• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Harimau Jawa di Priangan #1

NGULIK BANDUNG: Kisah Harimau Jawa di Priangan #1

Publik gempar dengan temuan sampel rambut harimau di Sukabumi. Selama ini hutan Meru Betiri, Jawa Timur menjadi lokasi terakhir penampakan harimau jawa di alam liar.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Harimau Jawa ditangkap di pegunungan selatan dekat Jogjakarta sekitar tahun 1900-an. (Koleksi KITLV 2720, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

10 Mei 2024


BandungBergerak.id – Publikasi penelitian dengan judul "Is the Javan tiger Panthera tigris sondaica extant? DNA analysis of a recent hair sample" yang terbit di Jurnal Oryx, dari Cambridge University Press, pada 21 Maret 2024, memantik harapan. Penelitian tersebut membuka kemungkinan bahwa harimau jawa (Panthera tigris sondaica) memang belum benar-benar punah. Predator puncak di Jawa ini mungkin saja masih tersisa di alam liar. 

Penelitian tersebut dilakukan oleh Wirdateti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulianto dari Pusat Penelitian Zoologi Terapan, Kalih Raksasewu dari Yayasan Bentang Edukasi Lestari Bogor, serta Bambang Adriyanto petugas BKSDA Bogor yang bertugas di Sukabumi. Publikasi penelitian tersebut merupakan hasil pemeriksaan analisis genetika DNA dari sampel rambut hewan yang diperoleh di Sukabumi Selatan, Jawa Barat.

Dalam laporan penelitian tersebut diceritakan, sampel rambut hewan tersebut diperoleh Kalih Reksasewu setelah memeriksa laporan Ripi Yanuar Fajar, warga Desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, Jawa Barat, yang mengaku melihat harimau jawa. Ripi mengaku melihat hewan kucing besar ini di perkebunan yang dikelola komunitas di dekat desa tempat tinggalnya di hutan Sukabumi Selatan pada 19 Agustus 2019. Kalih dan Bambang Adriyanto kemudian mendatangi lokasi pada 27 Agustus 2019. Kalih menemukan sehelai rambut hewan yang diduga berasal dari harimau di pagar di antara jalan desa dan perkebunan. Di lokasi Kalih dan Bambang juga menemukan jejak kaki dan bekas cakar yang diduga berasal dari harimau.

Temuan sampel rambut kemudian diserahkan pada staf geologi yang sedang melakukan penelitian di tempat itu dan menyerahkannya pada otoritas BKSDA. Baru pada 4 Maret 2022, BKSDA menyerahkan sampel rambut hewan tersebut pada BRIN. Pada 15-19 Juni 2022 peneliti dari BRIN melakukan survei di lokasi tempat temuan sampel rambut. Peneliti BRIN kemudian meyakini sampel rambut ini berasal dari hewan yang diduga harimau.

Sampel rambut hewan tersebut selanjutnya diperiksa dengan analisa genetika DNA. Hasilnya dibandingkan dengan hasil pemeriksaan genetik DNA dari rambut harimau sumatera, macan tutul Jawa panthera pardus melas, serta spesimen museum harimau jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense yang dikumpulkan sejak tahun 1930. Hasilnya rambut harimau di Sukabumi Selatan ada dalam kelompok yang sama dengan spesimen harimau jawa koleksi museum tahun 1930.

Situs BRIN kemudian memberikan penjelasan yang lebih rinci beberapa hari setelah publikasi hasil penelitian. Wirdateti, peneliti BRIN yang namanya tercantum dalam publikasi ilmiah tersebut menjelaskan, sampel rambut harimau Sukabumi diyakini adalah spesies Panthera tigris sondaica atau harimau jawa yang masuk dalam kelompok yang sama dengan spesimen harimau jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) pada 1930.

