Insiden Terabaikan di TPS Gegerkalong

Bawaslu Jabar menemukan potensi Pemilihan Suara Ulang (PSU) di TPS 53 Gegerkalong saat pencoblosan Pemilu 2024. KPU Kota Bandung tidak menindaklanjutinya.

Petugas KPPS menyusun kotak berisi surat suara yang sudah dihitung di gudang logistik Kelurahan Merdeka, Kota Bandung, 15 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau4 Mei 2024


BandungBergerak.id – Menjelang tengah hari, Rabu, 14 Februari 2024, Irma Kartika, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Tempat Pemungutan Suara (TPS) 53 Gegerkalong yang bertugas di meja pendaftaran, menerima satu orang pemilih yang ber-KTP (Kartu Tanda Penduduk) luar Kota Bandung. Dia lupa mengingat dengan jelas daerah asalnya. Sang tamu, yang tidak memiliki surat keterangan pindah memilih, menyatakan hendak menyalurkan suara Pemilu 2024 dengan alasan telah diarahkan oleh pihak kelurahan.

Irma mengaku segera berkoordinasi dengan Ketua KPPS, Indra. Sang ketua lalu mendiskusikannya dengan panitia pengawas (Panwas) yang juga berada di lokasi. Petugas Panwas, berdalih sesuai dengan buku panduan yang ia miliki, berkesimpulan bahwa si pemilih tetap dapat menyalurkan hak pilihnya meski tak membawa surat pindah memilih. Inilah alasan petugas KPPS pada akhirnya membolehkan penyaluran suara.

Setelah satu orang tamu yang diizinkan mencoblos itu, datang dua orang mahasiswa dengan alamat KTP di Bangka Belitung. Menyusul kemudian lima orang pemilih lain dan beberapa yang lain lagi secara bergelombang. Tercatat, total ada 20 orang pemilih tanpa surat keterangan pindah memilih yang diizinkan untuk menyalurkan suara di TPS 53 Gegerkalong hanya untuk surat suara pemilihan presiden dan wakil presiden.

“Karena dari Panwas-nya bilang di buku (panduan) dia ada. Nah kan Ketua sudah diskusi sama Panwas, Panwas bilang oke. Udah, kita kerjain gitu,” ungkap Irma, ditemui di kediamannya di Gegerkalong, Rabu, 13 Maret 2024.

Berdasarkan data hasil perhitungan suara di TPS 53 Gegerkalong, diketahui pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Raka Buming Raka meraup suara terbanyak, dengan total 122 suara. Pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menyusul dengan perolehan 80 suara. Di posisi paling buncit, pasangan nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memperoleh 23 suara.

Diketahui, jumlah total Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS 53 Gegerkalong adalah 241 orang, dengan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) berjumlah 6 orang dan Pemilih Khusus 1 orang. 

Kronologi Kasus

Dalam keterangannya di sidang pelanggaran administrasi, pengawas TPS 53 Gegerkalong, Faisal Sukma, menyatakan bahwa sekitar pukul 10.30 WIB datang seorang atas nama Gracce Irianti yang merupakan pemilih dari Papua tapi memiliki KTP beralamat Kota Bandung. Sebagai hasil konsultasi antara pengawas dan penyelenggara, Grace diperbolehkan memilih pada pukul 12.00 WIB dan diberikan 5 (lima) surat suara.

Setelah itu, datang kembali satu orang yang berpenampilan seperti saksi partai namun beralamat KTP di luar Kota Bandung. Setelah KPPS berkonsultasi dengan panwas, Faisal memperbolehkan orang itu menyalurkan suara. “Boleh saja. Dasarnya dari buku panduan,” ungkap Faisal.

Faisal ternyata tidak mengetahui bahwa pemilih ber-KTP di luar Kota Bandung tidak bisa memilih tanpa memiliki surat keterangan pindah memilih.

Pada pukul 12.00 WIB, Faisal meninggalkan TPS 53 untuk memilih di TPS terdaftar, dan baru kembali lagi melakukan pengawasan pada pukul 12.30 WIB. Dia tidak mengetahui ada sebanyak 20 orang pemilih tanpa surat pindah memilih yang telah diberikan izin untuk menyalurkan suara. Baru pada pukul 15.00 WIB ia mengetahui informasi tersebut.

