• Opini
  • Menyoal Disrupsi Literasi di Era Teknologi Informasi

Menyoal Disrupsi Literasi di Era Teknologi Informasi

Teknologi informasi yang diperuntukkan memudahkan aktivitas manusia dalam menjangkau informasi malah mendistorsi literasi.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Ilustrasi. Dunia digital dan pengaruh media sosial tak terpisahkan di era perkembangan teknologi saat ini. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

4 Mei 2024


BandungBergerak.id – Di era zaman hidup kita sekarang khususnya di abad 21, pemakaian teknologi memang begitu koheren di dalam setiap aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dinamika perkembangannya begitu signifikan bagi keberlangsungan tatanan kehidupan. Seakan teknologi menjadi fondasi yang sangat fundamental bagi roda kehidupan manusia.

Pada dasarnya teknologi memang ditujukan untuk menunjang segala bentuk tindak-tanduk kehidupan manusia agar lebih mudah dan gamblang. Karena hampir di setiap aspek-aspek kehidupan manusia, teknologi seakan menjadi denyut nadi bagi peradaban manusia. Seperti dalam hal bersosialisasi, bertransaksi ekonomi, berkegiatan politik praktis, dan kemudahan menjangkau informasi semuanya tertunjang berkat sang teknologi itu.

Dalam aspek informasi pun tidak kalah menyita perhatian. Segala bentuk informasi-informasi yang dipadankan dengan teknologi menjadi seperti buah ranum yang dapat kita tuai dengan mudahnya di sebuah pohon. Teknologi mewujud sebagai pohon yang di mana bentuk-bentuk informasi tinggal kita petik saja. Hal ini mengindikasikan bahwa memang dalam kancah abad hidup kita sekarang, teknologi sedemikian sangat mendominasi.

Informasi yang secara substansial berisi tentang gagasan, pernyataan, dan pesan yang semua itu dapat kita peroleh secara instan lewat peranan teknologi. Hal ini menarik sebentuk refleksi karena informasi secara tidak langsung berkesinambungan dengan literasi. 

Literasi yang dapat kita artikan sebagai kemampuan untuk membaca, menghayati, dan sebentuk upaya kritis memang beririsan dengan informasi itu sendiri. Jadi, jelaslah bahwa jika kita membicarakan literasi maka secara bersamaan kita juga menyinggung soal literasi.

Jika dengan segala manuvernya teknologi dapat dengan cepat mengubah tatanan kehidupan manusia menjadi serba mudah, maka budaya literasi pun seharusnya diandaikan mengalami perkembangan yang siginifikan juga. Memang orang dapat dengan gamblang bisa terhubung dengan sebuah wadah yang dapat kita sebut internet. Internet menjadi seperti pusaran lubang hitam yang dapat dengan mudah menggait orang-orang ke dalam sebuah ruang informasi.

Di mana pun dan kapan pun orang bisa dengan mudah mengakses segala bentuk informasi yang mereka butuhkan. Akan tetapi, dengan segala maha digdayanya internet yang ditopang oleh teknologi, apakah hal itu dapat secara simultan membangkitkan gairah budaya literasi? Atau justru malah membuat defisit minat literasi? Atau apakah kehadiran perpustakaan sudah tidak begitu penting bagi perangsang budaya literasi?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang menarik kita refleksikan. Karena dapat kita lihat secara kontras bahwa memang pada realitasnya, orang-orang memiliki tendensi yang tinggi dalam pemakaian informasi yang berorientasi pada internet. Orang dapat dengan gamblang menjangkau pengetahuan-pengetahuan yang hanya tinggal menekan jari sehingga eksistensi dari perpustakaan agaknya belakangan ini kurang diminati. 

Katakanlah mereka bisa mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mendasar mereka mengenai hidup lewat sebuah mesin pencari, yaitu Google. Buku-buku yang menjadi sumber pengetahuan pun jarang terjamah dan hanya tinggal berceceran di dalam rak-rak buku. Semua ini terjadi karena kehadiran teknologi informasi yang menyentuh langsung persoalan literasi.

Memang apabila kita lihat sekilas budaya literasi tidak mengalami defisit dengan kehadiran teknologi informasi ini. Karena orang-orang tidak perlu lagi mencari informasi di perpustakaan. Mereka bisa melakukan pencarian informasi dengan berbaring, duduk, atau pun selonjoran di mana pun dan kapan pun. Orang-orang tidak perlu lagi repot-repot menyelami tiap-tiap rak buku di perpustakaan untuk mencari informasi yang mereka butuhkan. Semua seakan sudah teratasi oleh teknologi informasi.