Analisa genetik DNA sampel harimau Sukabumi Selatan tersebut juga telah dibandingkan dengan beberapa subspesies harimau lain sebagai pembanding, yakni harimau bengal, Amur, dan Sumatera. Pemeriksaan juga dilakuan dengan membandingkannya dengan hasil analisa genetika DNA macan tutul jawa. Studi pohon filogenetik yang dilakukan dari analisa genetika DNA sampel harimau Sukabumi Selatan mendapatinya berada dalam satu kelompok yang sama dengan spesimen harimau jawa koleksi MZB, dan terpisah dari kelompok subspesies harimau lainnya.

“Hasil perbandingan antara sampel rambut harimau Sukabumi menunjukkan kemiripan sebesar 97,06 persen dengan harimau sumatera, dan 96,87 perden dengan harimau benggala. Sedangkan  spesimen harimau jawa koleksi MZB memiliki 98,23 persen kemiripan dengan harimau sumatera,” kata Widarteti, dikutip dari situs BRIN, 24 Maret 2024.

Peneliti makin meyakini kesimpulan tersebut dengan adanya temuan bekas cakaran mirip harimau di lokasi tempat ditemukannya sampel rambut harimau jawa di Desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan.

Publikasi penelitian ini menarik perhatian publik. Penelitian tersebut memantik kontroversi karena harimau jawa diyakini sudah punah.

Tangkapan layar peta satelit Google Maps lokasi penemuan bulu harimau di Cipeundeuy, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. (Sumber: Aplikasi Google Maps)
Tangkapan layar peta satelit Google Maps lokasi penemuan bulu harimau di Cipeundeuy, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. (Sumber: Aplikasi Google Maps)
Harimau Jawa

Di Indonesia hidup tiga subspesies harimau Panthera tigris. Yakni harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, harimau jawa Panthera tigris sondaica, dan harimau bali Panthera tigris balica. Dari tiga subspesies Panthera tigris tersebut hanya tersisa harimau sumatera Panthera tigris sumatrae yang hidup di alam liar di Pulau Sumatra dan itu pun sudah terancam punah.

IUCN (International Union for Conservation of Nature) telah menetapkan status harimau jawa dan

harimau bali telah punah. Harimau Bali diyakini telah punah sejak tahun 1940-an dan harimau jawa sekitar tahun 1980-an. Kendati demikian sejumlah laporan saksi mata masih menyaksikan penampakan harimau jawa kendati tidak bisa dibuktikan. Situs extinctanimals.org misalnya mengumpulkan kesaksian penampakan harimau jawa di Jawa Timur tahun 1995, Gunung Lawu tahun 2009, serta saat letusan Gunung Merapi pada Oktober 2010; tidak ada bukti penguat yang mendukung kesaksian-kesaksian tersebut.

Pada tahun 2021 IUCN memasukkan spesies harimau Panthera tigris dalam Daftar Merah (Red List) kategori Endangered atau terancam punah karena populasinya di dunia terus menurun dalam 30 tahun terakhir. Populasi harimau sendiri tersebar di 13 negara. Indonesia salah satunya.

Laporan Peter Jackson, Chairman Cat Specialist Group Species Survival Commission IUCN, dalam The Status of the Tiger in 1993 menyebutkan subspesies Panthera tigris balica (harimau bali) dilaporkan telah menghilang tahun 1940-an. Sementara harimau jawa atau Pantera tigris sondaica sudah tidak terkonfirmasi kembali keberadaannya sejak tahun 1980. Sementara harimau sumatera yang masih dilaporkan masih ada di alam liar di Sumatera dengan jumlah populasi saat itu diperkirakan antara 400-500 ekor.

Penelitian L. Treep dengan judul "On the Tiger in Indonesia (with Special Reference To Its Status and Conservation), Wageningen, The Netherlands" yang disusunnya untuk studi doktor di Universitas Wageningen, Belanda, pada tahun 1973 menyebutkan populasi harimau jawa hanya tersisa di Ujung Kulon dan Taman Nasional Meru Betiri. Deskripsi Treep menyebutkan bahwa harimau jawa memiliki postur yang mirip dengan harimau sumatera, yang membedakan warnanya yang cenderung lebih gelap, dengan pola garis hitam yang lebih rapat. Postur harimau bali sendiri lebih kecil ketimbang kerabatnya di Sumatera dan Jawa. Harimau jawa dan harimau bali memiliki dahi lebih lebar dan bentuk hidung yang lebih lebar dan panjang dibandingkan dengan harimau sumatera.

