• Indonesia
  • Paradigma Orang Muda terhadap Keputusan Menikah Cenderung Bergeser

Paradigma Orang Muda terhadap Keputusan Menikah Cenderung Bergeser

Jumlah pernikahan di Indonesia turun tajam di tahun 2023 yang mencapai 1.577.255 pernikahan dibandingkan satu dekade sebelumnya yang mencapai 2.110.776 pernikahan.

Novi dari Iteung Gugat membacakan puisi yang terinspirasi kasih pernikahan anak, di Tepi Kota Healing, Sabtu, 11 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul15 Mei 2024


BandungBergerak.idPernikahan kini bukan lagi menjadi pilihan atau prioritas utama bagi orang muda. Ada banyak pilihan alternatif yang muncul seiring dampak dari pernikahan. Kejadian-kejadian buruk tentang pernikahan yang berseliweran di media sosial juga menjadi bahan pertimbangan bagi orang muda untuk tidak buru-buru menikah.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Statistik Indonesia 2024, jumlah registrasi pernikahan pada tahun 2023 merupakan yang paling rendah dalam rentang satu dekade. Jumlah pernikahan pada tahun 2023 mencapai 1.577.255 pernikahan, angka ini turun 128 ribu dibandingkan tahun sebelumnya. Angka pernikahan tahun 2023 bahkan turun menukik dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 2.110.776.

Psikolog klinis dewasa Roselli Kezie Ausie mengatakan, sepanjang menjadi praktisi psikologi ia tidak bisa menampik kalau pernikahan adalah isu kompleks yang harus dilihat dari berbagai perspektif. Pergeseran keputusan orang muda tentang pernikahan terjadi karena ada perubahan believe dalam perspektif mereka

“Sekarang anak muda dipaparkan oleh banyak sekali pilihan. Karena ini, sehingga pernikahan yang tadinya sebagai jalan yang jelas yang harus diambil, sekarang enggak lagi jadi path yang jelas dan harus diambil,” ungkap Kezie dalam diskusi Panggung Ekspresi yang diselenggarakan Jaringan Advokasi Jawa Barat (JAJ) Youth, Tepi Kota Healing, Sabtu, 11 Mei 2024.

Zaman dulu, pernikahan merupakan sebuah jalan yang jelas yang dituntut untuk diambil oleh semua orang. Pernikahan juga memiliki nilai prestisius tersendiri, yang dipandang sebagai salah satu bentuk kesuksesan. Namun dewasa ini orang muda meilah pernikahan bukan lagi menjadi satu-satunya pilihan. Orang muda bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau meniti karier.

Kezie menilai, fenomena orang muda yang menunda pernikahan secara psikologis ada baiknya. Mereka akan lebih mempersiapkan apa yang akan dihadapi sebelum menikah. Maka, belakangan orang-orang muda familiar dengan konseling pranikah. Adapun secara makro, jika angka penurunan pernikahan terus turun secara jangka panjang akan menumbuhkan banyak persoalan, terkait kependudukan.

Dalam memutuskan menikah atau tidak, lanjut Kezie, ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu yang kentara adalah bagaimana seorang anak memandang hubungan dari sosok di keluarga. Sebab, pandangan tentang pernikahan sudah terbentuk sejak anak mengobservasi dan mengalami proses dalam relasi keluarga.

Misalnya, ketika anak sering melihat orang tuanya bertengkar yang sampai mengeluarkan kata-kata kasar, hingga kekerasa fisik. Hal ini akan mendorong anak untuk melihat konflik sebagai suatu hal yang menakutkan. Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang perlu dihindari. Sebaliknya, jika melihat orang tua bertengkar, meskipun berdebat dan berbeda pendapat, tapi nantinya bisa diselesaikan dengan dibicarakan, diskusi, kompromi, karena ada toleransi.

“Ketika tumbuh dewasa, dia tidak takut dengan konflik. Karena ketika ketemu konflik, dia tahu suatu hari nanti akan selesai. Pengalaman-pengalaman itu yang membentuk seseorang tentang suatu hal, termasuk pernikahan,” jelas Kezie yang juga merupakan dosen psikolog di Universitas Kristen Maranatha.

Adapun berkaitan ramainya pemberitaan maupun konten-konten tentang kisah buruk dalam pernikahan, Kezie menyebut bahwa konten-konten macam itu akan memberi pengaruh dalam mengambil keputusan. Tapi tidak tunggal. Interaksi lain, di antaranya pengalaman dan preferensi juga akan menjadi pengaruh dalam mengambil keputusan.

Kezie menekankan kepada orang muda pentingnya tahu batasan diri. Ketika melihat konten-konten buruk tentang pernikahan atau hal lain dan akan memicu trauma, lebih baik berhenti. Sebab setiap individu punya pengalaman mengelola trauma yang berbeda-beda.

Roselli Kezie Ausie juga berpesan kepada keluarga yang memegang kunci penting. Keluarga yang baik dapat mengajarkan anak bagaimana cara menyelesaikan konflik dan hal ini adalah investasi agar anak bisa membangun relasi sosial yang sehat. Adapun pada level individu, ia mengajak kepada orang muda untuk memperakaya diri dengan informasi bagaimana menjadi pasangan yang ideal sebelum menikah.