Sementara itu, saksi terlapor, Muhammad Rizal, menyampaikan bahwa ia mengetahui informasi terkait adanya 20 orang yang bukan merupakan DPT, DPTb, dan berdomisili di luar TPS. Ia juga mengetahui sebelumnya datang dua orang yang ditolak mencoblos di TPS 53 karena bukan merupakan DPT, DPTb, dan bukan berdomisili di TPS 53. Rizal mengaku telah menanyakan kepada KPPS “kenapa tidak berkonsultasi lagi kepada PPS terkait yang 20 orang itu”.

Menurut Rizal, ketika itu KPPS menyodorkan alasan “situasinya tidak kondusif”. Padahal menurut dia, situasi TPS kondusif dan 20 orang yang akhirnya diizinkan mencoblos itu tidak datang bersamaan.

Terkait insiden ini, Rizal menyampaikan permohonan maaf. Namun menuruti arahan dari KPU Kota Bandung, ia tidak merekomendasikan pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU).

Rekapitulasi Pemilu 2024 di KPU Jawa Barat, 15 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia /BandungBergerak.id)
Rekapitulasi Pemilu 2024 di KPU Jawa Barat, 15 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia /BandungBergerak.id)

Seharusnya Pemilihan Suara Ulang

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat dalam rilis resmi data pengawasan pemungutan dan perhitungan suara yang diterima Bandungbergerak.id, 18 Februari 2024, menyebutkan berdasarkan hasil pengawasan dan monitoring, ditemukan potensi Pemilihan Suara Ulang (PSU) di Jawa Barat. Di Kota Bandung, ada dua temuan yang jadi sorotan:

Pertama, temuan satu surat suara pemilihan presiden dan wakil presiden (PPWP) yang telah tercoblos di TPS 44, kelurahan Cijawura, Kecamatan Buah Batu. Kedua, temuan 20 orang pemilih dari luar daerah yang diizinkan untuk mencoblos hanya menggunakan KTP elektronik tanpa melampirkan surat keterangan pindah memilih di TPS 53 Gegerkalong.

Keputusan KPU nomor 66 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu secara tegas mengatur ketentuan bagi pemilih yang ingin menyalurkan hak pilih di luar daerah asal (di luar alamat KTP). Agar diizinkan mencoblos, pemilih harus membawa KTP elektronik dan surat keterangan pindah memilih. Tanpa keduanya, sebagaimana ditemukan di Gegerkalong, tidak boleh orang masuk ke bilik suara untuk menyalurkan hak pilih.

Ketua Bawaslu Kota Bandung Dimas A. Iskandar menyatakan, telah terjadi pelanggaran tata cara dan prosedur pemungutan suara di TPS 53 Gegerkalong. Itulah kenapa panitia pengawas tingkat kecamatan merekomendasikan pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU). Rekomendasi ini kemudian diteruskan ke KPU Kota Bandung, namun sampai batas akhir pelaksanaan PSU, yakni 24 Februari 2024, tidak ada PSU yang digelar.

“Betul, (PSU) tidak dilaksanakan,” ungkap Dimas.

Pengabaian rekomendasi PSU inilah yang kemudian disampaikan ke Bawaslu Provinsi Jawa Barat. Persidangan administratif pun digelar.

“Kami mengkaji bahwa ini ada dugaan pidananya juga karena kaitan dengan tidak menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu merupakan dugaan pelanggaran pidana pemilu,” tutur Dimas.

Unsur Materiel Tidak Terpenuhi

Ketua KPU Kota Bandung Wenti Frihadianti menjelaskan, pihaknya tidak menggelar PSU karena tidak terpenuhinya unsur materiel untuk pelaksanaan PSU di TPS 53 Gegerkalong. Faktanya, ke-20 orang pemilih tersebut memiliki KTP elektronik dan terdaftar di DPT, meskipun tidak terdaftar di TPS 53 Gegerkalong.

Wenti berdalih, hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 372 ayat 2 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta pasal 80 ayat 1 dan 2 PKPU nomor 25 tahun 2023 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara Pemilihan Umum.

Di sisi lain, menurut Wenti, syarat formal pelaksanaan PSU, sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 373 ayat 1 dan 2 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu serta pasal 81 Peraturan KPU nomor 25 tahun 2023 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara Pemilihan Umum, juga tidak terpenuhi.

“Dan di sisi lain juga tidak ada unsur kesengajaan serta unsur keberpihakan kepada salah satu peserta pemilu. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya saksi pasangan calon yang ikut menandatangani kronologis,” jelas Wenti, kepada Bandungbergerak melalui sambungan telepon.

