Mengkriminalkan Tim Film dan Narasumber Dirty Vote, Membungkam Masyarakat Kritis
Film Dirty Vote berisi kajian kritis berdasarkan fakta-fakta yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam berbagai karya jurnalistik.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah16 Februari 2024
BandungBergerak.id – Tim pembuat film dokumenter Dirty Vote yang bercerita tentang data riset soal kecurangan menjelang pencalonan dan pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024, dilaporkan ke Mabes Polri dengan tudingan kampanye hitam (black campaign) terhadap paslon Pilpres 2024 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Film yang disutradari Dandhy Laksono ini menampilkan tiga pakar tata negara sebagai narasumber, yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti. Selain tim pembuat film, ketiga narasumber tersebut turut dilaporkan.
Film berdurasi 1 jam 57 menit ini diluncurkan di YouTube pertama kali, Minggu 11 Februari 2024. Sedikitnya 16 juta penonton telah menonton film ini. Pihak pelapor adalah Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi), organisasi santri yang sempat menyatakan dukungannya pada pasangan Prabowo-Gibran sebagaimana terlihat pada akun Instagram @santri_indonesia.02.
Selain menuding kampanye hitam, DPP Foksi menyatakan bahwa penayangan film melanggar ketentuan masa tenang pemilu. Pelapor berharap tim dan narasumber film diusut dengan Pasal 287 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 280 dan 287.
Pelaporan tersebut mendapat kecaman dari Koalisi Masyarakat Sipil. Koalisi beralasan, film dokumenter ini diproduksi secara kolaboratif antara masyarakat sipil dan jurnalis. Di antara masyarakat sipil yang terlibat adalah Aliansi Jurnalis Independ (AJI), Bangsa Mahardhika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace, ICW, JATAM, Jeda untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, WALHI, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. Pembiayaan film ini juga berasal dari sumbangan individu dan organisasi masyarakat sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dengan 12 organisasi juga memandang film dokumenter besutan Dandhy Laksono yang memuat kajian kritis Pemilu 2024 tidak dalam rangka melakukan kampanye hitam dan mengguntungkan atau merugikan peserta tertentu.
“Sebaliknya, dokumenter ini merupakan kajian kritis berdasarkan fakta-fakta yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam berbagai karya jurnalistik. Seluruh kandidat capres-cawapres yang berkontribusi pada bentuk-bentuk dugaan kecurangan Pemilu 2024,” tulis Koalisi dalam siaran pers yang diterima BandungBergerak.id, Kamis 15 Februari 2024.
Koalisi menilai, pelaporan ini sebagai bentuk mengkriminalkan (kriminalisasi). Selain itu, tudingan dan laporan ini menjadi pola-pola serangan balik terhadap kritik sebelumnya ke pemerintah. Kriminalisasi juga dapat mendiskreditkan para pengkritik dan pengungkap fakta dengan tuduhan negatif.
“Salah satunya menuduh pengkritik merupakan bagian dari lawan politik atau killing the messenger. Narasi-narasi ini biasanya berlanjut dengan langkah hukum berupa pelaporan ke kepolisian untuk menekan para pengkritik atau setidaknya mengaburkan substansi kritik dalam percakapan publik,” jelas Koalisi.
Tundingan yang diarahkan terhadap film Dirty Vote juga bersifat cacat logika. Sebab, Koalisi menegaskan fakta-fakta pelanggaran pemilu harus diungkap ke publik melalui berbagai kanal sehingga bisa diproses oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Baca Juga: Hasil Pemilu 2024 Dibayang-bayangi Pelemahan Demokrasi
Omon-omon Dirty Vote, Mencari Simpul Kekuatan Bersama Akar Rumput Pascapemilu 2024
Demonstrasi Koalisi Rakyat Demokratik di Bandung, Oposisi Bagian dari Demokrasi
Kecurangan yang Dinormalisasi
Sutradara film Dirty Vote Dandhy Lasksono menyebutkan, ide kreatif pembuatan film ini bersumber dari berita-berita yang berseliweran saat proses pencalonan dan kampanye pemilihan capres dan cawapres Pilpres 2024.
“Kita melihat berita sehari-hari, menteri yang kampanye, menteri yang gak malu-malu lagi mengatakan bantuan sosial ini dari presiden. Kok, kayanya jadi penghancur standar normalnya ya,” ujar Dandhy Laksono, pada tayangan wawancara Dirty Vote, diakses Kamis, 15 Februari 2024.
Jurnalis investigasi yang sering mengkritik kebijakan pemerintah melalui film-film dokumenter ini menuturkan mengapa film Dirty Vote tayang di masa tenang pascakampanye Pemilu 2024. Film ini mengambil relevansi dengan kejadian yang tengah terjadi, selain karena proses produksi yang menyebabkan munculnya di masa tenang.
“Karena kita mau nunjukin bagaimana pemilu ini sangat rendah kualitas legitimasinya atau dalam bahasa para narasumber adalah curang. Simpel karena memang konten sudah banyak muncul di masa kampanye tapi selalu ketiban dengan semua narasi tentang kampanye. Saya menunggu orang-orang selesai dengan hiruk pikuk politik dan saatnya memikirkan hal yang subtansial,” ujar Dandhy yang juga sutradara film Sexy Killer.
Alasan lain, jika film ini diputar di masa kampanye bisa jadi tim film dianggap menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Dandhy juga mempertanyakan aturan apa yang ia langgar jika menggeluarkan konten atau film yang sebelumnya sudah beredar luas di media massa atau daring.
“Apa hukuman yang dilanggar dengan menggeluarkan konten sekarang?” jelas Dandhy. Menurutnya, konten di filmnya sudah muncul setiap hari di masa kampanye tetapi banyak orang yang kurang menyadarinya. “Ya ini (masa tenang) pilihan strategis (untuk menayangkan film),” tandas penulis buku “Indonesia For Sale” ini.
Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil
Adanya upaya kriminalisasi terhadap film yang sejatinya memaparkan fakta-fakta kecurangan Pemilu 2024, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan sebagai berikut:
1. Menolak kriminalisasi terhadap para pengkritik termasuk terhadap para pakar hukum dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film Dirty Vote baik dengan UU Pemilu atau ketentuan pidana lainnya.
2. Meminta pemerintah, aparatur negara, partai politik, para calon presiden dan wakil presiden, para kontestan pemilu, serta para pendukung mereka, tidak alergi terhadap kritik yang disampaikan publik, termasuk fakta-fakta kecurangan pemilu.
3. Mendesak Kepolisian RI, Bawaslu, Kejaksaan RI, dan lembaga lainnya tidak mengikuti kehendak atau narasi para pelapor dan pihak-pihak yang antikritik untuk memidanakan para tokoh dan pembuat film Dirty Vote. Sehingga sudah semestinya, laporan yang diajukan oleh para pelapor ditolak dan tidak dilanjutkan secara hukum.
4. Mendesak para penyelenggara pemilu dan penegak hukum memproses fakta-fakta kecurangan Pemilu 2024, alih-alih memidanakan pakar dan aktivis di balik film Dirty Vote.
*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau juga artikel-artikel lain tentang Pemilu 2024