• Berita
  • Setelah Diguncang Dirty Vote, Apa yang Bisa Dilakukan Orang Muda?

Setelah Diguncang Dirty Vote, Apa yang Bisa Dilakukan Orang Muda?

Film Dirty Vote, sama seperti film Sexy Killers yang tayang di tahun politik, membuka mata tentang defisit demokrasi. Orang muda mesti bersikap.

Dandhy Laksono (pegang mic) dan narasumber film Dirty Vote di Unpar, Bandung, Jumat, 23 Februari 2024. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah26 Februari 2024


BandungBergerak.id - Dirty Vote sempat mengguncangkan masyarakat di tengah masa tenang pemilu 2024 lalu. Asumsi-asumsi liar pun muncul mengelilingi film besutan tim Dandhy Laksono tersebut. Kemudian timbul pertanyaan, setelah Dirty Vote, lalu apa? “Lihatlah sang Garuda telah dieksekusi oleh para politisi. Namun, inilah pesta pora democrazy!.”

Demikian penggalan puisi yang dibawakan oleh pegiat Satre (Sastra dan Teater) Unpar yang menjadi awal pembuka acara diskusi ‘Setelah Dirty Vote’ yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpar yang bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, BandungBergerak.id, dan Media Parahyangan di Gedung PPAG Utara Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jumat, 23 Februari 2024.

Diskusi ini dihadiri oleh sutradara film Dandhy Laksono, dan narasumber-narasumber film Feri Amsari (Dosen FH Unand), Bivitri Susanti (Dosen STHI Jentera), dan Zainal Arifin Mochtar (Dosen FH UGM).

Kemunculan Dirty Vote menjelang masa tenang Pemilu 2024 pada tanggal 11 Februari 2024 sukses mengguncang publik. Film ini memaparkan secara sistematis kecurangan pemilu yang sudah dirancang jauh-jauh hari.

Hadirnya film berdurasi 1 jam 57 menit ini tentu tidak hanya diiringi dengan sambutan antusias bernada positif, tetapi juga bernada negatif. Beberapa jam setelah perilisan film tersebut di YouTube, TKN Prabowo-Gibran menyebut film itu fitnah tidak berdasar. Beberapa masyarakat juga merasa bahwa film ini dirilis untuk menyudutkan salah satu pasangan calon presiden.

‘Setelah Dirty Vote’ hadir untuk menjawab asumsi-asumsi liar masyarakat yang menyatakan film ini menjatuhkan salah satu paslon tertentu dan juga mempertanyakan langkah selanjutnya setelah film ini tayang dan beredar di masyarakat.

Tidak Bersifat Elektoral

Dandhy Laksono menyampaikan, film ini tidak bersifat untuk menjatuhakan elektoral paslon mana pun. Dia menjelaskan film sebelumnya, Sexy Killers yang juga sukses dilirik banyak orang. Baik Dirty Vote maupun Sexy Killers sama-sama terbit ketika kontestasi pemilu sedang terjadi.

“Mungkin sulit dipahami, dipercaya bahwa dua film itu sama sekali lahir tidak direncanakan,” ujar Dandhy di awal diskusi.

Sexy Killers sendiri merupakan hasil dari Ekspedisi Indonesia Biru dan sudah mulai di-shoot pada tahun 2015. Karena isunya kompleks, film ini membutuhkan waktu empat tahun untuk menambah riset dan juga footage. Namun, ketika memasuki tahun politik 2019 dan melihat adanya kemiripan nama-nama antara tim kampanye kedua capres dan juga dalam hasil riset batubara yang sudah dilakukan, maka tim pun mengganti tema film ini tidak hanya sekadar membahas mengenai isu energi tetapi isu ekonomi politik.

Hal itu pun berlaku dengan film Dirty Vote. Dandhy mengaku sebelumnya ia idak mempunyai pikiran untuk membuat film ini. Namun lewat podcast Feri, Dandhy merasa ke-trigger tentang ‘omon-omon’ beberapa permasalahan yang terjadi. Dandhy berpikir jika memvisualisasikan apa yang dikatakan Feri dalam podcast-nya akan menarik. Ia teringat salah satu film Algor, yang kemudian menjadi referensi untuk film Dirty Vote, yaitu An Inconvenient Truth.