Aspek mentalitas manusia pun juga beririsan langsung dengan hal ini. Dengan fleksibilitas yang disuguhi teknologi informasi bagi peradaban manusia, menjadikan manusia tidak produktif dan aktif. Karena mental mereka sudah terpasung dalam kemanjaan yang disediakan oleh teknologi informasi. Mereka jelas akan lebih memilih ranjang sambil merebah dan mengoperasikan smartphone-nya dalam menjangkau kebutuhan informasi ketimbang repot-repot untuk berjalan ke perpustakaan. Dan hal ini merumuskan satu hal bahwa, mental malas sudah mulai tersemai dalam peradaban ini yang diakibatkan oleh teknologi informasi itu sendiri.

Sungguh menyisakan sebuah ironi yang pada dasarnya teknologi informasi yang didefinisikan sedari awal untuk memudahkan aktivitas manusia dalam menjangkau informasi, justru malah terdistorsi oleh realitas yang ada akhir-akhir ini. Tampaknya, dampak negatif mulai terasa dalam abad 21 ini yang diakibatkan langsung oleh teknologi itu sendiri, khususnya dalam bidang literasi.

Implikasi bagi budaya literasi dengan kehadiran teknologi informasi tidak hanya berpendar dengan hal-hal yang disinggung di atas, lebih jauh lagi kita mesti mulai merefleksikan dan menginvestigasi dari eksistensi budaya literasi yang diakibatkan oleh teknologi informasi. 

Baca Juga: Indeks Literasi Jawa Barat Kurang Menggembirakan
Menimbang Teknologi sebagai Instrumen Pendorong Pembangunan yang Berkeadilan
Bahaya Berselancar dalam Arus Banjir Informasi

Teknologi Informasi dan Implikasinya pada Mentalitas Manusia

Di akhir paruh periode abad 20 Jean Baudrillard seorang filsuf Prancis sudah mengagas tentang konsep simulacra. Simulacra adalah konsep yang di mana realitas telah digantikan dengan simbol. Menurutnya pengalaman kita, seperti politis, ekonomis, psikologis, tidak lebih daripada simulasi kenyataan. Teks, video, gambar di internet mereplikasi dan merekayasa peristiwa yang seolah-olah nyata terjadi. Kita sedang terpasung di dalamnya.

Saat ini ketika sebagian besar orang asyik dan masyuk berjibaku dengan ponselnya, tesis Baudrillard terasa semakin nyata sekali. Isi Zoom, Whatsapp, Instagram, Tiktok, dan Twitter terasa lebih real daripada orang yang duduk secara langsung di hadapannya sehingga kita menjadi gagap menghadapi kelangsungan.

Efeknya bagi literasi sungguh memilukan. Dengan telepon cerdas informasi-informasi begitu bebas berkeliaran. Inilah era ketika siapa saja bisa berbicara. Seolah mereka pakar dan menguasai dengan apa yang sedang dia bicarakan itu. Dalam era ini, tidak ada demarkasi yang membatasi antara yang ahli dan awam. Setiap orang bisa diandaikan menjadi ahli terkait apa yang ia bicarakan dengan mencangkul informasi yang ia petik dari internet, tanpa ia melakukan filtrasi dan upaya kritisasi terhadap informasi itu.

Tetapi persis pada saat ini juga, ketika akses informasi ada dalam genggaman, kualitas literasi pun terancam luput dari genggaman. Alih-alih mengupayakan kemudahan untuk menjangkau informasi kerap kali media-media sosial menjadi suasana penyebaran informasi hoaks, berita palsu, dan berbagai bentuk kecohan lain dalam bentuk teks, video, poster, atau foto yang mendistorsi kenyataan.

Dalam buku ke tujuh The Republic, Plato sang filsuf pernah bercerita tentang para tawanan gua yang sejak kecil hanya melihat bayang-bayang pada dinding. Mereka percaya bahwa bayang-bayang itu adalah realitas. Dalam era teknologi informasi, tatkala luapan informasi mengacaukan persepsi, distingsi antara informasi yang benar dan informasi yang rancu mulai kabur, hal ini selaras dengan cerita Plato itu. Orang-orang tidak lagi peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan dalam cerita Plato itu. Bukan dinding gua melainkan layar. Bukan bayang-bayang melainkan simulacra sedang menjebak mereka.

