• Nusantara
  • Ekspedisi Indonesia Baru, dari Nasib Ibu Poniyem sampai Film Dragon for Sale

Ekspedisi Indonesia Baru, dari Nasib Ibu Poniyem sampai Film Dragon for Sale

Di sela-sela ekspedisi, tim melakukan pemutaran film dokumenter Dragon for Sale yang dibatalkan polisi saat akan diputar di Labuan Bajo.

Cuplikan dalam salah satu film dokumenter Ekspedisi Indonesia Baru tentang tambang emas yang meresahkan warga. (Sumber:X @idbaruid)

Penulis Iman Herdiana28 Agustus 2023


BandungBergerak.idSetelah 424 hari menjelajah kepulauan Indonesia, tim Ekspedisi Indonesia Baru kini telah menempuh jarak sekitar 11.000 kilometer, melintasi 26 provinsi dan 120 kota di Indonesia. Lewat konsep Bioskop Warga, ekspedisi ini telah memutar film-film dokumenter di 200 lokasi/komunitas, termasuk serial dokumenter "Dragon for Sale" yang dibatalkan polisi saat akan diputar di Labuan Bajo.

Dalam satu perjalanan, tim Ekspedisi Indonesia Baru merekam sosok Poniyem (80 tahun). Nenek buruh tani ini pergi 'ngingsik' mengais sisa-sisa panen padi tetangga untuk bertahan hidup.

“BPS mencatat 91 persen petani berusia 45-60 tahun. Petani muda cuma 9 persen. Entah bagaimana nasib Bu Poniyem jika tak ada lagi panen petani untuk ia gantungkan hidup,” demikian cuit tim Ekspedisi Indonesia Baru di X, diakses Senin (28/8/2023).

Data tersebut menggambarkan betapa timpangnya jumlah petani tua dan muda. Di saat yang sama, investasi di sektor manufaktur terus meningkat. Banyak generasi muda di dunia petani yang tersedot meninggalkan pertanian untuk bekerja di pabrik-pabrik.

Ekspedisi Indonesia Baru merupakan penjelajahan Indonesia dengan sepeda motor, melintasi daratan dan menyeberangi lautan dengan sepeda roda dua tersebut. “Mungkin terdengar gila, tapi inilah faktanya,” tulis tim.

Sampai saat ini, ada 16 penyeberangan antar pulau yang telah tim lalui, yakni Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Sulawesi, Papua, Maluku Utara, Kalimantan, dan Sumatera. Tim mengunjungi titik terbarat di Pulau Weh, Aceh, dan titik paling timur di Jayapura, Papua.

Ekspedisi ini memulai perjalanan pada 1 Juli 2022 di Desa Sigempol, kawasan Pegunungan Dieng, dan berakhir pada 1 Juli 2023. Tim Ekspedisi Indonesia Baru melibatkan personel lintas generasi: Farid Gaban (Generasi Boomer), Dandhy Laksono (Generasi X), Yusuf Priambodo (Generasi Y) dan Benaya Harobu (Generasi Z).

"Alhamdulillah, Puji Tuhan, kami bisa menyelesaikan perjalanan ini dengan selamat," kata Dandhy Laksono, dalam siaran pers yang diterima BandungBergerak.id.

Ekspedisi ini bertujuan merekam imajinasi dan harapan warga tentang Indonesia, meneliti dan mencatat keragaman hayati, serta merangkai simpul-simpul komunitas sepanjang perjalanan. 

Tim membawa pulang 18 terabytes rekaman video dan 12.000 frame foto bertema keindonesiaan. Selama perjalanan tim juga telah memproduksi 5 judul film dan 1 serial dokumenter berisi beragam topik: dari pertanian hingga maritim dan kelautan; dari masyarakat adat hingga keragaman hayati yang tecermin dalam kuliner, tenun dan obat tradisional; dari pariwisata hingga problem tambang nikel dan geotermal; dari perkebunan sawit hinga konflik agraria; dari masalah ibukota baru (IKN) hingga hak atas rumah.

Dragon for Sale 

Di sela-sela perjalanan, tim melakukan pemutaran film dokumenter dengan Bioskop Warga. Film-film buatan tim diputar di lokasi/komunitas yang tersebar di Indonesia; dari "layar tancap" perdesaan, warung-warung kopi perkotaan, masjid, gereja hingga kampus-kampus. 

Salah satu film dokumenter yang diputar berjudul Dragon for Sale. Sebelumnya, Serial Dokumenter "Dragon for Sale" yang berisi 5 film tentang kontroversi pariwisata Pulau Komodo dan "10 Bali Baru", telah diputar di 8 kampus Amerika Serikat. Sementara, rencana penayangannya di Labuan Bajo sempat dibatalkan polisi. 

"Dragon for Sale" bercerita tentang dampak proyek "10 Bali Baru" bagi masyarakat Flores dan Lombok. Terutama pada Labuan Bajo dan kawasan Taman Nasional Komodo yang ditetapkan sebagai kawasan pariwisata "super premium" oleh pemerintah. 

Film ini telah diriset dan memulai perekaman sejak 2019 ketika 2.000 warga Pulau Komodo terancam dipindahkan untuk kepentingan industri wisata.

Baca Juga: Mendekatkan Film dan Mengaktivasi Ruang Publik lewat Sinema Kuriling
Masanya Kebangkitan Industri Film
Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film

Kerja Lintas Generasi 

Tim Ekspedisi Indonesia Baru merupakan kerja lintas generasi. Paling senior di dalam tim adalah Farid Gaban. Di usia lebih dari 60 tahun, Farid Gaban masih sanggup mendaki Gunung Rinjani (3.726 meter) atau menyelam di Ternate atau Teluk Saleh, Sumbawa.

"Kami juga mengunjungi 10 Taman Nasional yang mewakili keragaman ekosistem Indonesia, meski dengan banyak catatan,” kata Farid Gaban. 

Bagi Farid dan Dandhy Laksono, ini merupakan perjalanan keliling Indonesia kedua. Pada 2009, Farid melakukan Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa bersama jurnalis Ahmad Yunus. Sementara Dandhy melakukan Ekspedisi Indonesia Biru enam tahun setelahnya bersama fotografer Suparta Arz. Dua ekspedisi itu juga dilakukan dengan bersepeda motor selama kurang-lebih setahun. 

Ekspedisi Indonesia Baru dikelola dengan sistem koperasi yang beranggotakan anak-anak muda, jurnalis, aktivis lingkungan dan content-creator. 

"Ini pengalaman pertama saya keliling Indonesia dan kami telah melalui hal-hal yang luar biasa sepanjang perjalanan," ungkap Yusuf Priambodo yang bergabung dengan ekspedisi lewat proses seleksi.

Sementara anggota termuda adalah jurnalis muda Benaya Harobu dari Sumba (NTT) yang meninggalkan pekerjaannya untuk bergabung dalam ekspedisi ini.

"Saya tidak menyesal. Apa yang saya alami, jauh melampaui pengalaman kerja di mana pun," ungkap Benaya.

Setelah selesai ekspedisi, kini Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru akan mulai mengolah dokumentasi hasil perjalanan agar bisa dikonsumsi dan bermanfaat bagi publik.

"Semoga apa yang kami upayakan menjadi sumbangan bagi perubahan di Indonesia menjadi lebih baik. Karena itulah esensi dari Ekspedisi Indonesia Baru," pungkas Rumiyati, pimpinan Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru yang berbasis di Wonosobo, Jawa Tengah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//