Setelah menghubungi Feri dan mendengarkan penjelasan lebih komprehensif dari hasil risetnya, tantangan Dandhy terletak pada story telling riset tersebut. Bagaimana caranya mengolah hal itu menjadi menarik dan tidak membuat orang mengantuk. Maka, Dandhy pun turut mengajak Mbak Bibib (Bivitri Susanti) dan Mas Uceng (Zainal Arifin Mochtar) untuk bergabung dalam film ini.

“Jadi teman-teman, mulai dari ide Dirty Vote sampai filmnya bisa ditonton hanya tiga minggu,” ujar sang sutradara mengenai pembuatan film Dirty Vote.

Di tengah gempuran konten video singkat, Dandhy tidak ragu menampilkan video berdurasi panjang. Menurutnya kita tidak boleh terbawa arus algoritma yang ada, justru kita harus menciptakan algoritma kita sendiri. Maka, ia mempersilakan siapa saja yang ingin mencacah film itu dalam beberapa bagian video pendek dan dibagikan di platform media sosial lain seperti Tiktok.

Kristian Wicaksono (Adm. Publik Unpar) penanggap menyebut film Dirty Vote sebagai pengganggu pikiran para pemilih. Ia khawatir jika di masa kini, orang-orang lebih cenderung mendengarkan apa yang ingin mereka dengar. Maka kehadiran Dirty Vote ini merupakan hal yang bagus.

“Karena kalau kita gak diganggu, kita gak akan pernah bisa mengkritisi tentang sebenarnya apa yang sedang terjadi. Apakah pilihan saya sudah tepat atau belum?” ujar Kristian.

Selain menanggapi film Dirty Vote, Kristian juga menyinggung soal situasi demokrasi Indonesia yang sedang mengalami masa defisit. Situasi ini ditandai dengan adanya pewarisan kewenangan yang seharusnya sudah tidak lagi berkonsep demokrasi tradisional di era reformasi.

Dandhy membenarkan apa yang dikatakan Kristian secara konteks filosofis. Memang hal itulah yang ingin ditonjolkan Dandhy dan rekan-rekan, bahwa semua sistem pemilihan tersebut sudah dirancang sedemikian rupa.

“Kalau dikatakan, ‘gak ngaruh tuh Dirty Vote, buktinya 02 menang.’ Sebaliknya, dong. Kami bisa meramalkan 02 pasti menang,” ujar Dandhy.

Pembacaan puisi kritis membuka diskusi film Dirty Vote di Unpar, Bandung, Jumat, 23 Februari 2024. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak.id)
Pembacaan puisi kritis membuka diskusi film Dirty Vote di Unpar, Bandung, Jumat, 23 Februari 2024. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak.id)

Tidak Hanya Berhenti di 2024

Zainal Arifin Mochtar atau akrab disapa Mas Uceng menyampaikan ada tiga alasan mengapa ia memutuskan mengikuti projek ini. Selain karena ajakan Dandhy, ia menganggap sarana film merupakan hal baru dalam menyampaikan suatu hal dan memang rezim ini perlu mendapat teguran lewat cara apa pun.

Ahli hukum tata negara dari FH UGM ini mengatakan, rezim saat ini tidak menawarkan hal yang mencerdaskan bagi rakyatnya. Bahkan dengan fenomena yang beredar, semuanya hanyalah opini belaka. Tidak ada riset yang menjelaskan mengapa orang-orang memilih Prabowo dan bukannya Ganjar ataupun alasan orang tidak memilih Anies dan lain sebagainya.

“Orang yang kemudian mungkin bias dengan masyarakat kecil, dia akan mengatakan, ‘ya, karena orang kita bodoh. Mau ditipu,’ kira-kira gitu. Saya tidak mau menggunakan kesimpulan itu. Karena saya tidak pernah melakukan riset, sosiologis misalnya,” jelas Zainal.

Baginya film ini dibuat karena perjuangan ini harus panjang. Jadi, bukan hanya menjadi penghukuman di tahun 2024 saja tetapi di tahun-tahun berikutnya.