Baca Juga: Orang-orang Muda sebagai Pembuka Gerbang Toleransi dan Inklusi Sosial
Orang Muda Jawa Barat Berkontribusi dalam Menghasilkan Solusi Menghadapi Krisis Iklim
Setelah Diguncang Dirty Vote, Apa yang Bisa Dilakukan Orang Muda?

Sesi Diskusi tentang pernikahan yang diisi oleh Psikolog Klinis Dewasa, Kezie (paling kiri), pemerhati isu anak dan perempuan, Dewi (tengah) pada kegiatan Panggung Ekspresi di Tepi Kota Healing, Sabtu, 11 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Sesi Diskusi tentang pernikahan yang diisi oleh Psikolog Klinis Dewasa, Kezie (paling kiri), pemerhati isu anak dan perempuan, Dewi (tengah) pada kegiatan Panggung Ekspresi di Tepi Kota Healing, Sabtu, 11 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Resiliens dan Pernikahan yang Berkeadilan Gender

Pemerhati isu hak anak dan pendiri Ibu Belajar Bandung Nurkumalah Dewi mengamani fenomena kecenderungan orang muda dalam melihat pernikahan tidak bisa lepas dari media sosial. Sayangnya, konten yang diposting oleh kreator dan dilahap oleh orang muda berkaitan dengan prinsip relateability atau kesesuaian.

Memang semua orang tidak ingin melihat konten yang buruk. Pada konteks pernikahan, kebanyakan orang pasti ingin melihat konten tentang pernikahan yang sesuai dengan keinginan dan impian. Namun begitu, konten pernikahan yang dibuat oleh para kreator, bisa jadi bukan kondisi yang sebenarnya, melainkan ‘dibuat’ sedemikian rupa.

“Apa yang kita dapati di media sosial bisa jadi itu adalah fake situation. Bukan suatu hal yang mungkin seperti sebenar-benarnya yang kita lihat,” terang Dewi, juga dalam sesi diskusi.

Namun begitu, pesan Dewi kepada orang muda, baik dan buruk kondisi dalam pernikahan yang perlu dijadikan fokus adalah resiliensi. Daya penting untuk bangkit setelah menghadapi masalah. Ketika menemui masalah, pilihannya ada dua: beradaptasi dengan masalah atau menjadi masalah baru.

“Orang muda sekarang harus fokus dan punya kemampuan lebih untuk mengembangkan resiliensinya,” pesan Dewi.

Ada empat indikator resiliensi, yaitu mampu memecahkan masalah, bangkit dari kekecewaan dan trauma, mengembangkan tujuan, dan berinterkasi lagi dengan nyaman. Resiliens, selain menjadi fokus yang perlu dikembangkan anak muda, perlu dilatih sejak dini sebagai kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan.

Di samping itu, Dewi menilai konstruksi pernikahan di Indonesia masih sangat kental dengan budaya partriarki. Namun, membangun pernikahan yang berkeadilan gender bukanlah hal yang utopis. Kuncinya adalah bukan hanya memimpikan pernikahan yang berkeadilan gender, tapi menciptakannya bersama.

“Membangun rumah tangga yang berkeadilan gender itu bukan hanya menjadi mimpi belaka, tapi harus di-create, harus kita ciptakan sendiri,” terang Dewi.

Nurkumalah Dewi tidak sepakat bahwa beban rumah tangga menitiberatkan kepada istri. Beban rumah tangga harus sama-sama dipikul oleh suami maupun istri. Makanya Dewi menekankan kepada pemerintah untuk membuat modul pengasuhan yang berkeadilan gender. Kebanyakan modul pengasuhan masih menitikberatkan hanya pada peran ibu.

Modul yang berkeadilan gender harus menjadi komitmen pemerintah, bahwa fungsi kontrol dan afeksi melekat pada masing-masing figur dalam kelurga. Selama ini fungsi afeksi diasosiakan pada figur ibu, fungsi kontrol diasosiasikan pada figur ayah.

Panggung Ekspresi 2024

Panggung Ekspresi 2024 yang berlangsung santai dan hangat itu merupakan bentuk kampanye publik tentang pilihan-pilihan orang muda tentang perkawinan yang diselenggarakan oleh JAJ Youth. Isu perkawinan dipilih karena mendapat banyak sorotan dan merundung pernikahan pada orang muda, seperti pandangan mengenai childfree, kasus-kasus perceraian, perselingkuhan, dan lainnya.

Selain diskusi yang diisi oleh psikolog dan pengamat isu perempuan dan anak, kegiatan Panggung Ekspresi juga berisi penampilan seni tentang pernikahan dan dongeng. Noviyanti dari Iteung Gugat menampikan sebuah puisi yang terinspirasi dari cerita pernikahan yang "memaksa" bagi perempuan.

“Pilihan apa pun yang kita pandang untuk pernikahan, itu valid bagi perempuan,” ungkap Noviyanti.

Ratimayya menampilkan sebuah dongeng tentang anak yang dinikahkan sejak berusia 15 tahun. Di ujung dongengnya, Ratimayya menyatkaan, pernikahan dini adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Ada juga penampilan dialog dari Samana Teater yang menceritakan kehidupan pernikahan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Orang Muda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//