dan menindas buruh.

Mendesak seluruh aparat Negara, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia menjamin perlindungan dan penghormatan kemerdekaan warga negara (buruh) untuk berorganisasi, berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat serta berekspresi untuk memperjuangkan haknya sebagaimana mandat konstitusi.

Baca Juga: Para Buruh Menuntut Peningkatan Kesejahteraan dalam Peringatan May Day
Di Tengah Pandemi, Buruh Bandung Digugat Ratusan Juta Rupiah oleh Perusahaan Sendiri
Rawe-Rawe Rantas, Bangunlah Hai Kaum Buruh

Seruan KM ITB

Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB) juga menilai kehidupan buruh di Indonesia belum sejahtera. Sedari dulu, buruh selalu mengalami alienasi akibat eksploitasi di lingkungan kerjanya dan menjadi kelas yang paling rentan akan penindasan.

“Upah yang tidak layak dengan perhitungan yang asal-asalan, tidak adanya jaminan kerja yang jelas, keselamatan dan kesehatan kerja yang digadaikan, hanya semakin menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar ingin membuat kelas pekerja teralienasi. Sudah sepatutnya permasalahan ini menjadi permasalahan yang selalu dibahas oleh kalangan manapun, karena 139,85 juta rakyat Indonesia merupakan kelas pekerja,” papar PJS Ketua Kabinet KM ITB, Fauzan Hariz, dalam siaran pers. 

Maka dari itu, untuk menyikapi kondisi kelas pekerja di Indonesia yang semakin memburuk akibat rezim yang tidak peduli akan kesejahteraan rakyatnya, KM ITB menyatakan sikap bahwa:

  1. Menolak seluruh kebijakan tidak memihak kepada rakyat sesuai dengan amanat yang telah diberikan dan tertulis pada Pembukaan UndangUndang Dasar 1945;
  2. Mengutuk keras terhadap segala bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap seluruh rakyat Indonesia;
  3. Mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk segera mencabut UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya karena tidak memihak kepada kelas pekerja;
  4. Menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk segera memperbaiki seluruh kebijakan dan sistem ketenagakerjaan agar tidak terjadi eksploitasi terhadap kelas pekerja dengan;
  5. Memperbaiki perhitungan pengupahan yang benar-benar mampu mensejahterakan rakyatnya, terutama kelas pekerja;
  6. Memberi jaminan kerja yang jelas dan tidak ada pemutusan hubungan kerja yang semena-mena bagi kelas pekerja;
  7. Memberi jaminan kesehatan, keselamatan, dan keamanan kerja agar seluruh pekerja di Indonesia terlindungi dari kekerasan di lingkungan kerjanya;
  8. Memberi tunjangan dan jaminan sosial terhadap buruh perempuan yang sedang hamil, melahirkan, dan cuti ayah kepada pasangannya.

*Kawan-kawan bisa mengakses reportasi tentang Hari Buruh dalam tautan berikut ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//