Treep merujuk sejumlah laporan peneliti harimau jawa di Ujung Kulon. Di antaranya laporan Talbot tahun 1960 yang menyebutkan jumlah harimau jawa di Ujung Kulon diperkirakan tersisa 10-12 ekor dan jumlah seluruhnya di Pulau Jawa diperkirakan hanya tinggal 20-25 ekor. Sementara laporan Schenkel yang meneliti badak di Ujung Kulon tahun 1967 menyebutkan harimau jawa telah punah di sana. Laporan Andries Hoogerwerf, naturalis sekaligus ahli konservasi asal Belanda yang rutin mengunjungi Ujung Kulon sejak tahun 1957 menguatkannya. Hoogerwerf melaporkan pada tahun 1970 sudah tidak menemukan lagi jejak harimau Jawa di Ujung Kulon. Sebelumnya ia pernah menemukan 15 individu harimau jawa di Ujung Kulon. Tahun 1972, Hoogerwerf menyimpulkan dirinya juga meragukan harimau jawa masih hidup di Ujung Kulon.

Treep selanjutnya menyebutkan bahwa laporan terakhir penampakan harimau jawa ada di kawasan Meru Betiri di kawasan hutan yang berada di antar Banyuwangi dan Jember di Jawa Timur. Laporan penampakan harimau jawa tersebut berasal dari kesaksian mahasiswa Indonesia yang tengah melakukan suvei botani di Meru Betiri tahun 1969 yang mengaku menyaksikan penampakan 12 individu harimau jawa, selanjutnya petugas Departemen Kehutanan juga menguatkannya dengan menyebutkan melihat 4 individu harimau jawa di sana. Hoogerwert kemudian diminta menyelidikinya.

Tahun 1971 Hoogerwert  memulai pemeriksaan di sana dan mendapati jejak harimau di tepi sungai yang berada di sungai di kawasan Sukamade di Meru Betiri. Hoogerwerf juga menemui David Madikesuma manajer Resor Sukamade di Meru Betiri yang mengakui telah membunuh seekor harimau yang telah memangsa 21 kambing dan menyerang manusia di sana. Hoogerwerf sempat menjelajahi kawasan Meru Betiri yang memiliki luas 40 ribu hektare selama 16 hari untuk menemukan jejak harimau jawa di sana. Sembari menjelajah, ia mengamati keberadaan banteng, kijang, rusa, babi hutan, monyet, dan hewan-hewan lainnya yang berpotensi menjadi mangsa harimau jawa. Lewat penjelajahan dan pengamatannya, Hoogerwert malah meragukan kawasan Meru Betiri bisa menjadi habitat Harimau Jawa mengingat persaingan ketat dan terbatasnya hewan-hewan yang bisa dimangsa predator puncak tersebut.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #1
NGULIK BANDUNG: Kisah Badak di Gunung-gunung Bandung
NGULIK BANDUNG: Paus Biru van Garut

Tangkapan layar sketsa peta kawasan Meru Betiri di Jawa Timur dalam Treep, L. Treep, On the Tiger in Indonesia (1973). (Sumber: cats.org)
Tangkapan layar sketsa peta kawasan Meru Betiri di Jawa Timur dalam Treep, L. Treep, On the Tiger in Indonesia (1973). (Sumber: cats.org)

Hilang di Meru Betiri

Laporan John Seidensticker dan Suyono yang disusun atas kerja sama WWF, IUCN, dan Direktotrat Jenderal Kehutanan Indonesia berjudul "The Javan Tiger and the Meru-Betiri Reserve A Plan for Management" yang terbit tahun 1980 menyebutkan kawasan Meru Betiri yang menjadi habitat satu-satunya tumbuhan Raffelsia zollingeriana dan tumbuhan parasit Balanophora fungosa menjadi satu-satunya habitat terakhir Harimau Jawa di seantero Pulau Jawa. Harimau jawa memang bukan satu-satunya predator di sana. Meru Betiri juga menjadi habitat predator lainnya yakni macan tutul jawa, kucing bakau, ajak, serta kucing batu.

