• Opini
  • Narasi Inkonsisten dalam Film Dokumenter “Barang Panas”

Narasi Inkonsisten dalam Film Dokumenter “Barang Panas”

Narasi film “Barang Panas” besutan Dandhy Laksono dan Farid Gaban bersama Tim Ekspedisi Indonesia Baru menyakiti perjuangan masyarakat terdampak dan penolak PLTPB.

Wahyu Eka Styawan

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur & Anggota FNKSDA

Poster film dokumenter Barang Panas produksi Tim Ekspedisi Indonesia Baru bekerja sama dengan JATAM dan Sunspirit. (Foto: Instagram Ekspedisi Indonesia Baru @idbaruid)

2 Januari 2024


BandungBergerak.id – "Barang Panas" sesuai namanya, ia menggelinding liar memantik komentar panas. Film terbaru besutan Dandhy Laksono dan Farid Gaban bersama Tim Ekspedisi Indonesia Baru, serta turut didukung organisasi masyarakat sipil seperti Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAMNAS), telah berhasil menuai kritik positif maupun negatif. 

Film yang menceritakan tentang "panas bumi" sebagai sumber energi terbarukan, berhasil menuai respons positif berupa puja-puji, karena berhasil menyampaikan sebuah pesan mengenai pentingnya transisi energi yang berkeadilan. Diawali dengan statement Dandy mengenai mengapa perlu transisi energi, penonton akan dibawa mengingat sexy killers, bagaimana proses produksi energi tidak dapat dilepaskan dari eksploitasi.

Sekilas Barang Panas

Secara alur film berjalan dengan pernyataan awal Dandhy, lalu berlanjut menceritakan mengenai perjuangan masyarakat melawan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Mengulas bagaimana perjuangan Pak Yosef di Wae Sano yang bersama warga lainnya menolak proyek PLTPB. Salah satu alasannya adalah proyek tersebut akan merampas tanah orang adat Nunang, merelokasi mereka serta menyebabkan masalah pada mata pencaharian utama mereka yakni pertanian dan perkebunan.

Pak Yosef bersama warga lainnya mengisahkan bahwa dengan budidaya seperti vanili, kakao dan menernak babi telah menyejahterakan mereka, bahkan mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke bangku kuliah. Mereka juga belajar dari perubahan sosial ekologis di Ulumbu pasca PLTPB, salah satunya menurunnya produksi kopi, kakao dan komoditas budidaya lainnya. Belum lagi mereka juga mengetahui dampak negatif PLTPB di Mataloko hingga Sorik Marapi, Sumatera Utara.

Film pun turut menceritakan bagaimana keluh kesah orang Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah yang terkena dampak PLTPB Dieng, seperti tanah mengering hingga gas yang mengganggu aktivitas pertanian. Tidak hanya Dieng, Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara juga turut menghiasi salah satu scene yang menampilkan kengerian geotermal.

Lalu penonton juga diajak melihat perjuangan orang-orang Padarincang yang dengan keras menolak PLTPB, persis cerita yang disampaikan Haji Dhoif salah satu tokoh gerakan di sana. Sampai kembali lagi ke NTT untuk melihat bagaimana gerakan masyarakat Poco Leok menolak tanah adatnya dirampas oleh PLTPB.

Secara umum film ini berisi narasi perlawanan masyarakat mengenai keberadaan proyek PLTPB, yang kebanyakan banyak masalah daripada manfaat. Selain itu, film ini juga ingin menunjukkan bagaimana kebijakan top-down, tidak terbuka dan tidak partisipatif dijalankan oleh pemerintah. Masyarakat dipaksa menerima tanpa diberitahu jauh-jauh hari, pun juga dipaksa berkorban untuk kepentingan negara dan umum, seperti yang sudah-sudah.

Baca Juga: Guru Besar ITB: Indonesia Perlu Segera Mengurangi Penggunaan Energi Kotor
Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi
Geotermal dan Sebuah Kampung yang Hilang di Pangalengan

Narasi Bermasalah

Pada satu waktu setelah gegap gempita pemutaran film “Barang Panas” hampir pada belasan titik, tiba-tiba LBH Padang membatalkan rencana nonton bareng dan diskusi film tersebut. Argumentasi yang dibangun oleh LBH Padang berakar dari inkonsistensi film itu sendiri. Di mana pernyataan di awal, jalannya film hingga akhir, sampai pernyataan di akhir tidak sinkron.