Namun tampaknya orang-orang tampak menikmati bayang-bayang itu. Mentalitas mereka dalam berliterasi seperti mentalitas seorang budak yang ditawan yang hanya menunggu disuapi oleh majikan. Seperti itulah keadaan kita sekarang. Kita hanya menikmati informasi yang siap saji dari internet tanpa merefleksikan atau mempertimbangkan terlebih dahulu keabsahan dari informasi itu.

Perpustakaan sudah bukan lagi sebagai wahana literasi karena semua itu sudah tergusur habis oleh internet yang berbasis pada teknologi informasi. Kecenderungan kita sudah tidak ada lagi untuk menyambangi wahana literasi itu karena akses instan sudah disediakan oleh teknologi informasi. 

Tapi di balik itu, pencarian informasi di perpustakaan dengan pencarian informasi di internet jelas kontras berbeda. Dengan kita melakukan aktivitas literasi dan menyelami informasi-informasi yang terpatri di setiap buku yang ada, mental kita akan terbangun dengan sendirinya, daya kritis dan nuansa diskusi yang dilakukan di perpustakaan dapat terjadi. Ini dapat mempertajam instrumen literasi kita.

Aktivitas literasi yang kita lakukan di perpustakaan jelas dapat pula menghindarkan kita dari kerancuan informasi, karena dengan mencari informasi-informasi yang kita butuhkan di perpustakaan, daya nalar, daya kritis, dan refleksi rasional akan terpacu dengan sendirinya yang semua itu tidak akan kita dapati apabila kita mencari sebuah informasi yang disediakan oleh internet. 

Masih Perlukah Perpustakaan di Era Teknologi Informasi?

Barulah kita pahami dan sadari kontingensi literasi yang yang diakibatkan oleh teknologi informasi. Kerancuan informasi yang tersebar di media sosial merupakan degradasi bagi kualitas literasi masyarakat kita. Tanpa ada semacam daya refleksi untuk mempertimbangkan keabsahan informasi yang didapat di Google, kita justru malah menerimanya begitu saja dan mudah sekali terlahap oleh informasi yang rancu. 

Kita mengalami defisit kualitas literasi karena daya kritis dan refleksi rasional kita menjadi tumpul akibat lambaian kemanjaan yang disediakan oleh teknologi informasi, membuat kita tidak banyak berpikir dalam melahap informasi-informasi yang terpatri di internet. Mental kita sudah ambruk dan enggan lagi untuk berpikir dalam memfiltrasi informasi-informasi yang bertebaran di media sosial.

Kiranya, peran perpustakaan tentu menjadi penting dengan adanya desakan dari situasi ini. Peran perpustakaan mesti membebaskan tawanan-tawanan yang telah terpasung dalam gua-gua kemanjaan teknokratisasi. Perpustakaan mesti menjadi pilar yang berpijar untuk menuntun orang-orang yang terlalu masyuk dalam jeruji layar ponsel.

Perpustakaan selalu menjadi wahana literasi yang utama, ketimbang literasi yang telah terkontaminasi oleh internet. Pantikan-pantikan diskusi yang terjadi di perpustakaan selalu menarik ketimbang kita menunduk dan membisu dalam melahap informasi di layar ponsel. Perpustakaan dengan sajian buku-bukunya yang tersimpan dengan jumlah informasi yang tak terbilang menantang kita untuk melatih daya interpretasi, kepekaan, dan intuisi dalam upaya pencarian informasi. Dengan begitu mental literasi manusia akan terasah yang beririsan langsung dengan daya nalar, daya kritis, dan daya rasional kita akan meningkat dengan sendirinya.

Untuk itu, siasat dari perpustakaan mesti dilakukan untuk memerangi situasi ini. Perpustakaan sebagai pelopor dan garda utama dalam merebakkan virus literasi, harus mampu mengubah paradigma orang-orang yang berliterasi secara rancu dengan ponselnya. Memang tugas yang diemban ini tidak mudah. Tapi gertakan dari perpustakaan bisa dilakukan secara perlahan-lahan yaitu dengan cara memengaruhi orang-orang supaya mereka tertarik menyambangi perpustakaan dan melancarkan penyuluhan pada mereka tentang buruknya kualitas literasi yang diakibatkan oleh teknologi informasi.

Dengan begitu mental literasi kita akan matang dan terbangun dalam memandang dunia ini. Kepekaan, ketajaman, dan nalar kritis akan terbangun dengan sendirinya lewat peranan perpustakaan sebagai wahana literasi yang sesungguhnya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha, atau artikel-artikel lainnya mengenai literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//