Laporan Seidensticker dan Suyono disusun dari survei yang dilakukan di area Meru Betiri yang berlangsung antara Juni-September 1976. Survei ini mendapati populasi kecil harimau jawa di Meru Betiri. Survei hanya menemukan 3 ekor harimau jawa yang hidup di area timur Gunung Betiri di dekat area pesisir pantai selatan, berada di lembah Sukamade di dekat perbatasan perkebunan kopi dan karet warga.

"We found hard evidence of the occurrence of only three tigers, and we believe there are no more than four or, at the most, five tigers living in the area," demikian laporan Seidensticker dan Suyono (1980). 

Dalam laporannya, Seidensticker dan Suyono tersebut merekomednasikan agar kawasan Meru Betiri harus dikelola sedemikian rupa untuk membantu pemulihan populasi harimau jawa dengan menaikkan statusnya dari Suaka Margasatwa menjadi kawasan Cagar Alam. Dengan cara tersebut Meru Betiri bisa secepatnya dilindungi dari interupsi manusia sekaligus membantu pemulihan habitat banteng dan rusa yang menjadi makanan harimau jawa.

Tiga sampai empat individu harimau jawa yang ditemukan lewat survei di Meru Betiri tahun 1976 akhirnya menjadi laporan terakhir penampakan predator puncak di tanah Jawa. Upaya memastikan ada tidaknya Harimau Jawa yang tersisa di Meru Betiri masih terus dilakukan. Sepanjang tahun 1999-2000 misalnya dilakukan survei sekaligus sensus flora dan fauna di Taman Nasional Meru Betiri. Tak hanya itu upaya pencarian dengan memasang kamera inframerah hingga kamera video trap juga dilakukan. Namun, hasilnya nihil.

IUCN kemudian mengumumkan asessment untuk status Daftar Merah untuk Harimau Jawa dengan menetapkannya dalam status Extinct atau punah pada tahun 2003. Dalam penetapan status punah tersebut disebutkan Nowell, K. (Cat Specialist Group) sebagai assesor; serta P. Jackson, U. Breitenmoser, C. Breitenmoser-Wursten, dan K. Nowell(Cat Red List Authority) sebagai reviewer.

Dalam penjelasannya, Harimau Jawa yang tersebar luas di habitatnya di Pulau Jawa pada tahun1800-an akhirnya hanya tersisa di Cagar Alam Meru Betiri pada tahun 1970. Survei tahun 1976 mendapatkan konfirmasi positif keberadaan harimau jawa di sana. Namun setelah itu tidak pernah terkonfirmasi lagi keberadaan harimau jawa. IUCN menyebutkan, penyebab utama penurunan harimau jawa adalah perburuan dan hilangnya habitat hutan. Hilangnya harimau jawa dari Cagar Alam Meru Betiri akibat tidak ada mangsa liar dan cocok, serta tidak ada penangkaran harimau jawa di sana.

Pengelola Taman Nasional Meru Betiri masih meyakini Harimau Jawa masih ada. Pemasangan kamera video trap masih terus dilakukan. Pada tahun 2018 misalnya, kamera trap yang dipasang di Taman Nasiona Meru Betiri untuk menemukan keberadaan harimau jawa sudah terpasang menembus 60 unit (Antaranews.com).

Pada tahun 2021 sudah terpasang 106 kamera vide trap di Taman Nasional Meru Betiri. Kendati penampakan harimau jawa tak kunjung tertangkap, kamera video trap tersebut berhasil mengidentifikasi keberadaan 50-53 individu macan tutul jawa yang juga menjadi spesies kucing besar endemis Jawa yang statusnya dilindung karena terancam punah. Populasi macan tutul jawa di Meru Betiri tahun 2017 teridentifikasi 15 ekor saja, dan pada tahun 2021 yang teridentifikasi bertambah menjadi 35 ekor (detik.com). (Bersambung)

*Kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Satwa Liar

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//