Pada awal film muncul sebuah narasi di mana Dandhy mengatakan bahwa PLTU adalah energi kotor, karena berasal dari batu bara dan eksploitasi sebagaimana yang pernah ia angkat dalam Sexy Killers. Lalu ia menyampaikan sebuah polemik "wacana geotermal sebagai energi terbarukan."

Setelah penyampaian polemik tersebut film berlanjut dengan mengurai aneka perjuangan warga menolak geotermal, mulai dari Wae Sano, Poco Leok, Dieng, Padarincang hingga Sorik Marapi. Narasi tersebut menunjukkan bagaimana konflik geotermal disebabkan oleh  penetapan sepihak, pemaksaan kehendak Negara serta keinginan warga untuk mempertahankan ruang hidupnya. Geotermal juga ditampilkan memiliki efek yang merugikan secara lingkungan dan sosial.

Pertarungannya adalah nasib orang yang telah lama tinggal di kampung ingin dikorbankan atas nama energi terbarukan yang selama ini tinggi risiko, berada dalam kawasan yang tidak kosong yakni dekat permukiman, lahan pertanian dan sumber air. Dalih-dalih kepentingan negara hingga kepentingan umum dipertanyakan, sebenarnya energi ini untuk siapa? Listrik ini untuk siapa? Lalu siapa yang diuntungkan oleh keberadaannya?

Tetapi narasi tersebut diruntuhkan oleh pernyataan terakhir dari Dandhy Laksono, ia menjabarkan tujuh poin yang seolah-olah rekomendasi. Tapi isinya bertolak belakang dengan secara keumuman narasi film. Yang disampaikan Dandy adalah "menerima" PLTPB dengan syarat yakni skala kecil dan dijalankan oleh masyarakat. 

Jadi orang bisa menangkap seperti ini, masyarakat yang protes itu seolah-olah hanya bisa diselesaikan kalau yang mengerjakan proyek PLTPB adalah warga sekitar, berkolaborasi dengan pemerintah dan investor. Atau skema bisnis kolaboratif, yang ia menawarkan ide perubahan gradual, dari dibantu investor ke depannya mandiri dikelola koperasi. 

Tetapi masalahnya narasi ini bukan dari masyarakat yang berjuang. Dapat dipastikan bahwa pernyataan Dandhy adalah idenya sendiri. Dalam kata lain, film yang menayangkan perjuangan warga dikerdilkan oleh pernyataan sang sutradara dengan ide liarnya yang mungkin terinspirasi orang Maori di New Zealand atau orang-orang Islandia.

Jelas, berbeda, segi pengalaman berbeda, segi geografis berbeda dan segi kebutuhan pun berbeda. Sehingga narasi tersebut seakan-akan membajak narasi perjuangan warga selama ini dan disimplifikasikan untuk menerima dengan skala kecil.

Perjuangan Warga Bukan Eksperimen

Narasi nakal dalam film "Barang Panas" adalah sesuatu yang boleh dikatakan menyakiti perjuangan masyarakat terdampak dan penolak PLTPB selama ini. Bagaimana tidak, pernyataan Dandhy itu bukan yang dikehendaki oleh masyarakat. Melainkan hanya pernyataan sepihak dari hasrat pribadinya sendiri.

Meskipun ada kemungkinan bahwa itu merupakan eksperimentasi strategi film untuk meraup suara lebih luas, terutama mereka yang pro keberadaan geotermal, sehingga memunculkan polemik yang memantik diskursus. 

Justru, apa yang disampaikan Dandhy seperti umpan lambung yang ingin mengatakan  "geotermal itu bagus kalau dalam skala kecil." Melupakan perdebatan yang masih berlangsung hingga sekarang mengenai status geotermal sebagai energi terbarukan atau energi baru yang tidak terbarukan.

Sebagai penutup yang ingin saya tegaskan kepada ekspedisi Indonesia Baru dan JATAM bahwa perjuangan warga penolak PLTPB bukan eksperimentasi kampanye semata. Karena mereka berjuang dengan tulus, berangkat dari kesehariannya, berangkat dari pengalaman dan ketakutan. Tapi dengan kasarnya diruntuhkan semangatnya atas nama eksperimen kampanye.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//