Omon-omon Dirty Vote, Mencari Simpul Kekuatan Bersama Akar Rumput Pascapemilu 2024
Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, hanya pesta demokrasi bagi elite politik. Suara akar rumput tak didengar.
Penulis Hizqil Fadl Rohman15 Februari 2024
BandungBergerak.id - Suara akar rumput yang digerakkan orang-orang muda Bandung terus bergulir. Malam menjelang pemilu kemarin, Sobat Omon-omon Bandung Raya (Sobar) menggelar diskusi bertajuk “Nobar dan Omon-omon Dirty Vote” di Kedai Jante, Kota Bandung, Selasa, 13 Februari 2024.
Masyarakat akar rumput dari berbagai latar belakang memadati kedai di Perpustakaan Ajip Rosidi tersebut. Mereka membawa keresahan yang sama mengenai situasi demokrasi di tanah air dan kekhawatiran akan kecurangan di pemilu.
Ditemani tiga komentator yang akan megomentari film Dirty Vote: Bilven Sandalista, Frans Ari Prasetyo, dan Valerianus Beatae Jehanu forum ini merefleksikan kondisi pemilu dari tahun ke tahun.
Valerianus melihat film kontroversial Dirty Vote dari kacamata hukum tata negara. Sutradara dan narasumber di film dokumenter ini dilaporkan ke polisi dengan tudingan kampanye hitam pada paslon nomor 2. Padahal menurut Valerianus pelaporan ini tidak seutuhnya dapat dibenarkan dalam konteks UU Pemilu Pasal 278.
“Tentunya ini salah kaprah kalau mau melaporkan dengan pasal tersebut,” tegas Valerianus.
Karena yang tidak boleh berkampanye di masa tenang dalam pasal tersebut tertera di antaranya; KPU dan Bawasu, peserta calon dan tim kampanye.
“Dan tiga aktor (di film Dirty Vote) itu bukan bagian dari tim kampanye,” ungkap Valerianus.
Namun ancaman akan potensi pelaporan juga dapat tertera di UU KUHP dengan dalih berita bohong, propaganda, dan sebagainya. Pasal-pasal ini menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi yang sejatinya dilindungi undang-undang.
“Di Indonesa yang seperti ini tu masih menjadi ancaman,” kata Valerianus.
Tidak Berbeda
Bilven Sandalista telah meramalkan Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2019 lalu Jokowi memenangi Pilpres, Prabowo Subianto lalu masuk dalam jajaran kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan.
“Siapa pun pemenangnya, kita (masyarakat) yang kalah,” tegas Bilven.
Pemilik toko buku Ultimus ini menghargai siapa pun yang mempunyai pilihan politik. Namun tidak memilih (golput) menjadi landasanya bahwa sistem demokrasi tidak berjalan dengan semestinya. Pemilu lima tahunan hanya merupakan euforia elite politik.
“Kita golput bukan berarti apatis. Justru karena kita peduli, kita protes bahwa ini gak demokratis,” kata Bilven.
Bilven memaparkan demokrasi saat ini penuh dengan kepentingan-kepentingan yang tidak berpihak kepada masyarakat. Pemilu yang tidak demokratis akan melahirkan pemimpin yang tidak demokratis. Ia berharap ada reformasi jilid dua untuk merubah sistem politik sekarang.
Frans Ari Prasetyo sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Bilven. Ia melihat sistem UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold membatasi partisipasi rakyat.
“Hanya orang-orang tertentu yang boleh masuk di lingkungan politik. Terus dengan perubahan 15 persen menjadi 20 persen untuk menyalonkan diri, itu sudah seperti penutup bahwa ini sebetulnya sudah tidak adil dari akarnya,” kata Frans.
Frans merefleksikan sistem pemilu saat ini telah lama menuai kritik dari akar rumput. Tahun 2014 banyak suara akar rumput di Bandung utamanya band-band lokal, meliris sebuah kompilasi yang bertemakan ‘mobilisasi pemuakan’ yang mengecam sistem demokrasi dari tahun ke tahun.
“Kita gak peduli siapa kontestannya, itu semua melakukan mobilisasi yang sama di ruang publik dan itu muak sekali,” tandas Frans.
Frans mencatat sejak tahun 2019, kondisi yang terjadi tidak mengalami perubahan. Tahun ini, pun tidak akan ada perubahan. Ia menyekapati apa yang dikatakan Bilven bahwa kontestan politik tidak ada kompeten.
“Menurut saya jika ada orang yang masih percaya dengan pemilu itu bagi saya omong kosong, karena pemilu sendiri sudah omong kosong dari awal,” ujar Frans.
Baca Juga: Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Kekuatan Solidaritas Akar Rumput
Situasi diskusi kian liar dengan beberapa peserta yang ikut andil menyampaikan pendapat dan gagasan, mengadu nasib akan fenomena yang terjadi di Indonesia. Salah satunya Resi yang pesimis melihat fenomena yang terjadi saat ini, di mana minimnya suara akar rumput untuk bisa didengar oleh penguasa.
Upaya untuk membangun persatuan rakyat dalam konteks kepartaian dirasa nihil karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit, serta ujung-ujungnya kelompok yang terbentuk akan kembali kepada kepentingan-kepentingan individu.
“Aku lagi-lagi sangat pesimis soal bagaimana kita membangun persatuan rakyat ini karena katakanlah di kelompok-kelompok sangat sektoral, perjuangan yang diangkat juga dari masing-masing individu, bukan soal memiliki hak-hak kolektif,” ujar Resi.
Ungkapan peserta perempuan tersebut diaminni tiga komentator diskusi. Valerianus mengatakan, kelompok seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun tidak bisa menghimpun kekuatan solidaritas. Frans juga sepakat bahwa orientasi LSM lebih ke prestasi yang dicapai bukan untuk membangun kekuatan solidaritas.
Sedangkan Bilven merespons gerakan-gerakan yang terjadi di tahun-tahun ke belakang, walaupun massif terjadi seperti Gerakan Reformasi Dikorupsi, namun pada kenyataannya masih terkotak-kotakan dan tidak terorganisir.
“Masif tapi tidak terorganisir, tiba-tiba di berbagai kota itu bergerak itu bisa dijadikan tanda bahwa kalau misalnya semua yang mempunyai kepentingan yang sama akan bergerak bersama. Imajinasi seperti itu mungkin bisa jadi solusinya,” tutup Bilven.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Hizqil Fadl Rohman atau menyimak artikel lain tentang Pemilu 2024 dan Pilpres 2024