Hal ini pula yang turut disampaikan Bivitri Susanti. Ketika ada seorang peserta bertanya apakah kita ke depannya masih mempunyai harapan. Bivitri menjawab, perlawanan tidak memiliki tolok ukur keberhasilan program.

“Melawan adalah ketika kita terus menerus mempertanyakan, kita kritik, kita melawan kemapanan pikiran-pikiran yang selama ini dianggap sudah final,” ujar Bivitri mencoba menjelaskan apa itu perlawanan yang bukan terpatok pada tolok ukur keberhasilan program.

Bivitri menganggap Dirty Vote sebagai sebuah ‘stimulan’ bagi orang-orang yang ingin melakukan perlawanan. Bahkan, ia mempersilahkan orang-orang atau anak muda jika ingin membuat film Dirty Vote kedua.

“Atau teman-teman mau bikin pendidikan-pendidikan politik di komunitas temen-temen masing-masing, itu juga bakal keren banget. Dan menurut saya ini yang memang dibutuhkan,” kata Bivitri, yang merupakan dosen dari STHI Jentera.

Feri Amsari pun mengatakan, kita tidak boleh putus asa dengan kondisi yang sedang terjadi. Hal yang paling penting dilakukan saat ini adalah memikirkan cara untuk bersatu dan memperbaiki keadaan yang ada.

“Kalau saya tidak ada Arya Saloka dan Amanda Manopo ini, saya akan merasa kok ‘sendirian ya berjuang?’ Karena kalau bersama mereka rasa untuk melakukan sesuatu meskipun gagal, itu akan terus hidup,” ujar Feri yang sempat mengundang tawa ketika menyebut Zainal Arifin dengan Bivitri Susanti dengan nama artis terkenal.

Baca Juga: Omon-omon Dirty Vote, Mencari Simpul Kekuatan Bersama Akar Rumput Pascapemilu 2024
Mengkriminalkan Tim Film dan Narasumber Dirty Vote, Membungkam Masyarakat Kritis
Ekspedisi Indonesia Baru, dari Nasib Ibu Poniyem sampai Film Dragon for Sale

Cover film Dirty Vote. (Foto: YouTube PSHK IndonesiaI
Cover film Dirty Vote. (Foto: YouTube PSHK IndonesiaI

Pandangan Orang Muda

Shintia Maharani, mahasiswi FH Unpar, salah seorang dari sekian banyak orang muda yang telah menonton Dirty Vote hingga tuntas, mengaku sebagai mahasiswi hukum ia menyukai berita-berita terkait politik hukum. Ia menganggap apa yang dijelaskan Dirty Vote bukanlah suatu hal yang baru dan beberapa hal yang dipaparkan dalam film itu sudah ia ketahui.

“Film ini sangat berguna. Karena kemudian secara sistematis mereka memaparkan runtutan kejadian-kejadian yang dilakukan oleh presiden untuk memenangkan salah satu paslon,” ujar Shintia, yang memang datang ke acara diskusi ini untuk menambah wawasan soal kemunduran demokrasi saat ini.

Saat sesi tanya jawab terakhir, dia sempat bertanya kepada narasumber, khususnya Zainal Arifin Mochtar, mengenai adanya gap pemikiran antara kaum intelektual dan kelas menengah ke bawah. Hal ini yang kemudian dijawab oleh Zainal bahwa anak-anak muda jangan melupakan sisi kritisnya dan juga coba melacak kembali kemiskinan yang ada di Indonesia.

Terkait pertanyaannya itu, mahasiswi semester empat ini menyampaikan masih banyak anak-anak muda yang mendapatkan banyak sekali akses dalam informasi dan pendidikan malah abai begitu saja dengan fakta bahwa adanya kesenjangan sosial yang terjadi. Ia sempat merasakan berada di kondisi susah, maka ia tidak heran jika banyak masyarakat kelas menengah ke bawah masih bisa tergiur dengan politik gentong babi dibandingkan menyadari jika demokrasi di Indonesia memasuki masa genting.

"Saya sangat berharap agar teman-teman yang punya priviledge ini untuk bisa mencoba melihat ke bawah kondisi mereka. Lalu setelah itu berusaha memahami, kira-kira apa yang tidak mereka dapatkan," kata Shintia, mengungkapkan harapannya yang sederhana.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Film Dirty Vote

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//