Wenti menyebut, surat rekomendasi Panwaslu Kecamatan Sukasari juga tidak dilengkapi dengan bukti dokumen pendukung untuk dapat terpenuhinya persyaratan melaksanakan PSU. Ditambah lagi, menurutnya, PSU seharusnya dilakukan terhadap seluruh jenis pemilihan, dan bukan salah satu jenis pemilihan saja.

“Sedangkan Panwaslu Kecamatan Sukasari hanya merekomendasikan PSU Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak memenuhi ketentuan tersebut,” terangnya.

Terkait dengan alasan tak memiliki surat pindah memilih, Wenti menjelaskan KPU bersandar pada para pemilih memiliki KPT elektronik dan terdaftar pada DPT online. Dari sisi kronologis, ia mengklaim bahwa pihaknya sudah melakukan sesuai dengan aturan dan regulasi, meskipun dia mengakui bahwa seharusnya secara administrasi memang harus ada surat pindah memilih.

“Namun di situ juga mungkin ada koordinasi, dengan PTPS yang di mana ikut mengizinkan juga gitu. Jadi ini semua pada intinya unsur ketidaksengajaan ya,” ungkap Wenti.

Baca Juga: RISET UNPAR: Populisme Pragmatis pada Politik Indonesia dalam Rivalitas Jokowi-Prabowo
Menari, Perjalanan Menemukan Diri dari Sardono W. Kusumo hingga Prabowo Subianto
Refleksi Kemunduran Negara di Segala Bidang, Catatan untuk Pilpres 2024

Terbukti Melakukan Pelanggaran

Bawaslu Kota Bandung akhirnya melaporkan KPU Kota Bandung ke Bawaslu Provinsi Jawa Barat, yang kemudian ditindaklanjuti dengan sidang sengketa pemilu berupa sidang administrasi. Indra Prasetyo Hardian sebagai anggota Bawaslu Kota Bandung, hadir sebagai penemu dugaan pelanggaran administrasi Pemilu.

Berdasarkan temuan yang disampaikan pada tanggal 5 Maret 2024 ke Bawaslu Provinsi Jabar dan dicatat dalam buku registrasi penerimaan temuan dugaan pelanggaran administrasi pemilu dengan nomor registrasi 001/TM/ADM.PL/BWSL.PROV/13.00/III/2024, melaporkan Ketua KPU Kota Bandung Wenti Frihadianti dan jajaran angota KPU Kota Bandung, Fajar Kurniawan Safrudin, Dzaky Rijal, Cepi Adi Setiadi dan Khoirul Anam Gumilar Winata sebagai Terlapor.

Dalam putusan sidangnya, Bawaslu Provinsi Jabar menyatakan, KPU Kota Bandung sebagai terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum. “Menyatakan Terlapor terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pelanggaran Administrasi Pemiluhan Umum,” ungkap putusan sidang pleno Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Bandung, 26 Maret 2024.

“Memberikan teguran kepada Terlapor untuk tidak mengulangi atau melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan,” lanjut Bawaslu Provinsi Jabar.

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai, ada kelemahan mendasar dalam insiden di TPS 53 Gegerkalong, yakni pemahaman KPPS dan PTPS terhadap teknis kepemiluan minim, sehingga hal itu membuat mereka gagap di lapangan.

Dalam kasus ini seharusnya KPPS terlebih dahulu mengecek berdasarkan nama dan alamat calon pemilih apakah terdaftar atau tidak di DPT atau pemilih tersebut masuk DPTb. “Ketika memang tercatat ya ga masalah. Tetapi jika tidak tercatat maka bukan lagi administrasi yang dilanggar tapi juga ada potensi pidana dan wajib PSU,” kata Neni.

Menurut Neni, jika masuk DPTb dan ada di A5 maka penanganan yang diberikan harus sesuai dengan daerah pemilihan pemilih. Bisa ia tidak mendapatkan 5 surat suara, melainkan 4, 3, 2, ataupun 1 suara saja.

Neni juga menyoroti peran KPU yang berpotensi melanggar etik jika tidak menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu. “Jika surat rekomendasi sudah disampaikan dan tidak ditindaklanjuti oleh KPU, maka KPU juga dinyatakan melanggar etik,” tuturnya.

*Liputan ini Mendapatkan Dukungan Hibah dari Program Fellowship AJI Indonesia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//